Ekspresi Mode
VERONICA ARVIANA MENAWARKAN PETUNJUKPETUNJUK BARU UNTUK MEMAHAMI FENOMENA FASHION DI MUSIM MENDATANG.
Setelah istilah fugly shoes, musim ini mode dihadapkan pada periode ugly fashion yang kemudian menimbulkan pro dan kontra antara pengamat dan penikmatnya. Ada apa dengan desainer dan rumah mode? Apakah mereka mulai kehilangan identitas dan arah, lantaran mereka harus memastikan desainnya siap bersaing secara komersial? Atau justru sebaliknya, desainer memanfaatkan momen ini untuk kembali menjadi ekspresif tanpa batas baik dalam berkarya maupun menyuarakan pendapatnya? Perlu diingat, fashion memang tidak diciptakan untuk dimengerti. Kita nampaknya sudah lupa dengan ide bahwa terkadang bagi sebagian orang, berpakaian sama dengan bersenang-senang. Kemudian, dengan mudah memberikan judgement kepada tampilan yang mencolok atau di luar kebiasaan pada umumnya. Di sinilah peranan desainer yang mengepalai rumah mode besar, untuk membawakan kembali esensi kegembiraan tersebut ke atas panggung. Konsep ‘ugly’ tidak merujuk pada arti kata jelek secara harfiah, melainkan sebuah pemahaman yang berangkat dari keberagaman street style yang diinisiasi oleh generasi milenial. Mereka yang tidak ingin dilabeli oleh stereotipe, meracik dan menentukan sendiri apa yang ingin dikenakan saat beranjak keluar dari rumah. Sebuah bentuk protes bersifat tidak langsung, yang kemudian menarik perhatian desainer dalam menciptakan kembali produk fashion untuk menjaring market milenial secara lebih luas. Masih ingatkah ketika pertama kali Demna Gvasalia melansir tas Balenciaga yang menyerupai tas belanja di pasar Mongkok? Atau tas plastik transparan berlogo Céline yang menjadi favorit di sepanjang musim panas lalu? Meskipun dibanderol dengan harga yang tinggi, dua item tersebut masih menjadi demand terpanas di beberapa gerai hingga musim ini. Bicara mengenai ‘ugly’, sebenarnya mengingatkan pada sosok sang pelopor feminisme yaitu Miuccia Prada. Pada tahun 1988, Miuccia memperkenalkan material nilon pada lini aksesori sebagai pengganti kulit, dan ia mendapat kritikan keras karena dianggap melansir produk berkualitas jelek. Namun ia tidak memedulikannya. Koleksi Prada Spring/summer 1996 kembali melansir material baru dan mengadaptasi siluet busana sehari-hari, yang menimbulkan istilah the ugly chic atau ugly pretty. Dan musim ini, Miuccia bernostalgia dengan logo tradisional Prada berbentuk segitiga dan material nilon warna neon mencolok. Tag nama yang kerap dijadikan gantungan kartu identitas, menjadi highlight aksesori di atas layering busana yang serba kontras.
Sudut pandang yang menjadikan busana sebagai identitas diri, diterapkan pula oleh Alessandro Michele untuk Gucci. Desainer hipster yang berhasil menggaet atensi the millennials ini menghadirkan keberagaman kultur dan subkultur dalam kemasan 90 busana untuk pria dan wanita. Diversity memang menjadi kata kunci yang mewakili wajah sosial, termasuk dijadikan konsep untuk kampanye mode saat ini. Bahkan Balenciaga, Marni, dan Maison Margiela, juga menjadikan keberagaman sebagai ide multi layers dua hingga tiga jaket dalam satu tampilan. Tabrakan warna, tekstur, maupun motif, tidak menjadi hambatan, namun menjadi kekuatan untuk tampil lebih berkarakter. Seperti halnya karakter yang dibangun oleh Marc Jacobs melalui powerful suit dengan siluet bahu ekstra lebar ala tahun 1980-an dan detail yang extravagant. Sejak musim lalu, desainer sudah memberikan ‘hint’ untuk mengganti warna-warna netral yang biasa menjadi palet musim gugur, dengan luapan warna maupun aksen multiplikasi logo demi mengusung kesan youthful. Dan terhitung sejak musim ini pula, desainer seperti Stella Mccartney, Gucci, Givenchy, Ralph Lauren, dan Michael Kors, beramai-ramai membuat komitmen untuk membuang material fur dan menggantinya dengan faux fur berkualitas premium, sebagai gerakan kepedulian lingkungan atas protes yang dilayangkan oleh grup milenial muda. Tidak sedikit pula desainer yang melirik futuristis sebagai acuan. Olivier Rousteing menggunakan material plastik transparan dan hologram sebagai aksentuasi fringes, sedangkan Raf Simons dan Maria Grazia Chiuri membuat outerwear dengan coating berwarna perak menyerupai material thermal. It doesn’t have to make sense. Fashion pada dasarnya bersifat wearable entah apapun bentuk dan material yang digunakan. Musim demi musim, definisi tren pun semakin melebur. Konsumen kini justru memegang peranan penting dalam tren yang akan tercipta di musim mendatang. Seperti sebuah siklus yang menguntungkan, personalisasi gaya kemudian kembali menginspirasi desainer untuk menciptakan produk di musim berikutnya. Dalam satu tahun, desainer bisa memproduksi 4-6 koleksi, dan setiap koleksi menawarkan opsi sebanyakbanyaknya bagi konsumen dengan ragam selera. Alasan ini pula yang mendorong Moncler untuk berkolaborasi dengan delapan creative director kenamaan termasuk Pierpaolo Piccioli, Simone Rocha, dan Thom Browne, untuk 8 koleksi kapsul Fall/winter 2018. Namun bisa jadi ini adalah salah satu strategi desainer berunjuk rasa. Seperti yang disampaikan secara eksplisit oleh Raf Simons lewat tata panggung berselimut pop-corn yang menyindir situasi politik Amerika di show Calvin Klein. Sejak resmi berpindah dari Eropa setahun yang lalu, kehadiran Raf Simons mendatangkan harapan baru untuk industri mode Amerika. Perlu diakui, fashion kini sedang memasuki transisi yang kelabu. Selama tiga tahun terakhir, rumah mode sibuk mencari formula baru untuk tetap bertahan, yaitu dengan penunjukan creative director baru dan memindahkan jadwal regular show-nya ke kota lain. Setelah Proenza Schouler dan Rodarte menggeser jadwalnya agar berdekatan dengan pekan Haute Couture di Paris, Bottega Veneta justru membawa koleksi musim gugurnya ke New York. Dan di akhir pekan mode New York Fashion Week (NYFW), Alexander Wang mengikuti jejak Public School yang lebih dahulu memutuskan untuk undur diri dari agenda mode NYFW. Meskipun demikian, agar tetap dipenuhi rasa optimis, musim ini desainer pun gencar melancarkan serangannya dengan melansir aksesori tas dan alas kaki berkonsep street yang unik sebagai pelengkap busana siap pakai.