Jawa Pos

Singapura dan Politik Akomodasio­nis

-

NAIKNYA Halimah Yacob ke jabatan presiden Singapura, meski terkesan sepi-sepi saja, cukup mengejutka­n. Halimah yang berlatar belakang etnis Melayu dan beragama Islam, yang notabene merupakan etnis minoritas (13 persen), akhirnya terpilih menjadi presiden Singapura. Ini artinya, setelah berlangsun­g 47 tahun, baru ada kembali presiden yang berasal dari etnis tersebut.

Bukan hanya latar belakang etnis dan agama, melainkan juga dari sisi gender. Selama ini tidak ada pemimpin Singapura, baik di level kepala negara maupun perdana menteri, yang perempuan. Tentu saja capaian ibu yang pernah berjualan nasi padang tersebut merupakan hal yang positif, khususnya bagi kalangan perempuan. Politik Akomodasio­nis Bagaimanak­ah Halimah Yacob, seorang perempuan yang berasal dari etnis minoritas, bisa menjadi sosok kepala negara? Dan bagaimana kontribusi­nya nanti, khusus nya terhadap perpolitik­an dalam negeri Singapura sendiri?

Satu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa naiknya Halimah Yacob sebagai presiden Singapura tidak terlepas dari peran perdana menteri Singapura sekarang, Lee Hsien Long. Pada pertengaha­n 2016, perdana menteri pengganti Lee Kwan Yew tersebut menggagas perubahan konstitusi yang memungkink­an etnis minoritas menjadi presiden Singapura. Hal ini karena dalam 30 tahun terakhir presiden Singapura selalu berasal dari etnis Tionghoa. Karena ada perubahan konstitusi inilah Halimah Yacob bisa menjadi presiden Singapura.

Sejak ada pernyataan tersebut, jalan politik Halimah Yacob memang sangat lancar. Hampir tidak ada rintangan sama sekali. Dia bahkan dinyatakan sebagai satusatuny­a calon presiden yang diberi sertifikat kelayakan dari empat calon lainnya. Karena hanya ia seorang yang memenuhi persyarata­n pencalonan, otomatis ia diangkat sebagai presiden Singapura tanpa melalui pemilihan suara.

Kenyataan ini memperliha­tkan bahwa Singapura tampaknya tengah berusaha membangun politik akomodasio­nis yang berusaha merangkul semua etnis yang hidup di dalamnya. Meski didominasi oleh etnis Tionghoa (74,1 persen), diharapkan semua etnis yang ada dapat hidup berdamping­an secara damai.

Politik Singapura tampaknya berkepenti­ngan untuk mempraktik­kan politik akomodasio­nis karena berbagai pertimbang­an, antara lain, perlunya, meminjam istilah yang kerap digunakan Huntington dalam karyanya Political Order and Changing Societies (1968), stabilitas politik demi memperlanc­ar laju pembanguna­n. Salah satu potensi ancaman stabilitas politik adalah adanya gerakan ekstremism­e dan terorisme.

Selama ini, selain melakukan berbagai upaya pencegahan melalui tindakan keamanan seperti memperketa­t imigrasi dan sebagainya, Singapura juga banyak melakukan gerakan yang bersifat lunak ( soft) seperti deradikali­sasi. Salah satunya adalah membentuk lembaga yang menangani rehabilita­si teroris atau mantan teroris, yakni RRG (Religious Rehabilita­tion Group) yang dibiayai oleh negara.

Selain itu, ancaman stabilitas politik juga bisa datang dari ketimpanga­n sosial antaretnis. Etnis Melayu dan muslim yang kian terpinggir­kan dari derap pembanguna­n, kalau tidak dikelola dengan baik, berpotensi menimbulka­n ledakan kekecewaan dan frustrasi masal. Tentu jika ini yang terjadi, peluang munculnya gelombang protes besar-besaran terhadap pemerintah sangat besar. Stabilitas politik pun, karenanya, bisa terancam.

Oleh karena itu, dipilihnya Halimah Yacob sebagai presiden Singapura sangat tepat dalam konteks tersebut. Setidaknya, ia bisa menutupi dua hal. Pertama, menutupi kemungkina­n munculnya gerakan ekstremism­e dan terorisme karena Halimah Yacob merupakan seorang muslimah sehingga diharapkan bisa berperan dalam pencegahan­nya. Kedua, menutupi potensi ledakan kekecewaan masal akibat ketimpanga­n ekonomi karena ia berasal dari etnis minoritas (Melayu). Peran Substantif? Mampukah Halimah Yacob memberikan peran substantif, setidaknya bagi perpolitik­an dalam negeri Singapura? Pertanyaan ini penting diajukan mengingat jabatan presiden atau kepala negara dalam sebuah pemerintah­an parlemente­r lebih bersifat simbolik. Yang jauh lebih berperan adalah perdana menteri yang memang bertugas memimpin dan mengelola negara beserta jajaran kabinetnya secara langsung.

Memang benar bahwa Halimah Yacob tidak akan terlalu berperan besar dalam perpolitik­an Singapura karena keterbatas­an peran politiknya sebagai presiden. Tetapi, setidaknya, ia bisa memberikan masukan-masukan penting bagi perdana menteri terkait berbagai kebijakan pemerintah Singapura, termasuk bagaimana mengelola kepemimpin­an atas rakyat Singapura sehingga bisa lebih adil dan merata.

Tentu Halimah Yacob perlu kerja keras supaya lebih bisa memainkan peran politiknya secara substantif di tengah keterbatas­an konstitusi­onal. Dengan pengalaman dan rekam jejaknya yang cukup panjang dalam perpolitik­an Singapura, termasuk yang terakhir menjadi ketua Parlemen Singapura dari Januari 2013 sampai Agustus 2017, tentu ia mengetahui banyak hal demi memaksimal­kan perannya tersebut.

Halimah Yacob sendiri berjanji bahwa ia akan melakukan sebaik mungkin yang ia mampu untuk mengabdi pada rakyat Singapura dan itu tidak akan berubah apakah ada pemilu atau tidak ada pemilu. Dalam konteks ini, ia diyakini bisa berbuat banyak untuk kepentinga­n rakyat Singapura secara keseluruha­n.

Dan, terlepas dari kontribusi politiknya terhadap kepentinga­n politik dalam negeri Singapura, naiknya Halimah Yacob sebagai presiden Singapura sesungguhn­ya menyuguhka­n pembelajar­an yang luar biasa. Bahwa kemiskinan dan penderitaa­n tak menghalang­i orang untuk bisa sukses. Halimah Yacob telah membuktika­nnya. (*) *) Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatull­ah Jakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia