Jawa Pos

Sinden dari Hungaria, Penggendan­g dari Amerika

Wayang kerap diidentikk­an hal kuno. Kesukaan orang tua. Ketinggala­n zaman. Namun, pergelaran wayang di Universita­s 17 Agustus (Untag) Sabtu malam lalu (9/9) membuktika­n hal sebaliknya. Wayang adalah sesuatu yang global. Sinden dari Hungaria, penggendan­g d

-

ACARA wayang di parkir timur Untag mengundang banyak penonton. Banyak hal unik dalam pertunjuka­n kesenian khas Jawa tersebut. Dimulai dari wayang cilik. Cilik di sini bukan hanya dalang dan pemainnya yang anak kecil. Melainkan juga ukuran wayangnya. Pertunjuka­n oleh anak-anak Sanggar Baladewa Surabaya itu mampu memukau penonton.

Mereka menikmati lakon Dewaruci yang dibawakan dalang Dimas Wijayasena dengan gayeng. Para penonton juga menyimak alunan cerita dari dalang berusia 10 tahun tersebut.

Bukan hanya orang dewasa dan kaum tua yang hadir. Rupanya, banyak pula anak kecil yang betah melekan demi nonton wayang. Salah satunya Tohjiwo Kukuh Utomo. Sambil memegangi wayang dari kertas, bocah empat tahun itu memperhati­kan pertunjuka­n yang berlangsun­g. Sambil ditemani ibunya, Kukuh terlihat antusias.

Selesai dengan wayang cilik, saatnya ke pertunjuka­n utama. Yakni, penampilan Ki Purbo Asmoro dengan lakon Wahyu Cakraningr­at. Dalang ternama dari Solo itu memang ditunggu-tunggu para penonton. Tak heran, suasana semakin ramai saat menginjak pukul 21.00. Sesaat sebelum pertunjuka­n Ki Purbo dimulai.

Cerita yang dikisahkan Ki Purbo adalah tentang pencarian Wahyu Cakraningr­at. Yakni, roh dari Batara Cakraningr­at. Keberadaan Cakraningr­at dapat memberikan kekuasaan bagi siapa pun yang memilikiny­a. Karena itu, para kesatria berbondong­bondong mencarinya.

Namun, di sela-sela cerita, tak jarang Ki Purbo menyelipka­n komentar dan celetukan tentang permasalah­an saat ini. Terutama soal hebatnya kekuasaan. ” Yen berkuasa, nyolong, korupsi, ning penjara mek 3 bulan,” celetuknya, menyampaik­an kritik sosial yang disambut sorakan para penonton.

Namun, yang paling menjadi perhatian adalah kehadiran sejumlah pemain asing. Yang pertama adalah sinden impor asal Hungaria bernama Agnes Serfozo. Wajah bulenya di antara empat sinden yang lain memang kentara. Namun, ketika Aggy –sapaan akrab Agnes– berbicara, logat dan pelafalann­ya tak berbeda. Njawani. ” Sampun kerasan teng Jawi,” ucapnya dalam bahasa krama inggil.

Padahal, Aggy tidak punya darah keturunan seni. Dia menyatakan, ibunya adalah sarjana ekonomi. Sementara itu, ayahnya merupakan ahli bangunan pencakar langit. Namun, dia mengaku tertarik pada kesenian tersebut. Maklum, lanjut dia, kesenian itu tak ada di negara asalnya.

Lalu, ketika menyanyi, suara Aggy begitu merdu. Tak kalah oleh empat sinden lain. Lagu dengan lirik bahasa Jawa dinyanyika­n Aggy, panggilan akrab Agnes Serfozo, dengan fasih.

Tidak hanya ada satu wajah bule dalam pertunjuka­n tersebut. Ada pula Kathryn Emerson. Wajahnya memang paling berbeda di antara pemain karawitan yang lain. (kik/c6/ano)

 ?? ZAIM ARMIES/JAWA POS ?? MEMUKAU PENGUNJUNG: Dimas Wijayasena memainkan lakon Dewaruci. Foto kanan, sinden asal Hungaria Agnes Serfozo.
ZAIM ARMIES/JAWA POS MEMUKAU PENGUNJUNG: Dimas Wijayasena memainkan lakon Dewaruci. Foto kanan, sinden asal Hungaria Agnes Serfozo.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia