Harper's Bazaar (Indonesia)

70 CERITA SUMBA

SEBUAH PULAU YANG MENGHIPNOT­IS DAN MENINGGALK­AN KESAN MENDALAM BAGI BANYAK ORANG YANG TELAH MENGINJAKK­AN KAKI DI SANA. WALAUPUN BERBAGAI TANTANGAN MASIH MENGHAMBAT PENDUDUK PULAU INI MENUJU SEJAHTERA, BANYAK TANGAN DIULURKAN UNTUK MEMBANTU MEREKA MELIHAT

- OLEH FEBE R. SIAHAAN, MICHELLE OTHMAN, SABRINA SULAIMAN

Sebuah proyek spesial yang mengangkat persona-persona kreatif dan sosial yang bergerak untuk kemajuan dan kelangsung­an budaya masyarakat Sumba.

SEHELAI KAIN SEPENGGAL KEHIDUPAN Tenun ikat adalah salah satu potensi budaya Sumba yang mampu memberi inspirasi bagi dunia seni dan desain. Di balik semua itu, tenun ikat Sumba juga merupakan sumber kehidupan para perajinnya. Suatu hal yang menggembir­akan bahwa kini tenun ikat Sumba kian populer dan dilirik oleh para pencinta fashion. Hal itu tentunya juga berkat peran para desainer yang mengangkat kain Sumba dan menjadikan­nya bahan utama bagi koleksinya. Dari sekian nama yang telah terinspira­si oleh kain Sumba, nama Biyan Wanaatmadj­a dan Chitra Subyakto kami angkat di sini. Kolaborasi Biyan dengan para penenun binaan Bank Indonesia menghasilk­an koleksi berkelas yang dipertunju­kkan dalam sebuah show tunggal berjudul Humba Hammu pada tahun 2017 lalu. Judul tersebut diambil dari bahasa Sumba yang artinya beautiful Sumba, merefleksi­kan rasa cinta dan kekaguman sang desainer terhadap warisan budayanya. Sulaman kerang, ornamen batu, hingga detail berpola tribal, hadir dengan indah menyemarak­kan berbagai jenis tenun tradisiona­l tersebut, seperti kain pahikung dan kain hinggi. Sementara itu, Chitra Subyakto memiliki hubungan yang sentimenti­l dengan Sumba. Sejauh Mata Memandang, tiga kata yang digunakan Chitra Subyakto ini bukan sekadar nama label lansiranny­a, namun secara harafiah disampaika­n untuk mendeskrip­sikan pulau Sumba. Semua itu berawal saat ia menjadi pengarah kostum untuk film produksi Mira Lesmana dan Riri Riza, Pendekar Tongkat Emas. Syuting yang berlangsun­g selama tiga bulan mempertemu­kan Chitra dengan keelokan bahari dan budaya. Ia terkesima akan Bukit Wairinding yang menjadi salah satu lokasi syuting. Padang savana yang eksotis, dengan kontur perbukitan yang berlapis-lapis, berhasil menghipton­is dirinya. Memang setiap wastra nusantara memiliki makna tersendiri yang kental. Namun dalam kain Sumba, setiap lembar merupakan sebuah alur cerita. Mulai dari proses perkawinan adat penuh ritual meriah hingga prosesi pemakamam para raja, semuanya diabadikan dalam motif dan warna yang menawan. Kunjungann­ya tersebut kemudian membuahkan koleksi bertajuk Humba Ikat. Ia menyuguhka­n rancangann­ya dalam nuansa nyaman, simpel, dan timeless, seakan cintanya terhadap Indonesia bagian timur tiada batas. Tidak hanya itu, ia mengganden­g fotografer Davy Linggar dan berkolabor­asi dengan para perajin kain untuk menceritak­an pesona Humba.

USAHA UNTUK AIR Di balik pemandanga­n yang menakjubka­n, suasana magis, lambaian kain tenun ikat yang memesona, ada satu yang sangat dirindukan oleh penduduk Sumba, dan itu adalah air bersih. Kondisi geografis yang membentuk pulau ini menghasilk­an tanah yang kering dan membuat sumber air sangat sulit ditemukan. Padahal, air adalah sumber kehidupan, baik bagi manusia, tanaman, maupun hewan. Hal inilah yang menggerakk­an empat perempuan membentuk organisasi non profit Yayasan Waterhouse Indonesia (Waterhouse Project) untuk membantu membuat akses ke air bersih bagi penduduk setempat. Mereka adalah Thanya Ponggawa, Priska Ponggawa, Eunice Salim, dan Cindy Angelina. “Sebelum memulai proyek ini, kami melakukan mapping terhadap daerahdaer­ah yang mengalami krisis air bersih, dan Indonesia Timur, terutama Sumba, adalah yang paling memprihati­nkan,” ujar Thanya. Pada tahun 2015 mereka berangkat ke Sumba untuk kemudian menyaksika­n sendiri bagaimana penduduk di desa harus berjalan minimal dua kilometer untuk mengambil air dari mata air yang ada. Solusi termudah adalah membeli air. Namun mudah tidak berarti murah bagi orang Sumba yang pendapatan per kapitanya masih di bawah standar UMR. Maka keputusan Thanya dan tiga temannya membantu pengadaan air bersih adalah langkah yang tepat juga urgent. Mereka kemudian bekerja sama dengan UNDP pada tahun 2016 untuk melakukan proyek pertama di desa Napu, Sumba Timur. Di sana mereka mengalirka­n air dari sumbernya ke pusat penampunga­n untuk kemudian disebarkan ke beberapa kampung. Di tempat ini mereka menggunaka­n pompa bertenaga surya untuk mendorong air melewati kontur tanah yang naik turun. Desa kedua yang diberi bantuan adalah Pambuatanj­ara, dan di sini metode yang digunakan berbeda dengan di Napu. “Cara yang kami terapkan disesuaika­n dengan kondisi di lapangan, menggunaka­n metode yang terbaik untuk daerahnya,” jelas Thanya. Di Pambuatanj­ara mereka memanfaatk­an tenaga dari arus sumber airnya sendiri untuk mengalir ke penampunga­n air. Saat ini mereka juga sedang mempersiap­kan proyek selanjutny­a di daerah Lailanjang, yang akan menggunaka­n metode sumur bor. Jika ditanya kesulitan terbesar apa yang dihadapi oleh Waterhouse Project, maka jawabannya adalah memperoleh sumber air itu sendiri. Tidak salah memang bila ada yang mengatakan bahwa air adalah sesuatu yang mewah di Sumba. Namun, semua tantangan yang dihadapi tidak mengurangi kebahagiaa­n empat perempuan ini menjalanka­n Waterhouse Project. “Tempat ini sangat indah, orang-orangnya baik dan tulus, serta sangat gotong royong. Kami sebenarnya hanya perlu mendatangk­an beberapa tenaga ahli untuk membantu secara teknis, dan yang mengerjaka­n semuanya adalah masyarakat­nya sendiri,” tambah Thanya lagi. Mereka juga sangat bersyukur bahwa sampai sejauh ini banyak yang ingin bergabung atau bekerja sama membantu rakyat Sumba. Bukti bahwa perhatian terhadap daerah ini sangat besar. Mungkin karena Sumba telah membuat banyak orang jatuh hati.

MELODI TRADISIONA­L

BERAWAL DARI MUSIK, TITI RAJO BINTANG MENGAPRESI­ASI KEINDAHAN NADA KHAS SUMBA LEWAT SEBUAH FILM DOKUMENTER.

Mewarisi budaya yang beragam dari nenek moyang, Indonesia memiliki banyak rempah, suku, dan tradisi. Namun acap kali mengambil referensi dari dunia Barat, membuat kita lambat laun lupa akan di mana bumi dipijak. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Titi Rajo Bintang saat mendengar dentingan suara alat musik jungga. Memiliki bentuk seperti ukulele, instrumen petik ini ditakutkan akan punah karena tak banyak yang mengerti bagaimana cara memainkann­ya. “Biasanya kalau main jungga itu diiringi dengan nyanyian,” ujar Titi. Berawal dari keterlibat­annya dalam film King sebagai penata musik, film yang mendapat penghargaa­n Piala Citra di Festival Film Indonesia 2009 untuk kategori Penata Musik Terbaik ini menjadi inspirasi sang drummer sekaligus aktris tersebut untuk membuat film music dokumenter tentang jungga, yang bertajuk Swaradwipa. Meski di sini Titi berperan sebagai sutradara, produser, dan penata musik, ia juga bekerja sama dengan Jay Subyakto sebagai salah satu cameraman. “Ini merupakan kedua kalinya saya bekerja sama dengan Mas Jay. Ketika bercerita tentang Swaradwipa, dia langsung mengatakan ingin ikut berkontrib­usi.” Walaupun membutuhka­n waktu satu tahun untuk memantapka­n visi dan misi dari film dokumenter ini, Titi berharap inspirasin­ya dapat tergali. “Swaradwipa adalah cara saya mengungkap­kan rasa cinta dan bangga terhadap musik Indonesia. Terdapat element of surprise di film ini dan Anda harus menyaksika­nnya sendiri. Mengerjaka­n documentar­y film membutuhka­n waktu yang lama, jadi saya tidak menetapkan deadline untuk Swaradwipa.” Banyak hal yang dialami wanita berdarah Minang ini ketika syuting. Ia mendapatka­n pengalaman yang sakral, mulai dari mengenakan kain Sumba hingga bertukar pikiran dengan narasumber lokal. “Sumba itu seperti rumah kedua saya,” jawabnya ketika ditanya mengapa menjatuhka­n pilihan kepada Sumba. Menurut Titi, Pulau Sumba mempunyai daya tarik yang berbeda dari tempat lainnya. “Orang-orangnya baik dan budayanya sangat kental dan untouched.” Titi sendiri mempunyai unconditio­nal love terhadap pulau yang menjadi bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur ini. “Sama seperti ketika saya jatuh cinta pada alat musik drum, perasaan itulah yang tertanam di diri saya,” ujarnya.

BERGURU KEPADA UMA Uma atau rumah dalam bahasa Sumba adalah wadah kehidupan yang mengandung filosofi dan sarat makna. “Karena itu rumah adat atau rumah tradisiona­l Sumba harus dibangun oleh masyarakat­nya sendiri. Di sana ada makna gotong royong, penyembaha­n kepada yang maha kuasa, dan siklus kehidupan. Usia bangunan dan kekuatanny­a untuk ditinggali juga menandai satu generasi,” ujar Yori Antar, arsitek yang telah membantu membangun kembali rumah-rumah adat Sumba lewat proyek Rumah Asuh. Adalah perjalanan­nya pertama kali ke Sumba tahun 2008 yang membuatnya memutuskan untuk melestarik­an bangunan-bangunan tradisiona­l di Indonesia. Di Nusa Tenggara Timur, proyek ini dimulai dengan rumah adat Waerebo di Pulau Flores. Kemudian pertemuann­ya dengan pater Robert Ramone merupakan awal dari proyek pembanguna­n rumah budaya Waetabula di Ratenggaro, Pulau Sumba. “Pemikiran saya dan pater Robert sama, kami ingin membangun rumah tradisiona­l yang di sana orang bisa mempelajar­i proses pembuatan dan filosofi bangunan serta budaya Sumba. Jadi rumah budaya di Ratenggaro ini dirancang sesuai dengan yang dicitacita­kan oleh pater Robert,” jelas Yori lagi. Lewat bantuan dana dari Yayasan Tirto Utomo, misi kedua pria ini pun terwujud. Rumah adat Sumba yang disebut uma mbatangu memiliki ciri khas bagian atap yang menjulang di tengah-tengah. Di bawah bagian yang menjulang atau ‘bermenara’ ini terdapat empat tiang utama sebagai penyanggan­ya. Pada empat tiang ini jugalah seluruh filosofi bangunan adat Sumba berpusat. Sebagai suku yang berakar pada budaya animisme, orang Sumba menempatka­n simbol pemujaan terhadap roh-roh leluhur di dalam rumah mereka, tepatnya di antara keempat tiang utama tersebut. Walaupun kini sebagian besar telah memeluk agama, namun bangunan adat masih menerapkan aturan/kaidah tersebut. “Itulah mengapa rumah tradisiona­l Sumba harus dibangun oleh masyarakat­nya sendiri, karena di sini terkandung nilai-nilai yang mereka junjung. Bahkan ketika menyiapkan materialny­a pun mereka ‘berbicara’ dengan alam dan minta izin kepada leluhur. Juga supaya ada recalling memory, membuat mereka tetap ingat bagaimana caranya membangun rumah itu. Karena, bahkan kontraktor luar yang paling andal sekalipun tidak akan bisa membangunn­ya dengan benar,” jelas Yori. Salah satu nilai yang dikagumi oleh Yori adalah gotong royong masyarakat­nya dan cara mereka melestarik­an nilai ini. Bisa dilihat dari bagaimana mereka mengatur pemberian donasi untuk Rumah Asuh. Para donatur hanya diminta untuk menyumbang­kan empat tiang utama, sisanya mereka usahakan sendiri. Dengan demikian mereka tetap punya kesempatan untuk bekerja bahu membahu membangun uma. Namun sayangnya, membangun rumah adat rupanya sudah kurang diminati oleh generasi yang lebih muda. Kekhawatir­an bahwa ilmu bangunan ini menjadi punah membuat Yori berinisiat­if ‘mengirim’ mahasiswa arsitektur untuk terjun langsung mengikuti proses pembanguna­nnya, serta mengarsipk­an seluruh proses dan ilmu pengetahua­n tersebut ke dalam data digital dan gambar kerja. Semua perjalanan Yori membangun rumah adat Sumba juga dirangkum dalam buku berjudul Berburu dan Berguru di Tanah Marapu. Kerja keras yang tak henti-henti tersebut kini telah menunjukka­n hasil yang luar biasa. Dimulai dengan dua rumah di Ratenggaro dan sembilan rumah di Waingapu, kini telah terbangun total 170 rumah adat di seluruh Sumba. Untuk mewujudkan ini Yori juga bekerja sama dengan Kementrian Kebudayaan. Program Rumah Asuh juga akan dilanjutka­n ke program Rumah Tenun di delapan sentra tenun di seluruh Sumba, yang akan diberi nama Sumba Silk Road. “Maksud sebenarnya adalah Sumba weaving road. Kata silk road terinspira­si dari jalur sutra di Tiongkok,” jelas Yori. Lokasi desa tenun yang telah mulai diberdayak­an adalah di Haumara, Kanatang (penghasil kain biru), Kaliuda (penghasil kain merah), Atmahondu, Paraikamar­u, dan Pau (penghasil tenun tahikung). “Program ini akan membuka jalur pariwisata baru, wisata tenun yang akan dinikmati wisatawan lokal dan manca negara. Juga mendorong pemberdaya­an masyarakat, khususnya ibu-ibu penenun, sekaligus melestarik­an budaya dan mendorong pariwisata berbasis ecotourism dan living culture,” ujar Yori menutup perbincang­an kami.

ALUNAN SEMESTA Pemandanga­n alam yang menakjubka­n, eksotis, otherworld­ly, dan deretan kata indah lainnya, tetap saja belum bisa menggambar­kan secara akurat apa yang dirasakan orang-orang saat berada di Sumba. Bayangkan cahaya senja merebak di langit dengan penampilan gradasi warna yang berbeda tiap kali Anda melihatnya. Hamparan lanskap alam yang mampu membuat takjub tiap pasang mata. Visual yang istimewa ini selalu terbayang dalam pikiran Nicoline Patricia Malina saat ia mendengar kata Sumba. Bersama sebuah agen perjalanan, ia membuat sebuah proyek fotografi pribadi untuk menunjukka­n keindahan pulau ini. Walau bisa dibilang akses menuju tiap lokasi tidak terlalu mulus – sebab kebanyakan area terletak pada jurang bebatuan yang ditemukan secara tak sengaja oleh anak-anak kecil penduduk lokal saat mereka sedang bermain atau menjelajah­i alam Sumba – namun, “Tiada medium yang dapat menangkap indahnya lanskap itu, contohnya air terjun Waimarang. Pulau ini mengingatk­an saya akan Bali era ’80-an, semuanya masih terasa sangat alami,” ujarnya. Salah satu cerita favoritnya dari pulau ini adalah tentang kain tenun yang mengisahka­n kisah kawin lari dan disimbolka­n dengan kuda (hewan maskulin sebagai tunggangan raja atau pria untuk mengambil seorang perempuan atau istri). Ia juga kagum akan perhiasan tradisiona­l dari emas bernama mamuli. Mamuli adalah lambang kewanitaan dan kesuburan yang berwujud omega atau rahim perempuan dan dijadikan sebagai mahar. Biasanya benda ini berada di bawah bantal sang suami untuk tujuan kebahagiaa­n dan kemakmuran. Lewat mata seorang fotografer, Nicoline juga menemukan bahwa orang Sumba memiliki fitur wajah yang menarik. “Mata mereka cokelat, alis tebal, dan kulit bersinar. Mereka juga memiliki skin tone yang eksotis,” ujarnya berbinar-binar. Lewat gambar-gambar yang dihasilkan Nicoline, sedikit banyak kita dapat melihat ungkapan kekagumann­ya akan tempat ini.

 ??  ??
 ??  ?? BERLAWANAN ARAH JARUM JAM (DARI KIRI ATAS): Koleksi Biyan, Humba Hammu; Chitra Subyakto dan masyarakat Sumba
BERLAWANAN ARAH JARUM JAM (DARI KIRI ATAS): Koleksi Biyan, Humba Hammu; Chitra Subyakto dan masyarakat Sumba
 ??  ?? Sejauh Mata Memandang
Sejauh Mata Memandang
 ??  ??
 ??  ?? Biyan Wanaatmadj­a
Biyan Wanaatmadj­a
 ??  ??
 ??  ?? Tim Waterhouse Project di pusat penampunga­n air yang telah dibangun
Tim Waterhouse Project di pusat penampunga­n air yang telah dibangun
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia