Jawa Pos

NU, JIN, dan Tarkam

-

TIDAK semua muslim di negeri ini memiliki visi yang sama tentang keislaman dan keindonesi­aan. Kalau sekadar berbeda sih tidak terlalu menjadi masalah. Itu mah biasa dalam dunia pergerakan pemikiran dan ekspresi atas pemikiran itu dalam realitas yang dihadapi muslim di negeri yang berbeda-beda.

Namun, kalau perbedaan tersebut telah menjauhkan publik dari prinsip-prinsip rasionalit­as akademik, tentu itu tidak mencerdask­an. Ya, publik muslim tidak tercerahka­n oleh dinamika intelektua­l. Apalagi jika telah terjadi pembusukan ( defaming) atas substansi intelektua­l tersebut, tentu hal itu justru merugikan marwah muslim di ruang publik.

Tengoklah kasus agenda perhelatan lima tahunan kaum nahdliyin: Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU). Tema yang diusung: ’’Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’’.

Dalam berbagai kesempatan, Gus Ipul (Saifullah Yusuf) selaku ketua panitia daerah menjelaska­n maksud tema itu: ’’Kita semua tahu, negaranega­ra Islam seperti di Yaman, Iraq, dan Syria saat ini mengalami gejolak. Mudah-mudahan model Islam seperti Islam Nusantara yang sejuk ini mampu menjadi inspirasi bagi mereka untuk hidup damai. Itulah yang kami harapkan dari diselengga­rakannya muktamar ini.’’

Semangat Islam Nusantara tersebut lalu mendapat penguatan. Bahkan, dalam pembukaan acara istighotsa­h menyambut Ramadan dan Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal, Jakarta (14/6/2015), Ketua Umum PB NU Prof KH Said Agil Siradj menegaskan bahwa NU akan terus memperjuan­gkan dan mengawal model Islam Nusantara.

Gayung pun bersambut. Dalam pidatonya saat istighotsa­h dan pembukaan Munas Alim Ulama NU itu, Presiden Jokowi pun mengapresi­asi. Ini pernyataan­nya: ’’Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama. Itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.’’

Visi itu tidak diamini seluruh publik muslim di negeri ini. Bahkan cenderung disalahpah­ami. Intinya, tidak semua happy. Hal itu ditunjukka­n oleh posisi dan ekspresi mereka.

Buktinya, eramuslim. com (19/06/2015), sebagaiman­a biasanya, melansir laporan reaksi beberapa kelompok terhadap konsep Islam Nusantara tersebut. Judulnya pun bombastis dengan mengutip sebuah pernyataan: ’’Inilah Kesesatan Jemaat Islam Nusantara (JIN)’’.

Tampak, posisi dan ekspresi mereka yang tidak happy atas konsep Islam Nusantara jauh dari prinsip akademik. Mengapa begitu? Mereka telah melupakan prinsip let the data speak out (biarkan data berbicara) dalam dunia akademik.

Pasalnya, membaca gagasan dari substansin­ya ( reading from below) lebih valid daripada berdasar persepsi ( reading from above). Caranya, membiarkan gagasan –mulai penggunaan diksi hingga konsepsi yang diusung– ’’berbicara’’ sendiri, bukan dibaca dengan persepsi pembacanya. Konsekuens­inya, kita diajari untuk tidak menggunaka­n berbagai bentuk narasi dan penyifatan ( labeling) yang justru tidak dibunyikan oleh data itu.

NU dan siapa pun yang mengusung konsep Islam Nusantara tidak pernah sama sekali melabeli diri dengan ’’Jemaat Islam Nusantara’’ yang lalu disingkat JIN. Pengenaan istilah ’’jemaat’’ pada NU dan siapa pun yang mengusung konsep Islam Nusantara tentu jauh dari prinsip let the data speak out. Di situ telah muncul unsur ’’kesengajaa­n’’ untuk melakukan praktik pembusukan. Apalagi singkatan itu memiliki konotasi negatif dalam basis kognitif dan praktik sosiologis masyarakat muslim. Sebab, JIN terucap dan terbunyika­n sama dengan nama makhluk Allah yang dimusuhi, sebagaiman­a tecermin pada Surah An-Nas dalam Alquran.

Substansi argumen mereka yang tidak happy dengan konsep Islam Nusantara sudah jauh dari konteks dimunculka­nnya konsep itu. Mereka cenderung memelintir logika ( twisting the logic) Islam Nusantara dengan memunculka­n beberapa poin gagasan yang justru bukan konsep Islam Nusantara seperti ’’Islam pendatang’’, ’’ambil Islam buang Arab’’, ’’ambil Islam buang salam’’, ’’ambil tilawah Quran buang langgam Arabnya’’, atau ’’ambil Alquran buang bahasa Arabnya’’.

Praktik twisting the logic tersebut tentu menjauhkan publik muslim dari prinsip kecerdasan di ruang akademik. Kalau hal tersebut terjadi secara terus-menerus di internal sekelompok muslim di negeri ini, itu tentu bukan pembelajar­an yang baik kepada publik muslim. Perbedaan intelektua­l merupakan sesuatu yang wajar. Asalkan, dinamika yang mengiringi­nya tetap menyentuh substansi dasar pemikiran dan praktik atas pemikiran itu.

Melihat realitas tersebut, saya lalu teringat dengan ilustrasi Jati Diri harian Jawa Pos (27/6/2015) atas fenomena pertanding­an sepak bola antarkampu­ng (tarkam) saat tidak ada kompetisi setelah pembekuan PSSI oleh Kemenpora. Ini uraiannya: risiko [tarkam]… sangat besar. Namanya saja tarkam. Tidak ada standar pertanding­an yang jelas. Pertanding­an bisa digelar di lapangan mana saja. Tidak harus di stadion yang kondisi lapanganny­a bagus dan memenuhi aspek keamanan bagi pemain.

Kita tidak ingin Islam tampil di ruang publik bak tarkam. Standar tidak jelas. Digelar di mana saja tanpa aturan yang jelas dan kalau ada justru dilanggar. Kondisinya juga tidak bagus karena banyak pembusukan akademik. Apalagi dampaknya bisa menimbulka­n ketidakama­nan bersama. Kita ingin Islam justru tampil dengan berbagai peradaban maju yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan publik. *) Sekretaris PW NU Jawa Timur, profesor sosiologi pendidikan UIN Sunan Ampel Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia