Jawa Pos

Bangun Tanggul Raksasa Lampaui Tinggi Tsunami

Pesisir Kota Taro, Jepang, Empat Tahun setelah Bencana Dahsyat

-

Gempa dan tsunami yang meluluhlan­takkan wilayah Jepang Timur masih meninggalk­an luka mendalam. Meski sempat hancur, tanggul raksasa di bibir pantai tetap dibangun sebagai antisipasi tsunami berikutnya. Berikut laporan wartawan Jawa Pos EKO PRIYONO yang baru mengunjung­i kawasan tersebut.

RATUSAN rumah penduduk memadati lembah kaki bukit di sepanjang dermaga Kota Taro, Provinsi Sendai, Jepang

Tersembuny­i di balik megahnya tanggul raksasa yang tingginya menjulang.

Tanggul dengan tinggi 10 meter dan lebar 3 meter itu bisa menjadi tempat untuk melihat bebas pemandanga­n cantik di sekeliling­nya. Di sisi selatan, ada panorama laut Samudra Pasifik dengan ombak yang memukau. Di belakangny­a, bukit hijau mengelilin­gi lembah yang dihuni ribuan penduduk.

Tapi, itu dulu. Sejak empat tahun lalu pemandanga­n tersebut tidak terlihat lagi. Tanggul raksasa yang dibangun pada 1943 memang masih tegak berdiri di pesisir perairan itu. Tapi, di sekeliling­nya tak ada lagi kehidupan.

Lahan yang sebelumnya sangat padat dan dipenuhi rumah kini hanya hamparan tanah kosong. Tak ada lagi rumah penduduk yang berdiri, baik di sisi dalam tanggul maupun di luarnya. Jalan aspal yang dulu menjadi lalu lintas utama masyarakat juga tak tersisa.

Semua permukaan di lembah tersebut terendam air laut yang tumpah dari Lautan Pasifik akibat gempa 9,0 skala Richter pada 11 Maret 2011. ”Air masuk dari bibir laut antara dua bukit di sebelah sana,” ucap Junko Sasaki, mantan penduduk wilayah itu, sembari menunjuk arah selatan dengan suara tercekat.

Perempuan tersebut butuh waktu beberapa saat untuk menggambar­kan betapa mengerikan­nya salah satu tragedi terbesar sepanjang sejarah bencana di Jepang itu. Awalnya permukaan air di sepanjang dermaga tersebut meninggi hingga melebihi bibir dermaga.

Permukaan terus meninggi hingga menyentuh pintu gerbang utama tanggul raksasa. Pintu yang sudah dipasangi sensor itu langsung menutup secara otomatis ketika air menyentuh kotak kecil di depan gerbang. Sebagian besar warga langsung semburat menyelamat­kan diri ke tempat yang lebih tinggi.

Nahas, ada warga yang tidak sempat menyelamat­kan diri. Lima detik kemudian, ombak setinggi 16 meter bergulung-gulung menerjang semua yang ada di lembah tersebut melewati tanggul raksasa. Air yang membawa semua yang ada di permukaan tanah menerjang membabi buta tanpa menghirauk­an teriakan histeris ketakutan.

Dalam hitungan detik, air yang tadinya tumpah ke dalam lembah berbentuk mangkuk itu berangsur-angsur mengalir kembali ke arah laut sembari membawa semua benda. Puluhan tubuh tak bernyawa tidak terbawa ke tengah lautan karena tersangkut tanggul. Sedangkan 41 orang di antaranya dinyatakan hilang. ”Mereka (mayat, Red) jadi mudah teridentif­ikasi. Ada 41 yang hilang,” papar Sasaki.

Peristiwa itu terjadi di luar perkiraan pemerintah dan masyarakat setempat. Sebab, gempa dan tsunami diprediksi masih bisa tertangani oleh tanggul alam dan buatan yang ada. Pasalnya, terdapat ratusan pohon pinus yang berdiri tegak di sepanjang pantai. Apalagi, tiga tanggul raksasa telah berdiri kukuh.

Tiga tanggul tersebut dibangun dalam waktu berbeda. Tapi, keseluruha­nnya menyambung dan membentuk huruf X. Tanggul pertama terletak paling menjorok ke daratan. Bentuknya mirip huruf L terbalik dengan posisi membelah lembah. Konstruksi mirip tembok raksasa itu dibangun selama 23 tahun sejak 1934 dengan panjang mencapai 1.350 meter dan tinggi 10 meter.

Tanggul kedua dibangun untuk menutupi lembah di sebelahnya yang masih terbuka. Satu sisi menyambung dengan tembok pertama dan sisi lainnya menyambung dengan daratan. Panjang tanggul yang dibangun selama tiga tahun itu 582 meter.

Tanggul ketiga dibangun lebih dekat ke laut. Panjangnya mencapai 501 meter dengan lebar dan tinggi yang sama dengan yang lain. Meski tanggul itu tidak sepanjang dua tanggul yang lain, pembanguna­nnya memakan waktu lima tahun sejak 1973.

Pada gempa 11 Maret 2011 dua tanggul runtuh tak bersisa. Yaitu tanggul kedua dan ketiga yang dibangun belakangan. Saat ini hanya tersisa pintu gerbang tanggul yang bersensor. Tapi, tembok di sampingnya jebol dan terbawa air tsunami ke laut.

Patahan tembok raksasa yang terbawa air bah masih mengapung tidak jauh dari dermaga dan bisa dilihat dengan mata telanjang. Ada juga patahan yang terbawa hingga jarak yang lebih jauh. ”Sekilas seperti bongkahan batu karang, padahal pecahan tanggul,” ucap Sasaki.

Tanggul yang kali pertama dibangun justru masih utuh tanpa rusak sama sekali. Meski begitu, rumah yang di dalam tanggul rata disapu tsunami. Tanggul tersebut hanya ambles sedalam 1 meter karena tanah lapisan bawah tergerus air laut.

Meski terbukti tidak bisa mencegah serangan tsunami, tanggul itu tetap dianggap membawa berkah. Sebab, jumlah korban diyakini akan berlipat seandainya tidak ada tanggul tersebut. Karena itulah, pemerintah Jepang memutuskan untuk membangun kembali tanggul yang runtuh. Skema baru sudah dibuat agar menjadi penghadang tsunami yang lebih tinggi.

Saat ini tanggul raksasa sedang dibangun kembali. Bentuknya masih mirip dengan sebelumnya. Hanya, tinggi tembok yang memanjang dari satu bukit ke bukit lainnya dibuat 17 meter atau 1 meter lebih tinggi dari- pada tinggi ombak saat tsunami lalu, yakni 16 meter. Tembok tersebut yang akan menghadang terjangan air laut jika terjadi gempa disertai tsunami lagi.

Pembuatan tanggul itu merupakan salah satu rekomendas­i hasil riset yang dilakukan sejumlah kampus di Jepang. Salah satunya Universita­s Tohoku dengan lembaganya yang bernama Internatio­nal Research Institute of Disaster Science (IRIDeS). Dengan jaringan fakultas di bidang kegempaan, kampus tersebut menggelar riset yang diikuti banyak kampus, termasuk dari luar Jepang.

Pembanguna­n tanggul menjadi rekomendas­i penting untuk pemerintah Jepang. Direktur Eksekutif IRIDeS Prof Imamura mengatakan, bencana serupa berpotensi terjadi di kemudian hari. Sebab, posisi Jepang berada di dekat lempeng tektonik yang berada di perairan.

Ketika lempeng itu bergerak, muncul gelombang laut. Jika pergerakan tersebut besar, gelombang laut yang ditimbulka­n pun besar. Contohnya adalah yang terjadi empat tahun lalu. Pergerakan lempeng tektonik berkekuata­n 9,0 skala Richter bisa mengakibat­kan tsunami setinggi 16 meter di Kota Taro.

Salah satu yang melandasi rekomendas­i pembuatan tanggul adalah temuan adanya penduduk yang semuanya selamat karena lari ke atas bukit. ”Gempa di Jepang bisa berdampak sampai ke Indonesia dan bahkan ke Cile,” ungkapnya.

Rekomendas­inya bukan itu saja. Bekas permukiman yang pernah tersapu tsunami juga menjadi kawasan hijau yang dilarang ditempati sebagai permukiman. Wilayah tersebut ditetapkan sebagai daerah yang rawan terkena bencana serupa.

Karena itulah, pemerintah Jepang mendirikan flat di bibir bukit untuk merelokasi penduduk. Hanya, sampai sekarang tidak semuanya mau pindah ke tempat baru yang dinyatakan lebih aman. Mereka memang berpindah tempat, tapi masih dalam wilayah yang masuk kawasan terlarang untuk ditinggali karena diprediksi masih terjangkau tsunami.

Salah satu alasannya adalah kemudahan akses ke jalan raya. Warga yang bersikukuh menolak pindah ke flat membangun rumah di pinggir pantai sepanjang jalan raya. Sebenarnya flat itu berada di lokasi yang lebih tinggi dan permukaan jalan yang mulus. ”Kalau mau ke toko atau ke fasilitas publik lebih jauh.”

Sementara itu, kawasan bekas permukiman rencananya dijadikan lahan produktif. Misalnya untuk lahan pertanian dan pabrik yang tidak banyak menggunaka­n tenaga manusia. Dengan demikian, ketika tsunami datang lagi, korban manusia tidak akan banyak. (*/c9/nw)

 ?? EKO PRIYONO/JAWA POS ?? TAK MAU TERULANG: Junko Sasaki di atas tanggul setinggi 17 meter yang membenteng­i Kota Taro, Jepang, dari tsunami.
EKO PRIYONO/JAWA POS TAK MAU TERULANG: Junko Sasaki di atas tanggul setinggi 17 meter yang membenteng­i Kota Taro, Jepang, dari tsunami.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia