PEREMPUAN & PELUANG FILM INDONESIA
SEBERAPA BESAR KESEMPATAN BAGI PEREMPUAN UNTUK BERKONTRIBUSI DI FILM INDONESIA? DAN KENAPA PENTING? OLEH PRIMA RUSDI
Kisaran tahun 2000, saya membaca berita mengenai gerakan I-sinema yang diprakarsai oleh 13 sutradara Indonesia (Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Triveni Achnas, Rizal Mantovani, Enison Sinaro, Srikaton, Sentot Sahid, Nayato Fionuala, Teddy Soeriaatmadja, Dimas Djajadiningrat, Jay Subyakto, Richard Buntario, dan Ipang Wahid). Dan itulah momentum eureka untuk saya yang ingin menjadi penulis skenario film. Saat itu, saya bekerja sebagai penulis naskah iklan. Mengikuti berita I-sinema, saya lantas berasumsi pasti ada ‘serba 13’ lainnya yang berkaitan dengan profesi di dalam film (produser, penulis, sinematografer, editor, penata artistik, penata suara, dan lain-lain). Asumsi ‘serba 13’ versi saya buyar saat bertemu dengan Mira Lesmana (produser) dan Riri Riza (sutradara). Jangankan 13 penulis skenario, saat itu jumlah pekerja film untuk semua lini jauh lebih sedikit dibanding hari ini. Kala itu, bidang yang paling diminati adalah menjadi sutradara. Pemahaman soal luas lingkup pekerjaan produser pun masih sering diidentikkan dengan ‘urusan cari duit’ semata. Padahal, peran penentu soal film apa yang harus dibuat, siapa yang dilibatkan di dalam produksi film tersebut, apa pertimbangannya, ringkasnya apapun yang berkaitan dengan visi kelahiran sebuah film tak lepas dari peran produser. Bagaimanapun, kita beruntung. Pada awal 2000-an, sebagian dari sedikit produser film adalah perempuan. Sebut saja beberapa
nama seperti Mira Lesmana, Shanty Harmayn, Christine Hakim, Nan T. Achnas, dan Nia Dinata. Berkat mereka, wacana perfilman kita dalam konteks ‘peran dan kesetaraan perempuan’ relatif berbeda dengan, katakanlah, yang terjadi di Hollywood (soal kesetaraan pembayaran dan perundungan seksual). Bila sejak awal 2000-an penonton diajak berkenalan dengan karakter-karakter perempuan yang kuat, multi-dimensional, bukan sekadar ‘pelengkap’ apalagi ‘korban’, ini jelas berkat visi awal para produser di balik film-film tersebut. Bermula dari merekalah para karakter perempuan di film-film seperti Petualangan Sherina (sutradara, Riri Riza), Pasir Berbisik (sutradara, Nan T. Achnas) atau Berbagi Suami (sutradara, Nia Dinata) menjadi subyek yang menentukan arah cerita. Fokus sejak awal 2000-an hingga satu dekade pertama perfilman Indonesia lebih pada peningkatan jumlah produksi film. Tentunya, hal ini berkaitan dengan upaya meningkatkan jumlah pekerja film profesional di semua bidang. Untuk waktu yang sangat lama kita memiliki keterbatasan fasilitas pendidikan bagi pekerja film profesional. Berbeda misalnya dengan Iran, yang sejak dulu sudah memiliki setidaknya tiga sekolah film. Ini sekadar salah satu ilustrasi yang membedakan persoalan kita dari persoalan Hollywood. Namun, beda masalah bukan berarti tidak ada masalah. Pertumbuhan jumlah pekerja film perempuan di banyak bidang, jelas meningkat. Kini, jumlah penulis skenario film telah mencapai angka ratusan. Sekitar 80 di antaranya tergabung di dalam asosiasi penulis skenario film Indonesia, PILAR (Penulis Indonesia Untuk Layar Lebar). Namun, dengan meningkatnya jumlah produksi hari ini, jumlah itupun belum memadai. Persoalan lainnya adalah, minat dan pertambahan jumlah pelaku ragam profesi pada film belum merata. Kita boleh berbangga hati karena telah memiliki pekerja film perempuan hampir di semua bidang. Sejumlah editor perempuan sudah lama kita kenal, misalnya Aline Jusria (salah satunya, Banda the Forgotten Trail arahan Jay Subyakto) dan Dewi Alibasah (salah satunya, Banyu Biru arahan Teddy Soeriaatmadja). Selain dua nama tersebut, tercatat ada 21 editor perempuan lainnya yang terdaftar di dalam asosiasi editor film Indonesia, INAFED (Indonesian Film Editors). Kita juga mengenal sejumlah sinematografer perempuan seperti Anggi Frisca (salah satunya, Sekala Niskala arahan Kamila Andini) dan Amalia TS (antara lain, Galih dan Ratna arahan Lucky Kuswandi). Di bidang artistik, produksi, dan lain-lain, juga sudah tercatat sejumlah pekerja perempuan. Namun, secara umum bisa dikatakan peningkatan jumlah pekerja film profesional (baik laki-laki maupun perempuan) belumlah merata untuk semua bidang yang dibutuhkan dalam pembuatan film. Untuk bidang yang berkaitan dengan sound misalnya, pekerja perempuan yang menekuni bidang ini masih amat langka. Dengan kata lain, yang masih perlu dilakukan adalah mendorong dan meyakinkan bahwa peluang untuk berprofesi di film Indonesia masih terbuka. Apalagi bila melihat maraknya produksi film Indonesia saat ini. Para produser kini kerap kesulitan mencari kru produksi. Bagi yang rajin menonton film Indonesia dan mengikuti credit title di ujung film, tak jarang muncul nama-nama pekerja film yang itu-itu lagi. Bahkan untuk bidang yang sekilas dekat dengan perempuan, seperti penata busana atau makeup. Ini belum termasuk bidangbidang lain terkait dengan film yang tak kalah penting seperti publikasi atau pengarsip film. Atau bidang film non fiksi seperti dokumenter, yang hingga kini masih belum banyak ditekuni oleh pembuat dokumenter perempuan. Padahal, keberlangsungan film nasional sangat ditentukan oleh pertumbuhan jumlah pekerja film profesional yang memadai. Karenanya, jumlah pekerja perempuan yang profesional di bidang film di Indonesia menjadi penting. Kenapa? Antara lain, agar film-film berkualitas dengan menampilkan subjek perempuan seperti Marlina the Murderer in Four Acts (Mouly Surya) bisa terus diproduksi dalam jumlah yang lebih banyak. Ringkasnya, mari perlebar peluang keterlibatan perempuan di dalam film Indonesia.