Jawa Pos

Tetap PD meski Tak Berpengala­man Ngajar SD

-

DJP dan unit vertikalny­a menyambang­i 2.182 sekolah dan universita­s. Rekor itu kini telah tercatat di Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri).

Pajak Bertutur atau biasa disingkat Patur adalah program sosialisas­i pajak ke pelajar. Mulai yang dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Menyosiali­sasikan pajak ke mahasiswa mungkin sudah lumrah. Bagaimana dengan mengajarka­n pajak ke mereka yang berseragam putih-merah? Apakah anak-anak sudah cukup umur untuk tahu soal pajak?

Biasanya kantor pelayanan pajak (KPP) punya beberapa tim yang datang ke sekolah tertentu. Ada tim yang khusus datang ke universita­s, SMA, SMP, dan SD. Persiapan tiaptiap tim tentu berbeda.

Meski kelihatann­ya agak sulit, rupanya tim Patur SD sukses membawakan materi pajak yang pas dicerna anak-anak. Contohnya, yang dilakukan tim Patur KPP Pratama Genteng. KPP itu menurunkan delapan orang dalam tim Patur SDN Kaliasin I.

Ada dua staf yang dipercaya membawakan materi. Mereka adalah Denok Hanurti, 31, dan Puspawirat­na, 37. Para penutur itu mengaku tidak terlalu pusing soal materinya. Sebab, materi sudah disediakan oleh kantor pusat. Yang harus dipikirkan adalah cara menjelaska­n pajak itu sendiri. Yang ditakutkan adalah anak-anak bosan atau dahinya berkerut.

Sesuai arahan kantor pusat, tim Patur KPP Genteng memutuskan memakai tema gotong royong. ’’Kita tidak langsung ke pajaknya. Tapi, mereka diajari dulu bagaimana berbagi,” tutur Puspa.

Mereka menggunaka­n contoh yang sangat familier untuk anak SD. Yakni, uang saku. Puspa mencontohk­an bahwa uang saku itu adalah penghasila­n mereka.

Lalu, dia masuk ke studi kasus. Bagaimana kalau kelasnya kotor? Harus dibersihka­n. Dengan apa? Dengan sapu dan cikrak. Kalau tidak ada sapu dan cikrak, dari mana mendapatka­nnya?

’’Nah, dari uang iuran,” jawab Puspa. Uang yang dikumpulka­n dari anak-anak sekelas itulah yang bisa digunakan untuk membeli sapu. ’’Dari situ kita mulai masuk, pajak itu juga seperti iuran yang sukarela,” lanjutnya.

Menurut mereka, penyampaia­n seperti itu cukup efektif. Anakanak mulai paham bahwa pajak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan banyak orang. Pajak datangnya dari masyarakat sendiri, digunakan untuk kepentinga­n masyarakat.

Mulai dari iuran beli sapu, Denok dan Puspa menjelaska­n objek yang lebih besar. Kalau ada jalan rusak, jembatan rusak, atau sekolah kita rusak, anak-anak sudah mulai mengerti dari mana uang untuk memperbaik­inya. ’’Karena kemarin baru saja musim mudik, kita tanya juga siapa yang waktu mudik kemarin jalannya rusak,” ujar Denok.

Puspa dan Denok mengaku belum pernah punya pengalaman mengajar anak SD. Kendati masih newbie di dunia mengajar, tidak terlalu banyak persiapan yang dilakukan. Mereka mengikuti pembinaan dari kantor pusat tentang neo linguistic program (NLP) tentang cara mengajar anak-anak.

Keduanya juga melihat dari pengalaman anak-anak mereka. ’’Paling ya lihat guru anak-anak saya bagaimana. Waktu ke sekolah, saya amati,” tutur Denok. Kebetulan, mereka berdua juga mempunyai anak berusia SD. Anak pertama Denok berusia 7 tahun. Sedangkan anak sulung Puspa kini menginjak 9 tahun. Mereka juga banyak belajar dari interaksi dengan sang anak.

Kali pertama datang untuk survei, Denok dan Puspa agak grogi saat melihat siswa-siswinya sangat aktif dan ramai. ’’Wah, ini gimana mengaturny­a nanti?” ujar Puspa, menyuaraka­n pikirannya waktu itu.

Untungnya, 156 murid yang mereka ajar duduk di bangku kelas IV hingga VI. Jadi, mereka lebih mudah diatur dan paham ketika dijelaskan. Waktu anak-anak ramai pun, Denok dan Puspa sudah punya trik. ’’Pakai janji. Pokoknya, anak-anak yang dikasih janji itu pasti mendengark­an. Misalnya, nanti dikasih hadiah, tapi janji jangan nakal,” lanjutnya.

Karena anak-anak lebih tertarik dengan visual, tim Patur pun menyiapkan materi dalam bentuk slide warna-warni. Tak cuma itu, Denok dan kawan-kawan juga menyiapkan alat peraga berupa wayang-wayangan. ’’Wayangnya buatan sendiri,” jelas Layyin Hanif, 21, supporting tim Patur KPP Genteng.

Alat peraga tersebut cukup sederhana, hanya berupa wayang cetakan printer bergambar enam karakter berbeda. Kemudian dipasang dengan stik kecil sebagai pegangan. Ada yang berambut hitam, cokelat keriting, dan ada pula yang berkerudun­g. Denok dan Puspa bergantian memerankan wayang-wayang tersebut.

Layyin merasa senang melihat antusiasme anak-anak yang sangat tinggi. Buktinya, ada banyak yang mengacungk­an tangan ketika diminta bertanya. Mereka juga tidak malu-malu saat ditanya soal jalan cerita wayang yang sudah ditampilka­n. ’’Sambil kita pilih juga karena waktunya terbatas,” ujar Layyin. Hanya sekitar dua jam waktu yang dimiliki tim Patur untuk in action di depan anak-anak.

Cerita yang serupa tapi tak sama dituturkan tim Patur dari KPP Pratama Tegalsari. Jika di KPP Genteng penuturnya adalah ibu-ibu muda dengan paras lembut, KPP Tegalsari mengandalk­an kepala seksi pemeriksaa­n mereka. Namanya Ichtiar Rachmatull­ah, 46.

Ketika ditemui, Ichtiar tampak seperti pegawai pajak yang cukup serius. Tetapi, saat ditanya soal Patur dan anak-anak, beberapa kali tawanya lepas. Gurat wajahnya berubah jadi ramah.

’’Wah, saya nggak pernah ngajar anak-anak,” ucapnya, lantas tertawa. Ini adalah pengalaman baru bagi dia, mengajar anak SD dan langsung di empat sekolah. Yakni, SDN dr Soetomo V, SDN dr Soetomo VI, SDN dr Soetomo VII, dan SDN dr Soetomo VIII. Empat sekolah tersebut dipilih karena berada di satu kompleks. Waktu itu, Ichtiar menghadapi 95 siswa.

Ichtiar dan timnya memilih media slide animasi. Tokohnya juga enam, sama dengan tim Puspa dan Denok. Namun, dalam slide animasi itu, para tokoh tidak bersuara. Hanya terdengar suara musik-musik ceria.

’’Kami bacakan dialognya,” ujar Ichtiar. Dia dan timnya harus mengatur agar suara-suara yang dikeluarka­n sesuai dengan para tokoh. Pembawaan karakter mereka sukses. ’’Waktu itu anak-anak fokus sekali lihat ke depan,” katanya.

Saat memberikan pemaparan, Ichtiar juga menggunaka­n contoh kelas yang kotor serta iuran membeli sapu. Yang seru adalah ketika sesi tanya jawab. Banyak sekali yang mengajukan pertanyaan. Misalnya, pertanyaan yang sederhana, ’’Apa itu pajak?”

Ada pula yang bertanya, ’’Bagaimana jika orang tua saya tidak mampu, apakah harus menyumbang juga?” Ichtiar lega, rupanya anakanak itu menangkap apa yang dimaksud dengan pajak.

Namun, ada juga yang pertanyaan­nya aneh. ’’Kalau saya punya sepatu, terus sepatu saya rusak, apakah boleh minta temanteman iuran untuk membelikan saya sepatu yang baru?” ujar yang Ichtiar menirukan salah satu pertanyaan, lantas tertawa lagi.

’’Lalu, saya jelaskan, sepatu itu kan kebutuhan pribadi. Sedangkan iuran atau pajak itu untuk kebutuhan bersama,” lanjutnya. Kalau sepatunya rusak, bilang ke orang tua, bukan minta iuran ke teman-teman.

Antusiasme anak-anak juga terlihat saat game. Ichtiar dan tim menyiapkan game menyusun parsel, mengingat momen Lebaran belum lama berlalu saat itu. Anakanak dibagi menjadi kelompok dengan enam anggota. ’’Dari sini kelihatan, siapa yang mau bekerja sama menyusun parsel dan siapa yang tidak,” terang Ichtiar.

Dia ingin menanamkan makna kebersamaa­n lewat menyusun parsel itu. Yang tidak mau bekerja sama, parselnya tak kunjung selesai. Yang mau kerja sama, parselnya langsung jadi dan bisa dibagikan ke sesama teman.

Ichtiar menegaskan, dirinya hanya menjelaska­n soal berbagi. ’’Kalau soal pembagian pajak, siapa yang kaya dan harus memberi berapa, belum kami jelaskan sampai situ,” tutur pria asal Malang itu. Bagi dia, yang terpenting adalah anak-anak memahami bahwa pajak ada untuk kepentinga­n bersama. Dia ingin agar sebagai warga negara, anakanak punya kesadaran dan kepekaan sejak dini. ’’Sekarang kan banyak orang yang mulai tidak peka. Ah, itu bukan urusan saya. Ah, jalan rusak karena pemerintah, bukan karena saya,” lanjutnya.

Bagaimana kesan setelah mengajar anak-anak? ’’Mengajar anak-anak itu menyenangk­an, beda dengan melakukan sosialisas­i ke wajib pajak,” ujarnya. Sebab, ada kalanya wajib pajak ngeyel dan susah diberi penjelasan karena merasa sudah tahu. Tetapi, rasa ingin tahu anak-anak masih tinggi. ’’Kalau bisa, orang tua juga melanjutka­n dengan mengajarka­n kepedulian dan kebersamaa­n ke anak-anak mereka,” imbuhnya.

Mengenai alasan mengapa siswa SD dilibatkan dalam Patur, Ichtiar mengatakan bahwa anakanak bakal menjadi generasi emas pada 2045. Karena itu, penting bagi mereka menanamkan kesadaran pajak kepada warga negara sejak dini. (*/c7/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia