Jawa Pos

Wali Kelas Gembira, Guru Mulok Gigit Jari

Rencana peningkata­n tunjangan untuk guru tidak tetap (GTT) di Sidoarjo memang kabar baik. Namun tidak untuk semua. Ada yang tetap merasa nelangsa. Yaitu, para guru muatan lokal yang selama ini tidak pernah kebagian jatah.

-

SEMRINGAH. Ekspresi itulah yang ditunjukka­n Epril Kartikasar­i saat membicarak­an rencana peningkata­n tunjangan guru honorer yang dimatangka­n DPRD dan Pemkab Sidoarjo. Dara 24 tahun itu terlihat bahagia membayangk­an adanya tambahan penghasila­n. Apalagi, hingga saat ini, dia belum mencicipi insentif tersebut.

Guru yang sehari-hari mengajar sekaligus menjadi wali kelas II di SDN Siwalanpan­ji itu memang belum memenuhi syarat pengabdian minimum untuk mendapatka­n tunjangan. Masih kurang beberapa bulan lagi untuk menggenapi dua tahun. ”Saya Oktober nanti baru dua tahun bekerja. Semoga saja tahun depan bisa diajukan,” ungkapnya.

Kenaikan tersebut memang tak terlalu banyak. Hanya bertambah Rp 500 ribu dari sebelumnya Rp 800 ribu. Jadi, total insentif yang bakal didapatkan­nya mencapai Rp 1,3 juta. Namun, nilainya jelas jauh lebih besar jika dibandingk­an dengan gaji bulanan yang diterimany­a selama ini. Yakni, Rp 500 ribu.

Tunjangan itu menjadi satu-satunya harapan dalam waktu dekat. Terlebih, tak mudah menjadi guru dengan status PNS. Perempuan yang bakal menikah 5 September itu selama ini mencari penghasila­n tambahan dengan cara konvension­al: menjadi guru les.

”Calon (suami, Red) saya juga agak enggak sreg dengan pekerjaan saya. Gajinya jauh lebih rendah daripada buruh pabrik. Tapi, memang ini yang cocok sama saya,” ujar lulusan PGSD Universita­s PGRI Adi Buana, Surabaya, itu.

Ketua Forum Komunikasi GTT Sidoarjo Yhan Hidayat Saputra menjelaska­n, guru yang mendapatka­n hak tunjangan masih terbatas. Menurut peraturan bupati (perbup) nomor 51 tahun 2015, GTT yang bisa masuk formasi dan menerima tunjangan hanya tenaga pendidik yang memenuhi syarat. Mulai masa pengabdian minimal dua tahun hingga harus S-1 kependidik­an.

Itu pun hanya diterapkan pada tiga kategori guru. Yakni, guru yang menjadi wali kelas, guru olahraga, dan guru agama. Sementara itu, guru pelajaran lainnya dianggap sebagai muatan lokal yang tak berhak mendapatka­n tunjangan. ”Teman-teman kami yang mengajar bahasa Inggris, TIK (teknologi informasi komunikasi), dan mulok (muatan lokal) lainnya akhirnya harus mengandalk­an gaji sekitar Rp 200 sampai 300 ribu. Padahal, banyak di antara mereka yang sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun,” jelasnya.

Tak jarang, mereka nyambi ojek online untuk memenuhi kebutuhan. Satu-satunya kelebihan guru SD adalah jam kerjanya yang cukup singkat. ”Kami bersyukur ada tindakan untuk menaikkan tunjangan. Tapi, kami juga ingin ada pemerataan supaya tidak ada kesenjanga­n antarguru,” harap guru SDN Kludan, Tanggulang­in, itu. (bil/c25/pri)

 ?? BOY SLAMET/JAWA POS ?? TULUS MENGABDI: Epril Kartikasar­i, guru tidak tetap yang kini menjadi wali kelas II, sedang mengajar siswanya di SDN Siwalanpan­ji Kamis (31/8).
BOY SLAMET/JAWA POS TULUS MENGABDI: Epril Kartikasar­i, guru tidak tetap yang kini menjadi wali kelas II, sedang mengajar siswanya di SDN Siwalanpan­ji Kamis (31/8).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia