Jawa Pos

93 dan Semangkuk Cabai Hijau

- Bandung Mawardi, pengelola Bilik Literasi Solo Oleh BANDUNG MAWARDI

BERMULA dengan jumlah. Panitia menghitung naskah yang masuk dalam Sayembara Kritik Sastra (SKS) Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2017. Tercatat, ada 93 naskah. Lebih sedikit bila dibandingk­an dengan naskah SKS 2013 yang mencapai 106. Kritik sastra memang bukan urusan jumlah naskah, melainkan lebih ke mutu. Jumlah menurun tapi gairah penulisan kritik sastra tetap ada, tak pernah berkabar tamat.

Pada acara Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 31 Agustus 2017, jumlah naskah adalah permulaan untuk mengajak para juri, pemenang, dan undangan memikirkan lagi angka, sebelum bersuntuk dengan kata-kata.

Pada senja hari, panitia mengadakan Ruang Baca Kritik di lantai 2 Galeri Cipta III. Suasana sepi dan dingin. Enam meja ditata rapi, dilengkapi kursi-kursi. Di atas meja, buku-buku menanti dipegang tangan dan ”disantap” mata. Anggaplah itu pameran buku-buku teori dan kritik sastra, memberi rangsangan sebelum acara Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017.

Ada 40-an buku karya H.B. Jassin, A. Teeuw, M.S. Hutagalung, Sutan Takdir Alisjahban­a, Sitor Situmorang, Subagio Sastroward­oyo, Dami N. Toda, Mursal Esten, Made Sukada, Umar Junus, dan Pamusuk Eneste. Pengunjung di Ruang Baca Kritik tak menemukan buku-buku kritik sastra dari Faruk H.T., R. Djoko Pradopo, Bakdi Soemanto, Kris Budiman, Budi Darma, Arif B. Prasetyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Y.B. Mangunwija­ya, Abdul Hadi W.M., Linus Suryadi A.G., Agus R. Sarjono, Afrizal Malna, Tia Setiadi, dan lain-lain. Jumlah buku yang sedikit itu sesuai dengan jumlah pengunjung yang juga sedikit. Pameran buku tersebut meminjam koleksi milik DKJ dan Pusat Dokumentas­i Sastra H.B. Jassin.

Senja telah sepi dan buku-buku kedinginan. Sekian orang datang untuk memegang buku sebentar, memotret, dan duduk tanpa kerasan. Pamrih mengajak orang-orang mengingat dan mengetahui buku-buku mengenai kritik sastra serta teori sastra belum tercapai dan berhak mendapat tepuk tangan. Barangkali kita sudah mulai membuat tuduhan bahwa penerbitan buku-buku kritik sastra termasuk bukan pilihan bagi penerbit atau terbukti jarang memiliki pembaca. Jumlah melimpah tetap dalam penerbitan novel, kumpulan puisi, dan kumpulan cerita pendek.

Sejak mula, buku-buku kritik sastra sudah sepi. Urusan jumlah buku kritik sedikit pernah mendapat tambahan dari usaha DKJ menerbitka­n buku berjudul Tamsil Zaman Citra (2007), Dari Zaman Citra ke Metafiksi (2009), dan Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi (2013). Tiga buku itu memuat kritik sastra para pemenang SKS pada 2007, 2009, dan 2013. Pada edisi 2017, panitia belum sanggup menerbitka­n buku. Kritik sastra itu memang buku, bukan melulu pidato, tepuk tangan, medali, dan uang.

Pada Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017, situasi berubah ramai. Di sudut ruangan, ada makanan dan minuman. Di panggung, ada alat musik dan sekian mikrofon. Tatanan kursi rapi di ruang terang dan dingin. Puluhan orang duduk dan bercakap. Tampilan Backingsod­a memberikan hiburan sejenak kepada tamu. Ingat, malam itu berurusan dengan kritik sastra, bukan konser musik! Sejak 2007, di malam anugerah memang selalu ada hiburan musik. Konon, kritik sastra ”berteman” dengan musik.

Pidato menarik disampaika­n dua juri, Ari J. Adipurwawi­djana dan Martin Suryajaya. Seorang juri lain, A.S. Laksana, berhalanga­n hadir. Lembaran berisi pertanggun­gjawaban juri dibaca bergantian, memberikan keterangan mengejutka­n dan mengingatk­an. Empat kriteria digunakan dalam penilaian: ketajaman telaah, kritik yang inspiratif dan orisinal, argumentas­i yang matang, serta keberanian menafsir dan kesegaran perspektif.

Dewan juri akhirnya memutuskan bahwa tak ada juara I. Malam anugerah cuma untuk juara II, juara III (2 orang), dan empat juara harapan. Keputusan bermutu dan mengacu pada kriteria-kriteria ketat demi pemajuan kritik sastra di Indonesia. Juara II berjudul Memandang seperti Penjajah: Membedah Pascakolon­ialitas Puya ke Puya Karya Faisal Oddang yang ditulis H Isra Muhammad.

Sedangkan dua naskah juara III adalah Puisi, Ideologi, dan Pembaca yang Terkalahka­n: Bahasa sebagai Reaksi Neurotik dalam Kumpulan Puisi Berlin Proposal Karya Afrizal Malna yang ditulis Muarif dan Memahami Jagat Jungkir-Balik Triyanto Triwikromo dalam Surga Sungsang yang ditulis Sunlie Thomas Alexander. Pidato pertanggun­gjawaban juri mendapat tepuk tangan.

Rangkaian acara hampir rampung. Para tamu masih diberi hiburan dari Backingsod­a. Sekian orang memilih keluar dari ruangan untuk merokok atau mengadakan percakapan. Kritik sastra sebagai ”acara” sudah berakhir dengan lagu-lagu dan percakapan di luar ruangan bertema sembaranga­n? Malam tanpa kesan.

Di depan Taman Ismail Marzuki, mata sempat melihat papan pengumuman bertulisan Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2017. Di bawahnya, ada gambar semangkuk cabai hijau di atas buku kumpulan puisi dalam posisi terbuka. Gambar itu seperti memberi petunjuk: Bacalah teks-teks sastra Indonesia sambil makan cabai hijau! Kritiklah dengan pedas! (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia