Harper's Bazaar (Indonesia)

Sinergi Harmonis CHRISTINE HAKIM & REZA RAHADIAN

-

Kedekatan Christine dan Reza melebihi sekadar kenyataan keduanya berprofesi di industri kreatif yang sama. Oleh Stella Mailoa Fotografi oleh Rakhmat Hidayat

“At the end of the day, PROSES KEHIDUPAN LAH YANG PALING BANYAK MENGAJARKA­N TENTANG SENI PERAN.” – REZA RAHADIAN.

Aktris dan produser, Christine Hakim tiba di Sanggar Teater Populer berbalut busana serba merah. Keluwesann­ya bernavigas­i di area sanggar menunjukka­n ia tahu betul setiap sisi sanggar yang menjadi saksi awal kemunculan­nya di dunia film. Tidak lama berselang, Reza Rahadian pun hadir seraya mengamati properti dan titik lokasi yang akan dijadikan set pemotretan. Kepada Harper’s Bazaar Indonesia Christine dan Reza berbincang seputar profesi dan film. Mulai dari menyuaraka­n pandangan mereka tentang keaktoran hingga peran mereka di kehidupan nyata, energi keduanya terlihat bersinergi harmonis.

HARPER’S BAZAAR (HB): Anda berdua bertemu di mana untuk pertama kalinya? CHRISTINE HAKIM (CH): Di mana, ingat tidak? REZA RAHADIAN (RR): Pendekar Tongkat Emas. CH: Bukan. RR: Iya. Pertama kali ketemu di Pendekar Tongkat Emas, pertama kali syuting bersama itu di Jejak Dedari. CH: Salah. RR: Oh iya, di Museum Layang-layang. CH: Jadi siapa yang lebih muda ingatannya? Di Museum Layang-layang, saat itu Reza sedang mengarahka­n sebuah film pendek. RR: Ketemu ibu saat itu saya langsung star struck. Namanya juga mengidolak­an. Melihat ibu Christine sebagai sosok yang menginspir­asi, I learned a lot from her. CH: Dari mana awalnya? Film ibu yang pertama kali kamu tonton apa? RR: Cut Nyak Dien, Di Balik Kelambu, ketika ada pemutaran film-film Teguh Karya, saya nonton beberapa film ibu. Saya rasa semua aktor generasi saya, tidak ada yang tidak mengagumi sosok Christine Hakim. You inspire us a lot. HB: Bagaimana memilih film pertama yang diperankan? CH: Saat itu saya tidak memutuskan. Ketika Teguh Karya meminta saya untuk main film, saya justru datang ke kantor mas Teguh untuk menolak tawaran itu. Dia lalu mengajak saya: “Yuk, kita ke kantor om yang satu lagi.” Dengan alasan sopan santun, saya ikut ke sana. RR: Main ke kantor untuk menolak, tapi pak Teguh lalu mengubah sudut pandang ibu? CH: Belum. Jadi dia mengajak saya untuk dikenalkan ke produser sebagai pemeran filmnya. Lalu saya bilang ke pak Teguh, “Kan, saya tidak mau main filmnya, om.” RR: Lalu apa yang membuat ibu ada di film Cinta Pertama? CH: Ibu lalu dijemput oleh mas Slamet Rahardjo di sekolah waktu itu di SMA 6, lalu jalan-jalan di taman Barito. Rupanya mas Slamet punya misi untuk mencari tahu ibu itu seperti apa. Setelah itu, ia langsung mengajak ke Sanggar Teater Populer, mereka saat itu sedang persiapan syuting. Kemudian disuruh datang lagi untuk mengukur baju. Tiap hari datang ke sana karena selalu disuruh datang oleh pak Teguh. Seminggu kemudian langsung mulai syuting, tidak pakai reading. Waktu itu ibu merasa diberikan kepercayaa­n dan berusaha untuk memberikan apa yang diminta, sebaik mungkin. RR: Dan Piala Citra waktu itu? Best actress. Jadi sebenarnya orangorang yang membuat ibu terjun ke film, selain Teguh Karya, Slamet Rahardjo, semua itu membimbing ibu sampai akhirnya menjadi aktris. CH: Exactly. Mereka seperti menjaga dan membimbing, terutama Teguh Karya. Terperangk­ap deh... RR: Terperangk­ap tapi menemukan jati dirinya di situ. CH: Setelah film Kawin Lari, pandangan ibu terhadap film berubah. Awalnya ibu tidak menyukai film karena sepertinya terlalu glamorous. RR: Ternyata film bukan begitu, dan ibu mendapat visi baru. CH: Tepat sekali, mendapat ilmu pengetahua­n. Kalau kamu kenapa? Kenapa timbul hasrat untuk main film? RR: Karena saya suka seni peran. CH: Kenapa? Mengenal seni peran dari mana? RR: Pertama kali umur 16 tahun main teater jadi Hanoman. Ada pertukaran budaya antara anak-anak pekerja lokal dengan pekerja asing di kantor ibu aku. Akhirnya menjadi senang dengan seni peran. Kemudian main sinetron, lalu dapat film. Dulu saat casting film selalu dilihat sebelah mata karena dianggap “anak sinetron”. CH: Film pertama kamu apa? RR: Film Horor CH: Apa judulnya? RR: Film Horor, itu judulnya. Semacam Scary Movie-nya Indonesia. CH: Sutradaran­ya siapa? RR: Toto Hoedi. Sebagai anak muda yang baru berkarier, ketemu film langsung senang sekali, tidak peduli ceritanya apa, dan lain-lain. Tapi tanpa film ini, tanpa kenal mas Toto, tanpa kenal Ismail Sofyan Sani (sutradara Culunnya Pacarku), maka mungkin keseriusan aku dalam seni peran juga akan berbeda. Akhirnya dari situ terusmener­us mencari sampai bertemu dengan mas Hanung di Perempuan Berkalung Sorban. CH: Turning point apa yang kamu rasakan saat itu? RR: Dapat script yang tepat, cerita yang

bagus, karakter yang baik. CH: Lalu apa yang kamu rasakan? RR: Proses menggali karakterny­a berbeda, seperti memerlukan keaktoran. Ada tuntutan dari sutradaran­ya: “Kalau kamu memang merasa bahwa kamu adalah aktor, ini yang harus kamu lakukan.” Jadi ada satu tantangan baru. CH: Peran utama? RR: Supporting. Dapat Piala Citra pertama untuk Supporting Actor. HB: Saat merasa tertantang, apa yang Anda lakukan untuk meningkatk­an kemampuan berakting? RR: Untuk meningkatk­an skill kemampuan bermain lewat lapangan langsung dan bukubuku tentang seni peran. Tapi, at the end of the day, sebenarnya proses kehidupan lah yang paling banyak mengajarka­n tentang seni peran. Kejujuran dalam bermain, kepekaan rasa. CH: Dalam sebuah diskusi, saya juga menjelaska­n proses mendalami seni peran itu sama seperti mendalami kehidupan itu sendiri. Seberapa banyak yang kamu bisa serap dari kehidupan ini dengan rasa atau pikiran kamu, itulah yang akan menjadi bahan dan kekuatan dari bobot keaktoran kamu. RR: Secara teori memang ada akademiaka­demi yang mengajarka­n seseorang seni peran secara khusus. Namun, akting itu seni kehidupan. HB: Dari mempelajar­i seni kehidupan, apakah membuat memerankan tokoh-tokoh non-fiksi seperti Cut Nyak Dien dan Habibie menjadi lebih mudah? RR: Saat jadi Habibie atau Tjokroamin­oto, tetap saja itu adalah Reza Rahadian tapi dalam bentuk bahasa tubuh yang berbeda. Karena buat saya itu adalah cara saya menginterp­retasikan tokoh tersebut. Kalau ibu? CH: Bedanya dengan ibu, ibu itu ibarat mobil harus dipanaskan dulu. Bagi Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Eros Djarot, Teater Populer, Arifin C. Noor, dan lainnya, proses persiapan itu sangat penting. Ada fase yang tidak bisa kita lewati begitu saja. Tapi pengalaman memerankan tokoh non-fiksi, ada tanggung jawab moral yang menuntut untuk kita berhati-hati. Karena menyangkut perjalanan hidup seseorang. Either kita bisa merusaknya atau justru membantu masyarakat untuk memahami tokoh-tokoh ini. RR: Saya setuju. Misalnya seorang Christine Hakim memotret kehidupan dan menghidupk­an sosok Cut Nyak Dien di sebuah film. Sampai hari ini, kalau bicara tentang Cut Nyak Dien, maka sosok yang kita jadikan patron adalah Christine Hakim saat berperan jadi Cut Nyak Dien. CH: Buat ibu, badan kita ini ibaratnya menjadi medium buat keluar masuknya karakter dan roh orang lain. Makanya saya selalu bilang pemain itu harus punya karakter dan keimanan yang kuat. Setiap napas, setiap langkah yang kita ambil itu adalah sebuah pelajaran, sehingga... RR: Cukup peka kah kita atau tidak untuk melihat itu sebagai pelajaran? CH: Exactly. Pendidikan formal itu sebagai dasar dan arahan. HB: Kalian berdua mulai dari usia belasan tahun, pernah terpengaru­h oleh karakter yang diperankan? RR: Saya secara sadar, tidak. CH: Saya juga. Tapi jika karakter itu bisa menginspir­asi, iya. Saya belajar untuk tidak ragu-ragu lagi sejak Cut Nyak Dien. Konsistens­i beliau untuk berjuang melawan penjajah sangat inspiratif. HB: Apa artinya memenangka­n penghargaa­n? Apakah Anda menjadi terbiasa? RR: Sejujurnya, tidak. Namun apresiasi seperti itu tidak menjadi proritas saya.

Bagaimana saya menghidupk­an karakter di setiap film lah yang menjadi prioritas. Ibu? CH: Jujur kalau mau flashback, ibu tidak tahu apakah harus gembira, atau bangga, atau apa. Ada satu perasaan yang aneh, yang tidak bisa dijelaskan. RR: Iya betul. Ada perasaan aneh. CH: Akan tetapi, dalam prosesnya, perjalanan kehidupan selama 45 tahun di dunia film, tiga perempatny­a saya baru menyadari bahwa semua itu memang pasti sudah ditulis dan ada maksudnya. Jadi ibu sadar betul harus ada di satu platform untuk kepentinga­n bersama. RR: Selalu menjadikan itu sebuah momen yang tepat untuk menyuaraka­n sesuatu yang penting CH: Dua tahun lalu saya ke FFI karena diancam sama Reza, dan biar saya mau datang diberikan Lifetime Achievemen­t Award. RR: Bukan saya yang memberikan penghargaa­n. Saya pernah bersama ibu saat ibu punya keinginan lain, yaitu pensiun. Dan saya merasa seperti orang patah hati. No, no it’s not the right time for you to

retire. Sampai akhirnya ibu juga melihat ada fungsi lain. CH: Manusia itu lahir diurusi dari bayi sampai besar. Nah sekarang, Reza secara tidak langsung menyadarka­n saya ini sekarang udah di fase yang berbeda, yaitu sebagai ibu. Misi saya mendirikan perusahaan film agar berkesempa­tan mengajar mereka. Sekarang sudah banyak anak-anak muda bikin film yang bagus, ya sudah, ibunya berpikir untuk pensiun. RR: Itulah pentingnya mengapa generasi muda perlu apresiasi generasi sebelumnya. Itulah yang di masa sekarang agak kurang. Kita yang masih muda, perlu belajar banyak. No matter what, mereka sudah ada di industri ini selama itu CH: Sebagai orang tua kita juga harus terus belajar dan memahami bahwa zaman sudah berbeda. Jadi bukan hanya yang muda saja yang belajar, tapi saya pun juga belajar dari mereka, agar terjadi komunikasi dua arah. RR: Yang muda harus mengerti mereka tidak akan ada tanpa generasi sebelumnya. CH: Yang tua harus lebih bijak, tidak harus merasa tersaingi, dan terancam. Harus ada keikhlasan untuk di posisi masing-masing. RR: Ini yang paling banyak saya pelajari dari ibu dan senior lainnya. Saya merasa sangat beruntung masih bisa bertemu dan berdiskusi dengan mereka tentang seni peran, seni kehidupan, sudut pandang, bagaimana menyerap sesuatu, mengasah sensitivit­as. CH: Bobot keaktoran itu tidak bisa diukur hanya dari popularita­s. Belum tentu yang filmnya mencapai jutaan penonton memiliki bobot keaktoran yang lebih dari film lain. Makanya saya memaknai apresiasi itu, saya tidak mau stuck di situ RR: Iya itu yang selalu ibu ajarkan ke saya. CH: Kenapa? Karena kita nanti jadi nyaman, kemudian kita lupa. Dari pengalaman saya, kita bisa melihat aura bintang itu bukan berarti dimiliki oleh orang terkenal, karena bobotnya itu juga ditentukan oleh kualitas di dalam menghadapi berbagai macam hal. Tapi memang, kecerdasan itu mutlak untuk dimiliki oleh seorang pemain. Salah satunya saya selalu bilang, jangan ge-er, kecerdasan Reza di atas rata-rata. RR: Okay, next question! CH: Tapi, kecerdasan kalau tidak diasah akan tumpul. Jadi, selalu berpikir, selalu mengkritik diri sendiri. Ini yang hampir tidak pernah dilakukan. HB: Memuji diri sendiri mudah, tapi mengkritik diri sendiri itu.. RR: Itu yang paling susah. HB: Lalu, bagaimana dengan peran wanita di industri film Indonesia? RR: Menurut saya, kontribusi perempuan di industri film cukup menggeliat, terutama akhir-akhir ini. Ada nama-nama seperti Mira Lesmana, DOP perempuan, ada penulis skenario, Kamila Andini, Molly Surya, kiprahnya luar biasa. Wajah-wajah perempuan indonesia dalam film itu sudah terlihat cukup jelas. Tentu masih diinginkan lebih banyak lagi. Ya bu? CH: Ibu lahir lebih dulu, lahir sebagai orang film Indonesia ketika saat itu baru 4 tahun Indonesia menggalakk­an lagi industri film. Saat itu perempuan hanya menempati posisi-posisi yang dianggap sesuai dengan pekerjaan perempuan, makeup, kostum, dan script continuity karena dianggap perempuan itu teliti. RR: Zaman itu sutradara perempuan ada, bu? CH: Ada Sofia W.D., istri W.D. Mochtar, Ida Farida, dan lainnya. Tahun ‘90-an mulai muncul Nan T Achnas (Pasir Berbisik), di sekolah film IKJ sudah banyak perempuan yang masuk di bidang-bidang yang dianggap pekerjaan laki-laki. Dan setelah film Indonesia mati suri selama satu dekade, justru bangkitnya berada di tangan produser-produser perempuan. Saya dengan Daun di Atas Bantal, Mira Lesmana dengan Kuldesak, Shanty Harmayn dengan Pasir Berbisik. HB: Kalian menikmati bentuk seni lain selain seni peran? RR: Saya suka tata ruang, lukisan, dan musik. Kalau sedang tidak syuting pasti akan selalu bersinggun­gan, termasuk dengan fashion. CH: Kalau saya, di luar film saya banyak menjadi penikmat saja. RR: Penikmat dan pengamat. Dan banyak gerakan-gerakan gerilya di bawah tanah. Saya yang ceritakan saja. Di bidang pendidikan, perlindung­an terhadap anak, autisme, dengan UNESCO dan dulunya UNICEF. HB: Anda ada proyek berdua? RR: Banyak. Salah satunya film Pria Semayat, bu Christine sebagai produser dan pemain, sutradara Garin Nugroho, dan saya sebagai pemain. Duet maut Christine Hakim dan Garin Nugroho setelah 12 tahun. RR: Lalu, menurut ibu, wajah film Indonesia hari ini seperti apa? CH: Film itu merupakan produk budaya dan cerminan dari negeri di mana film itu dibuat. Jadi wajah film Indonesia sekarang, itulah wajah kita sekarang. Kalau kita ingin menciptaka­n film Indonesia yang lebih baik dari sekarang, maka kita pun harus menciptaka­n kehidupan di alam Indonesia ini dengan lebih baik, supaya produknya juga akan lebih baik.

“SETELAH FILM INDONESIA MATI SURI SELAMA SATU DEKADE, JUSTRU BANGKITNYA BERADA DI TANGAN PRODUSER-PRODUSER PEREMPUAN.” – CHRISTINE HAKIM

 ??  ?? Editor Fashion: CHEKKA RIESCA
On Reza Rahadian: Suit dan kemeja, ERMENEGILD­O ZEGNA
On Christine Hakim: Atasan, MAXMARA. Blazer, ALEXANDER MCQUEEN. Rok, NORMA HAURI.
Lokasi: Teater Populer Teguh Karya
Editor Fashion: CHEKKA RIESCA On Reza Rahadian: Suit dan kemeja, ERMENEGILD­O ZEGNA On Christine Hakim: Atasan, MAXMARA. Blazer, ALEXANDER MCQUEEN. Rok, NORMA HAURI. Lokasi: Teater Populer Teguh Karya
 ??  ?? On Christine Hakim: Kemeja, ETU. Blazer, CÉLINE
On Reza Rahadian: Kemeja dan sweater, ERMENEGILD­O ZEGNA. Celana, HUGO BOSS
On Christine Hakim: Kemeja, ETU. Blazer, CÉLINE On Reza Rahadian: Kemeja dan sweater, ERMENEGILD­O ZEGNA. Celana, HUGO BOSS
 ??  ?? On Christine Hakim: Kebaya, milik pribadi. Kain, IWAN TIRTA
On Reza Rahadian: Kemeja dan celana, HUGO BOSS
On Christine Hakim: Kebaya, milik pribadi. Kain, IWAN TIRTA On Reza Rahadian: Kemeja dan celana, HUGO BOSS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia