Yang Membuat Hukum Tajam ke Atas dan Bawah
Haidar mampu menangkap spirit keberanian Artidjo Alkostar dan menyuguhkannya dalam cerita sederhana.
KOMITMEN Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan tumbuh dalam akal sehat dan nuraninya yang paling dalam. Kisah dalam buku ini menggambarkan ketukan palu Artidjo yang selalu menggelegar, menghantam pelaku kejahatan, tak peduli pada ancaman fisik, tak takut dengan gertakan santet, tak mempan dengan uang, dan tak pandang bulu.
Artidjo ibarat kerikil dalam sepatu para koruptor dan bandit politik di negeri ini. Ia laksana oase di padang pasir yang menjadi simbol harapan publik untuk menegakkan keadilan.
Novel ini terbit pada saat kita disuguhi pelbagai persoalan penegakan hukum di negeri ini. Berita tentang perilaku koruptif selalu menghiasi media. Artidjo bakal mengajarkan kepada kita nilai-nilai integritas dan keberanian.
Panggilan Keimanan Haidar secara terperinci mengisahkan jalan terjal narasi hidup Artidjo yang diawali sebagai pengacara jalanan dan menangani persoalan wong cilik serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejak maha- siswa, Artidjo memang sudah memberontak.
Saat menjadi aktivis di Jogjakarta, ia berkesimpulan bahwa hukum belum bisa bekerja secara maksimal untuk menciptakan keamanan, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada pertengahan 1983, Artidjo dilantik sebagai direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogjakarta. Suatu ketika, di tengah-tengah ke- sibukannya, Artidjo ditanya seorang profesor di tempat dirinya mengajar akan pilihan antara menjadi dosen atau bergiat di LBH.
Dengan tegas Artidjo menjawab bahwa dirinya lebih memilih bergiat di LBH. ”Di LBH aku bisa melihat penderitaan rakyat kecil. Dengan begitu, hatiku akan menjadi peka sehingga aku semakin berani menyuarakan kebenaran dan keadilan. Semakin bersemangat melawan berbagai macam bentuk kezaliman, pelanggaran hukum dan HAM,” jawabnya.
Artidjo tidak takut kehilangan karir menjadi dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta yang cukup gemilang saat itu. Bagi dia, tidak ada yang harus ditakuti karena segala sesuatu sudah diatur Allah, termasuk soal rezeki (hal 305).
Bagi Artidjo, hukum di negeri ini masih bisa diperjualbelikan. Korbannya adalah rakyat kecil dan kaum pinggiran. Semua itu membuat hatinya merintih dan menangis. Berangkat dari persoalan itulah, Artidjo ingin berbuat sesuatu untuk memperbaiki sistem penegakan hukum di negeri ini.
Dengan pemaparan tidak berlebihan, Haidar mampu menangkap spirit keberanian Artidjo dan menyuguhkannya dalam cerita sederhana. Buku ini adalah Artidjo dalam tulisan, yang tak lain adalah pejuang penegakan hukum. Yang membuat pisau hukum tajam, baik ke atas maupun ke bawah.
Bukan hanya itu, Haidar juga mampu mewartakan kisah romantisme Artidjo dengan istrinya, Sri Widyaningsih, yang jarang terekspos ke media. Artidjo muncul sebagai contoh hakim ideal dalam sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan prinsip zero tolerance terhadap kejahatan, termasuk korupsi dan narkoba. Artidjo mengorganisasi prinsip kebenaran untuk mengalahkan kejahatan yang terorganisasi.
Sebagai tokoh yang lahir dari tradisi Madura, Artidjo sangat memahami pepatah Arab yang berbunyi al-haqqu bila nidzamin yaghlibuhu al-bathil bi nidzamin, kebatilan yang diorganisasikan akan mengalahkan kebenaran yang tidak diorganisasikan. Dalam konteks itu, karir panjang Artidjo ditujukan untuk mengorganisasi kebenaran.
Buku ini mampu menjalankan dua fungsi utama. Yakni berhasil men ceritakan perjuangan keteladanan hidup Artidjo sebagai penegak hukum. Sekaligus memberikan pesan kepada publik bahwa hidup mulia adalah hidup yang memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan sebagai panggilan jiwa dan keimanan. (*)