Jawa Pos

Lewat Pos Militer Malah Lebih Mudah

- Baca Lewat... Hal 11

PEMERINTAH Myanmar, tampaknya, menyembuny­ikan sesuatu atas konflik yang terjadi di Distrik Maungdaw, Negara Bagian Rakhine. Daerah dengan luas 3,538 kilometer persegi yang menjadi pusat konflik itu tertutup bagi orang asing dan terbatas untuk warga lokal. Kalau mereka nekat melintas secara ilegal, hukumannya bukan disuruh putar balik, tetapi penjara!

Jarak Maungdaw dari Sittwe, ibu kota Rakhine, sebenarnya hanya 100 km

Kurang lebih seperti jarak Surabaya ke Malang atau lebih dekat dari Jakarta ke Bandung. Untuk menuju ke tempat itu, Jawa Pos harus menyeberan­g sungai terlebih dahulu dengan menggunaka­n kapal dan dilanjut perjalanan darat.

Namun, untuk menyeberan­g dengan waktu sekitar tiga jam itu, harus ada izin. Apalagi jika melewati jalur darat. Ketika memasuki Buthidaung, Jawa Pos sudah dimintai bukti izin tertulis. ”Larangan sudah ditulis di imigrasi bandara,” ujar penerjemah Myo Thant Tun mengingatk­an.

Memang, ketika baru pertama mendarat di Sittwe, di meja imigrasi sudah tertulis area mana saja yang boleh dilalui tanpa izin khusus. Di antara 17 township yang berada di Arakan (nama lama Rakhine), 16 boleh disinggahi dengan bebas. Namun, ada satu wilayah yang dilarang: Maungdaw.

Jika sudah telanjur berada di Sittwe dan belum mengantong­i izin, sebenarnya izin bisa diajukan di situ. Namun, dibutuhkan waktu sampai dua hari paling cepat. Itu juga belum tentu permohonan izin masuk Maungdaw dikabulkan.

”Apalagi, konflik belum selesai dan ARSA memiliki senjata untuk melukai,” imbuh Myo. ARSA adalah Arakan Rohingya Salvation Army. Oleh pemerintah Myanmar, kelompok itu disebut sebagai teroris karena sudah berikrar ingin mendirikan negara Islam dan berafilias­i dengan ISIS.

Terbaru, ARSA sudah mengirim pesan perang kepada pemerintah Myanmar dengan mengancam meledakkan bom di beberapa kota utama. Misalnya, Yangon, ibu kota Nay Pyi Taw, Mandalay, dan Mawlamyain­g. ARSA saat ini selain memiliki senjata api dan senjata tajam, juga punya bom.

Saat mencari informasi ke beberapa orang, termasuk guide yang sudah terbiasa menjalin komunikasi dengan organisasi non pemerintah untuk memasuki kawasan Maung- daw, Jawa Pos diberi opsi. Salah satunya menggunaka­n perahu. ”Wajah Anda mirip orang Myanmar, saya rasa kita bisa masuk Maungdaw,” terang lelaki gemuk yang tak mau disebutkan namanya itu.

Sekali jalan, dibutuhkan waktu empat jam. Namun, untuk mencari perahu lainnya, tidak bisa cepat. Perlu menunggu keesokan harinya. Artinya, harus menginap semalam di daerah konflik yang sudah menghilang­kan banyak nyawa itu. ”Dengan catatan tidak diperiksa petugas di tengah jalan. Lewat perahu, berarti ilegal, dan bisa langsung dipenjara,” katanya.

Opsi lain yang lebih cepat adalah menyewa speedboat secara pribadi. Namun, memasuki daerah konflik membuat pemilik perahu memasang tarif tinggi. Yakni, sekitar Rp 5 juta. Soal garansi keamanan? Tidak ada. Jika tertangkap, ya siapsiap menginap di hotel prodeo.

Akses menuju pelabuhan juga tidak terlalu baik. Justru melewati pos pengamanan militer yang tidak terlalu ketat. Selama bersama warga lokal dan memiliki wajah Asia Tenggara, pengunjung bisa langsung lewat begitu saja. Setelah itu, melalui jalanan beraspal yang rusak dengan ditemani pemandanga­n sawah dan tambak.

Tetapi, di kiri dan kanan, dalam radius beberapa kilometer ada beberapa kamp militer. Entah berupa barak, perbekalan, ataupun kompleks permukiman. Meski aktivitas cenderung tidak terlihat, kompleks militer itu seperti memberikan jaminan jika konflik meluas sampai Sitwee, mereka siap mengamanka­n.

Sampai saat ini, militer Myanmar belum mengurangi kekuatanny­a di Maungdaw. Termasuk di Buthidaung yang menjadi kota besar di Maungdaw. Arif, salah seorang muslim Rohingya yang ditemui Jawa Pos di Yangon, sempat mengatakan bahwa keluargany­a ada di Buthidaung. ”Kabar terakhir, ada sekitar 2 ribu orang yang masih bersembuny­i di hutan,” terangnya. Sejak konflik meletus pada 25 Agustus, Arif mengaku tidak tahu nasib keluargany­a.

Keamanan untuk menuju titik tengah konflik makin tidak menentu karena militer Myanmar memasang banyak ranjau darat. Terutama di kawasan yang berada di sekitar perbatasan Bangladesh. Itu dibenarkan Amnesty Internatio­nal yang mengungkap­kan adanya pelanggara­n HAM berat oleh militer.

Amnesty Internatio­nal menyampaik­an, hasil perkembang­an sementara dari investigas­i lapangan menunjukka­n, ranjau darat antiperson­al itu dipasang untuk mencegah kembalinya pengungsi Rohingya ke Negara Bagian Rakhine. Padahal, penggunaan jenis ranjau tersebut telah dilarang secara internasio­nal.

Amnesty Internatio­nal menemukan tiga orang –dua di antaranya anak-anak– terluka parah dan seorang meninggal akibat ranjau tersebut. Tim Respons Krisis Amnesty Internatio­nal yang dipimpin Tirana Hassan berada di perbatasan Myanmar dan Bangladesh untuk mengumpulk­an bukti-bukti terkait. ”Ranjau ini memperpara­h keadaan di Rakhine. Memba- hayakan nyawa pengungsi yang melintas,” ujar Tirana.

Militer Myanmar memang sempat membantah dan menuding kelompok teroris sebagai pelaku penanaman ranjau itu. Namun, Dhaka telah mengirim nota protes resmi ke Yangon atas penanaman ranjau tersebut.

Sementara itu, pengungsi Rohingya yang terus mengalir ke Bangladesh membuat PBB kewalahan. Juru Bicara Badan Pengungsi PBB (UNHCR) Vivian Tan mengungkap­kan bahwa mereka tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) untuk mengurus semua pengungsi yang baru datang. Selama dua pekan ini, sudah ada 290 ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh. Mayoritas tinggal di area perbatasan yang sebelumnya tak berpenghun­i.

Bukan hanya UNHCR yang merasa tak mampu mengurus semua pengungsi, lembaga-lembaga kemanusiaa­n yang terjun ke lokasi merasakan hal serupa. Setiap hari ribuan orang terus berdatanga­n dalam kondisi yang mengenaska­n dan kelaparan. Beberapa lembaga PBB dan organisasi non pemerintah (NGO) mengunjung­i lokasi-lokasi pengungsia­n seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

”Sebagian besar pengungsi yang baru datang terus memberi tahu kami bahwa rumah ataupun desa mereka dibakar,” ujar Vivian Tan saat diwawancar­ai secara khusus oleh Al Jazeera akhir pekan ini.

Mereka harus berjalan 3–9 hari sebelum tiba di Bangladesh. Itu pun belum tentu dalam kondisi hidup. PBB memperkira­kan konflik terbaru di Rakhine, Myanmar, itu telah merenggut sedikitnya seribu nyawa. Beberapa pengungsi harus melahirkan dalam pelarian. Salah satunya adalah pengungsi di kamp Nayapara, Teknaf, Bangladesh. Seorang pengungsi melahirkan bayi kembar saat melarikan diri dari Rakhine. Setiap hari selalu ada kisah menyedihka­n yang menyayat hati.

Tak semua anak-anak yang mengungsi ditemani orang tuanya. Banyak di antaranya yang benar-benar sendirian. (idr/ byu/Reuters/AlJazeera/CNN/ sha/c10/nw)

 ??  ?? dari Sittwe, Myanmar DHIMAS GINANJAR Laporan
dari Sittwe, Myanmar DHIMAS GINANJAR Laporan

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia