Wajib Konsentrasi Mendengar
Belajar dari sumbernya langsung jelas berbeda. Itulah yang dirasakan Bini, guru bahasa Jepang SMAN 19. Dia pergi ke Jepang dan mempelajari teknik mengajar dengan merasakan langsung penggunaannya.
KELAS mata pelajaran bahasa Jepang tidak boleh sepi. Semua harus aktif ngomong dan menulis huruf katakana dan hiragana. Dua jenis huruf dalam bahasa Jepang. Namun, suasana berbeda terlihat ketika Bini memberikan penjelasan. Seluruh siswa di kelas harus diam. Memperhatikan dengan saksama. Aturan itu tidak boleh dilanggar. Jika tidak, siap-siap saja kena hukuman.
Memang, peraturan tersebut menjadi poin perjanjian awal di kelas mapel bahasa Jepang. Bini sebagai pengampu pelajaran tersebut memang menciptakan suasana kelas yang disiplin. Persis seperti apa yang dipelajari ketika mengikuti pelatihan di jepang. Itulah yang dilihat dari siswasiswi di Jepang. Tidak tanggung-tanggung, perempuan berusia 45 tahun tersebut sudah tiga kali berlatih di Jepang.
Selama menjalani pelatihan, Bini mengadopsi beberapa teknik pengajaran. Sebut saja tentang kedisiplinan, tanggung jawab, dan kemandirian. Tidak heran, guru yang baru diangkat menjadi PNS pada 2016 itu membuat atmosfer kelasnya berbeda. Karena itu, keaktifan siswa menjadi kunci utama. Hal tersebut, lanjut dia, disokong modal kedisiplinan, tanggung jawab, dan kemandirian.
’’Belajar bahasa tidak bisa diam saja, harus banyak praktik,’’ jelasnya. Namun, keberanian itu tetap harus bertanggung jawab. Juga, harus diimbangi kedisiplinan. Menurut Bini, ilmu akan semakin mudah terserap dan dikuasai siswa.
Memang, Bini menerangkan bahwa itulah yang sengaja diadopsi setelah belajar di jepang. Apalagi, Bini sempat mengikuti pelatihan guru selama 1,5 tahun di Osaka University of Foreign Study. Terutama untuk memperdalam bahasa Jepang.
Pengalaman pertama tersebut didapat Bini ketika masih menjadi GTT rangkap di dua sekolah. Yakni, di SMKN 10 dan Sekolah Jepang Surabaya. Yang menarik, dua sekolah tersebut memberikan dua pengalaman sekaligus. Sebab, Bini mengajar bahasa Jepang di SMKN 10 yang juga sekolah negeri. Dia juga mengajar bahasa Indonesia di Sekolah Jepang Surabaya. Menurut dia, pengalaman itu membuatnya belajar.
Menjalani pelatihan di Jepang juga membuat cara pandang Bini berubah. Alumnus Universitas Negeri Surabaya itu lantas mengadopsi banyak model pembelajaran. Juga, menciptakan beragam inovasi kala pulang dan kembali mengajar. Termasuk membagi pengalamannya saat kali pertama mengalami gempa.
Bini menuturkan bahwa kepercayan diri masyarakat Jepang begitu tinggi. Sebab, mereka begitu yakin dengan konstruksi bangunan antigempa yang dimiliki. Ketika terjadi gempa, tidak ada yang berhamburan keluar. Bahkan, semua orang masih lalu lalang bekerja. ’’Saya baru tahu itu gempa ketika lihat TV,’’ katanya.
Kepercayaan diri itulah yang membuat Bini tertarik. Menurut dia, hal itu merupakan salah satu alasan kemajuan Jepang. Dia pun bertekad menekankan kepercayaan diri yang tinggi pada murid-muridnya. Terutama terhadap potensi dan karya sendiri.
Selain itu, Bini selalu mengombinasikan budaya dan bahasa. Hal tersebut dikaitkan dengan huruf Jepang. Bini mengungkapkan bahwa dua jenis huruf Jepang punya karakter yang berbeda. Misalnya, huruf hiragana yang digunakan untuk menulis kata asli dalam bahasa Jepang. Lalu, katakana digunakan untuk menulis beragam kata serapan.
Untuk memahami perbedaannya, Bini menggunakan contoh budaya. Misalnya, budaya makanan. Siswa diberi tugas untuk menulis jenis-jenis makanan. Makanan yang ditulis dalam huruf hiragana tentu makanan asli Jepang. Juga, makanan asing dari luar Jepang. ’’Ini metode pengajaran dengan proyek,’’ ucap sarjana pendidikan bahasa Jepang tersebut.
Bukan hanya itu, Bini juga mengajarkan huruf Kanji. Namun, huruf tersebut hanya diajarkan dalam kelas jurusan bahasa. Adapun kelas peminatan di IPA dan IPS menggunakan huruf hiragana dan katakana. ’’Yang jelas, semua mudah. Yang penting harus suka dulu seperti saya. Suka bahasa Jepang sejak awal,’’ ungkapnya. (kik/c15/ano)