YAYOI'S UNIVERSE
Mengenal lebih dekat seniman favorit di era seni rupa modern ini.
MENGENAL LEBIH DEKAT SENIMAN FAVORIT DI ERA SENI RUPA MODERN INI, TENTANG PENGARUH GEORGIA O’KEEFE DALAM HIDUPNYA, DAN PERASAANNYA SAAT KARYA-KARYANYA MENYAMBANGI NEGERI INI. OLEH FEBE R. SIAHAAN
Siapakah Yayoi Kusama? Mereka yang mengikuti perkembangan budaya pop mungkin hanya mengenal sang seniman dari karya-karyanya yang ikonis: pola polkadot yang berulang, penampilannya yang unik, dan karya instalasinya yang muncul di berbagai foto selfie. Namun tidak banyak yang tahu tentang masa kecilnya yang sulit, perjalanan kariernya di New York, pergumulan menghadapi kelompok masyarakatnya sendiri, dan berpuluh tahun hidup dengan neurosis atau penyakit gangguan mental. Yayoi Kusama lahir tahun 1929 di kota Matsumoto, Jepang, dari keluarga pedagang yang cukup berada. Namun masa kecilnya tidak bahagia, akibat dari hubungan yang tidak harmonis antara ayah dan ibunya, juga antara dia sendiri dan ibunya. Sejak kecil ia telah mulai mengalami halusinasi. Dalam halusinasi tersebut kadang muncul bentuk totol-totol, atau labu yang seakan berbicara kepadanya. Untuk mengalihkan pikirannya dari gangguan tersebut, ia menggambar. Sejak kecil ia telah menggunakan gambar sebagai cara penyembuhan. Tahun 1948 setelah Perang Dunia berakhir, Yayoi belajar nihonga, yaitu seni melukis tradisional Jepang, di Kyoto. Namun ia tidak menyukainya. Ia justru sangat terkesan akan sebuah buku berisi karya-karya Georgia O’keefe. Ia kemudian mengirim surat kepada Georgia, dan tanggapan dari sang idola menguatkan tekadnya untuk pergi ke Amerika Serikat dan menjadi seniman. Tahun 1957 ia berangkat ke Amerika Serikat untuk mewujudkan impiannya itu, selain juga untuk menghindar dari kemungkinan dijodohkan oleh orang tuanya. Hubungan dengan sang ibu memburuk, namun Yayoi tidak mengurungkan ambisinya. Di New York hidupnya pun tidak mudah. Ia harus berusaha untuk terus berkarya sambil berjuang mengatasi penyakit neurosis-nya yang kerap muncul. Karyanya yang pertama kali dipamerkan di Big Apple adalah seri lukisan Infinity Nets, berupa gambar bintik-bintik kecil yang memenuhi kanvas besar dan seolah tanpa batas. Lukisannya di masa itu sejalan dengan gerakan Minimalist, yang kemudian beralih ke Pop Art dan performance art. Di masa cemerlangnya ini ia bergaul dan berpameran bersama seniman-seniman yang juga sedang naik daun saat itu, seperti Andy Warhol, Donald Judd, dan Mark Rothko. Tapi di masa itu juga ia mulai membuat happenings atau pertunjukkan spontan yang melibatkan peragaan tanpa busana di beberapa tempat ikonis seperti Brooklyn Bridge, Central Park, dan New York Stock Exchange. Namun sayang sekali, karyanya tidak ‘menjual’ dan hal ini membuatnya frustasi. Kemunduran karier serta kondisi mentalnya yang tidak juga membaik membuatnya memutuskan untuk kembali ke Jepang tahun 1973. Namun di negerinya sendiri pun ia merasa teralienasi, karena gaya hidup dan pemikirannya yang sangat modern benar-benar bertolak belakang dengan masyarakat Jepang umumnya. Pada tahun 1977, ia dengan sukarela mendaftarkan diri dan masuk ke rumah sakit jiwa dan masih menjadi pasien di sana hingga kini. Namun dari tempat inilah justru lahir karya-karyanya yang mengagumkan. Halusinasi akan bentuk totol-totol yang tidak pernah berhenti dituangkannya ke dalam lukisan dan instalasi. Sebuah
pameran retrospeksi yang diadakan tahun 1989 oleh Center for International Contemporary Arts di New York menjadi titik balik kariernya. Sejak saat itu banyak institusi prestisius mengadakan pameran karyanya, antara lain Venice Biennale, Museum of Modern Art di New York, Tate Modern di London, dan banyak lagi. Yayoi Kusama menjadi seniman fenomenal yang dibicarakan oleh banyak orang. Ia kemudian semakin dikenal oleh masyarakat lebih luas ketika Marc Jacobs yang saat itu adalah creative director rumah mode Louis Vuitton mengajaknya berkolaborasi pada tahun 2012 untuk produk tas dan aksesori limited edition. Tidak hanya penggemar seni yang mengaguminya, para fashionista pun mulai gandrung kepadanya. Dan Yayoi pun tidak berhenti bekerja. Malahan di usianya yang semakin tua ia terus menghasilkan karya yang dikagumi. Menyambut pameran tunggal terbesarnya yang pernah diadakan di Indonesia, yaitu di Museum MACAN, Bazaar berkesempatan mewawancarai seniman eksentrik ini.
HARPER’S BAZAAR INDONESIA (HB): Seperti apa hari-hari dalam
kehidupan seorang Yayoi Kusama? YAYOI KUSAMA (YK): Saya mengabdikan diri saya untuk membuat karya seni setiap harinya. Tidak terpikirkan bagi saya hidup tanpa membuat sesuatu. HB: Anda telah menghasilkan karya seni sepanjang hidup Anda. Apa yang membuat Anda bisa terus melakukannya, dan bagaimana Anda terus terinspirasi? YK: Saya merasa paling bahagia ketika melukis. Saya tidak dapat menghentikan dorongan untuk melukis. Ide terus menerus muncul sehingga ketika berada di depan kanvas tangan saya secara otomatis akan mulai menggambar, seperti sesuatu yang alami. HB: Bentuk polkadot Anda telah menginspirasi banyak hal, termasuk fashion dan desain. Bagaimana rasanya menciptakan sebuah motif yang bisa mempengaruhi banyak orang? YK: Sebagai salah satu filosofi hidup, saya telah menciptakan dan mengembangkan motif polkadot saya. Polkadot ini akan terus dikembangkan untuk menyampaikan pesan saya tentang “world peace and human love” kepada orang-orang di seluruh dunia. HB: Apakah Anda pernah membeli karya seni? Jika ya, karya seni apa yang pertama kali Anda beli dan siapa senimannya? YK: Satu-satunya karya seni yang saya percayai hanyalah karya saya sendiri, dan itu saja sudah membuat saya sangat sibuk. HB: Siapakah seniman yang telah mengubah hidup Anda? YK: Georgia O’keefe adalah pendukung pertama dan terbesar saya. Karena dialah saya terbang ke Amerika Serikat dan bisa memulai karier sebagai seniman di sana. HB: Apa kenangan yang paling mengesankan dari masa ketika Anda di New York dan Jepang? YK: Saya telah mengalami banyak hal, tapi sekarang yang saya pikirkan adalah berusaha sebaik-baiknya untuk terus berkarya tanpa batas dan akhir. HB: Bagaimana perasaan Anda tentang pameran karya-karya Anda diadakan di Indonesia untuk pertama kalinya? YK: Saya merasa sangat bahagia dan tersanjung bisa memamerkan karya saya di Indonesia. Senang sekali bisa membayangkan bahwa banyak orang akan hadir menyaksikannya dan semoga pesan yang saya sampaikan akan terus dikenang oleh orang-orang di Indonesia.