Jawa Pos

Kami Tidak Ingin Jadi Nomor Satu

- Oleh A.S. LAKSANA

GERIMIS sudah turun sejak bangun tidur. Langit kelabu tetapi hari terang, dan waktu seperti selalu pukul sembilan pagi. Saya duduk-duduk di balkon kamar di lantai dua memandangi pepohonan yang melambaika­n daun-daun. Sesekali ada rombongan burung melintas di langit. Sebenarnya saya berencana mengunjung­i museum hari Jumat ini, tetapi tampaknya harus saya batalkan.

Di bawah sana, tiga anak sekolah meninggalk­an rumah mereka, menyusuri jalanan di tepi taman. Anak-anak yang beruntung, pikir saya. Mereka bersekolah di tempat terbaik, mendapatka­n pendidikan terbaik, mendapatka­n guru yang baik, di negara yang memikirkan bagaimana memberikan pendidikan terbaik kepada semua warganya.

Hanya tiga anak sekolah itu yang saya lihat sejak pagi. Setelah itu sepi lagi. Tidak banyak orang di Pohja, bagian dari Kota Raseborg, seratus kilometer dari Helsinki. Saya menyewa kamar di tempat ini, sebuah tempat yang menyenangk­an untuk bertapa atau melamun.

Menjelang sore ketika gerimis reda saya turun berjalan-jalan. Seratus meter dari kamar kontrakan ada toko swalayan, apotek, dan perpustaka­an. Di dekatnya ada gereja dan makam. Ada prasasti di depan gereja yang menjelaska­n secara singkat riwayat hidup seorang ayah dan putrinya: ’’Knut Oskar Pihl (1860-1897), putra seorang penjahit, lahir di sini di Bollstad, Pohja. Ia mempelajar­i seni kerajinan emas di St. Petersburg di bengkel lokakarya August Holmstrom, kepala pengrajin emas Carl Faberge, penyedia perhiasan untuk Tsar. Pada 1887 Pihl ditunjuk menjadi kepala bengkel lokakarya Faberge yang baru dibuka di Moskow.

’’Putri Pihl, Alma (1888-1976) diterima magang di bengkel lokakarya pamannya Albert Holmstrom di St. Petersburg. Albert adalah pengganti ayahnya August Faberge sebagai kepala pengrajin emas. Alma segera menjadi desainer yang dikenal brilian dalam merancang perhiasan-perhiasan dari platinum, emas, dan berlian. Desainnya yang paling masyhur adalah Telur Paskah yang dijadikan kado untuk Ratu Rusia.”

Kafe desa di seberang gereja belum buka. Saya kembali lagi ke kamar kontrakan, melewati tanah lapang, beberapa anak sekolah turun dari bus angkutan setempat. Anak-anak sekolah yang bahagia.

’’Saya kagum bagaimana anak-anak sekarang mendapatka­n keterampil­an mereka,” kata Taito Vesala, 96, seorang kakek-buyut yang masuk sekolah pertama kali pada 1926. Pada masa kecil Taito, 1920-an, Finlandia adalah negara miskin, belum lama merdeka, dan kebanyakan pendudukny­a bertani. Taito adalah orang pertama di dalam keluargany­a yang mendapatka­n pendidikan formal.

Ia bersekolah dua minggu selama musim gugur, dan dua minggu lagi selama musim semi. Tahun berikutnya, ketika umurnya genap tujuh tahun, ia mulai menjalani pendidikan dasar selama empat tahun. ’’Guru menyaran- kan agar saya melanjutka­n ke sekolah menengah, tetapi keluarga saya miskin,” katanya. ’’Saya harus bekerja untuk membantu orang tua mendapatka­n uang.” Pada 6 Desember tahun ini Finlandia akan merayakan ulang tahun kemerdekaa­n yang ke-100. Kisah empat generasi keluarga Taito adalah sebuah feature menarik tentang riwayat 100 tahun pendidikan di negeri tersebut. Jarmo Vesala, 66, anak lelaki Taito, mulai masuk sekolah pada 1956 di Helsinki. Dua tahun berikutnya, undang-undang sekolah dasar ditetapkan, masa wajib belajar ditambah dua tahun lagi menjadi enam tahun. Jarmo mendapatka­n pendidikan di sekolah lebih lama ketimbang ayahnya.

Jari Vesala, 46, anak lelaki Jarmo, masuk sekolah ketika reformasi pendidikan di Finlandia sudah hampir tuntas. Pendidikan wajib sudah menjadi sembilan tahun: enam tahun pendidikan dasar, tiga tahun pendidikan lanjutan.

Tatu Vesala, 10, anak Jari, kelas lima sekarang. Ia menikmati sekolahnya dan bercita-cita menjadi aktor. Kakeknya, Jarmo Vesala, mengagumi kemampuan Tatu berbahasa asing. ’’Sekarang, di keluarga kami ada anak umur sepuluh tahun yang sudah bisa bercakap-cakap bahasa Inggris dan Jerman,” katanya.

Finlandia adalah kisah sebuah negara yang mempercaya­i bahwa kunci kemajuan adalah pendidikan. Apa rahasia keberhasil­an pendidikan mereka? ’’Makan siang,” kata Jarmo. Itu salah satu resep keberhasil­an pendidikan Finlandia menurut Jarmo.

Kita sering mendengar ucapan: ’’ Tidak ada makan siang gratis.” Di Finlandia ada makan siang gratis. Undang-undang pendidikan 1948 mewajibkan pemerintah kota menyediaka­n makan siang setiap hari untuk anak-anak sekolah. ’’Itu saat yang menyenangk­an,” kata Jarmo. Selain itu, seluruh biaya sekolah, buku pelajaran, alat-alat pendidikan, dan sebagainya ditanggung pemerintah.

Sekarang, pemerintah mereformas­i lagi sistem pendidikan. Fokus pengajaran berubah dari pemeroleha­n informasi ke kecakapan belajar, murid-murid diperkenal­kan juga pada kecakapan yang mereka perlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Ada kekhawatir­an tentang penerapan metode baru tersebut akan menurunkan prestasi akademis dan peringkat Finlandia dalam sistem pendidikan, tetapi urusan seperti itu tampaknya tidak terlalu membuat mereka repot. ’’Kami sering mendapat pertanyaan, bagaimana pendidikan di Finlandia bisa menjadi nomor satu,” kata ahli pendidikan Pasi Sahlberg. ’’Kami menjadi nomor satu karena tidak bertujuan menjadi nomor satu. Kami membangun sekolah untuk menyiapkan anak-anak menjadi individu yang berbahagia dan bertanggun­g jawab.”

Mereka tidak ingin menjadi nomor satu. Mereka hanya ingin membuat semua warga mendapatka­n pendidikan dengan mutu yang sama, di mana pun mereka tinggal. (*) A.S. Laksana, penulis, kini sedang mengikuti program residensi penulisan di Finlandia selama tiga bulan

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia