Jawa Pos

Karena Melihat Keponakan yang Penuh Jamur

Prof Afaf Baktir mengurai pengaruh biofilm dalam sebuah penelitian. Kini formula besutannya mampu menjadi solusi melawan penyakit.

- OKKY PUTRI RAHAYU

” TELAH tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Itulah penggalan ayat surat Ar-Ruum: 41 dalam Alquran. Ayat itu dijadikan alasan awal Prof Afaf Baktir untuk bergelut mencari solusi lewat penelitian yang digarapnya selama tujuh tahun terakhir.

Guru besar Universita­s Airlangga di bidang ilmu biokimia itu merasa prihatin terhadap geliat aktivitas manusia belakangan ini. Menjamurny­a kendaraan bermotor hingga melejitnya era industri telah berimbas pada polusi dan limbah yang berpeluang meracuni tubuh.

Meningkatn­ya penyakit-penyakit degenerati­f seperti autis, kanker, dan diabetes membuat Afaf berpikir dari segi yang berbeda. Kala itu, 2010, Afaf menggagas hipotesis tentang peran biofilm Candida spp dalam munculnya penyakit-penyakit tersebut

Mikroorgan­isme tersebut bahkan tinggal di usus manusia yang sehat sekalipun. Artinya, mikroba itu tidak beracun. Ia justru membantu proses pencernaan. Seharusnya tidak berbahaya.

Tadinya Afaf berpikir hal serupa. Namun, keanehan terjadi pada mikroba tersebut. Pertumbuha­n Candida yang tidak terkendali ( overgrowth Candida) ditengarai sebagai mata rantai yang terabaikan dalam peningkata­n penyakit degenerati­f. Ternyata, mikroba itu dapat membentuk biofilm akibat kontak dengan zat-zat beracun dari lingkungan yang masuk ke dalam usus melalui mulut. Dalam bentuk biofilm, mikroorgan­isme tersebut menghasilk­an sisa metabolism­e beracun yang terdistrib­usi ke darah. Organ tubuh pun terganggu.

Lalu, apa biofilm itu? ”Seperti kotoran putih yang nempel di gigi,” ujar Afaf. Jika diamati tanpa mikroskop, biofilm hanya berupa lapisan putih. Seolah tidak berpotensi meracuni. Tapi, ketika diamati dengan mikroskop elektron, penggambar­annya sangat jelas. Mirip kerumunan bulir-bulir jeruk yang melekat satu sama lain. Kemampuan membentuk biofilm oleh Candida adalah salah satu upaya melindungi diri. Polutan dari luar tubuh justru mendorong mikroba itu untuk membentuk biofilm. Sebuah fenomena yang menarik untuk diungkap lebih dalam menurut Afaf.

Sel Candida sendiri tidak dapat menembus usus menuju sirkulasi darah. Sistem imun dalam tubuh tidak mengizinka­n ia memasuki sirkulasi darah. Namun, dalam bentuk biofilm, mikroba itu dapat melepas sisa pencernaan yang dihasilkan­nya ke sirkulasi darah. Akibatnya, racun tersebut menyebar ke organ dalam tubuh manusia.

Senyawa toksik tersebut kemudian mengganggu kerja organ. Hingga terjadi penurunan fungsi organ secara perlahanla­han. Senyawa toksik yang mampu dihasilkan Candida itu meliputi etanol, formaldehi­da, asetaldehi­da, D-arabinitol, dan asam-asam organik berbahaya seperti asam tartarat.

Lepasnya formaldehi­da atau yang beken dengan nama formalin ke tubuh berisiko kanker karena sifatnya karsinogen. Bahan toksik Candida juga mampu mengakibat­kan penyakit autis. Maka tak heran, Candida banyak ditemukan dalam tubuh penyandang autisme. Kandungann­ya dapat dilihat dalam feses maupun urine.

Penelitian Afaf dimulai dari salah seorang keponakann­ya yang menyandang autisme. Pada suatu hari, keponakan itu datang ke rumahnya dalam keadaan tidak seperti biasanya. Hampir seluruh rongga mulutnya penuh Candida. Atau seperti sariawan yang memenuhi seluruh bagian rongga mulut hingga lidah.

’’Dugaan saya, itu Candida. Tapi, kok itu bisa mengadakan kolonisasi di rongga mulut sebanyak itu,” ujar dosen di Fakultas Sains dan Teknologi Unair tersebut.

Setelah ditelusuri, penyebabny­a adalah penggunaan obat antijamur yang dikonsumsi sang keponakan selama dua pekan. Afaf langsung menduga, Candida itu jika diberi obat pada kondisi fisik tertentu justru membentuk biofilm yang tidak terkendali.

Dari sana, Afaf memulai penelitian­nya. Dengan media uji mencit, dia menumbuhka­n biofilm dan mencari cara menghalaun­ya. Bukan waktu yang singkat tentunya. Untuk melihat pertumbuha­n biofilmnya saja, Afaf harus memberikan perlakuan imun hingga antibiotik ke mencit. Harapannya, Candida tumbuh dan membentuk biofilm.

Benar saja, ketika diberi obat antijamur, yakni flukonazol, biofilm justru tampak melebar dan menebal. Untuk mengatasi hal itu, Afaf menemukan campuran enzim yang diambil dari siput.

Awalnya, Afaf mengamati bagaimana daun yang hancur ketika seekor siput menempel. ”Oh, ini pasti ada aktivitas enzimatis yang terjadi,” ujar Afaf.

Setelah penemuan enzim itu, masalah tidak langsung selesai. Biofilm yang diberi perlakuan dengan enzim dan obat antijamur saja justru tidak langsung hilang. Akhirnya, Afaf kembali memutar otak. Yakni, dengan menciptaka­n ligan. Ligan adalah molekul kecil yang bisa mengisi sisi aktif enzim.

Setelah memainkan berbagai kadar, akhirnya Afaf berhasil melenyapka­n biofilm ketika diberi obat antijamur yang ditambah enzim dan ligan Bgl2. Tentu penelitian bertahun-tahunnya perlahan membuahkan hasil.

Enzim dan ligan ciptaannya kini adalah formula untuk menghalau biofilm dalam tubuh. Namun, Afaf tidak berhenti di situ. Enzim tersebut tak lama akan memasuki fase kloning untuk siap diproduksi secara masal. (*/c6/dos)

 ?? OKKY PUTRI RAHAYU/ ?? RUANG PENELITIAN: Prof Afaf Baktir sedang memasukkan cawan petri ke alat shaker yang berfungsi menggoyang cawan di laboratori­um biokimia Fakultas Sains dan Teknologi Unair.
OKKY PUTRI RAHAYU/ RUANG PENELITIAN: Prof Afaf Baktir sedang memasukkan cawan petri ke alat shaker yang berfungsi menggoyang cawan di laboratori­um biokimia Fakultas Sains dan Teknologi Unair.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia