TALK OF THE TOWN
RATUSAN KARYA SENI HADIR DI PERAYAAN SATU DEKADE ART JAKARTA, DAN DERETAN AGENDA BERIKUT MENANDAI KEISTIMEWAAN PENYELENGGARAAN DI TAHUN 2018 INI DIBANDINGKAN TAHUN-TAHUN SEBELUMNYA.
Kini, Indonesia memiliki pameran seni yang tersebar luas di Tanah Air, baik itu sebuah festival yang berlangsung selama berhari-hari ataupun sebuah pameran di sudut kota hingga desa terpencil. Kendati demikian, Art Jakarta tetap menjadi salah satu art fair di Indonesia yang ditunggu-tunggu oleh pencinta seni dan kolektor Tanah Air maupun mancanegara. Perhelatan seni ini digelar di Ballroom The Ritz-carlton Jakarta, Pacific Place, pada tanggal 2 - 5 Agustus 2018 lalu. Tahun ini menandai 10 tahun berjalannya Art Jakarta sejak pertama kali diadakan di tahun 2009 dengan nama Bazaar Art Jakarta. Dunia seni adalah alam yang tak terbatas, mulai dari goresan di atas kanvas, nada pada suatu alat musik, balutan kain tradisional pada tarian daerah, emosi yang dicerminkan keluarga boneka, hingga makanan yang dihidangkan di hadapan Anda. Perayaan satu dekade Art Jakarta ini juga merupakan dukungan dari Pacific Place Jakarta, The Ritz-carlton Jakarta, Pacific Place, BEKRAF, Bakti Budaya Djarum Foundation, Lancôme, dan Enjoy Jakarta. Berikut adalah sejumlah highlight yang membedakannya dari tahun-tahun sebelumnya.
SENI RUPA TRADISIONAL
Berkunjung ke pameran seni bukan berarti hanya melihat lukisan atau patung. Lebih dari itu, para pengunjung Art Jakarta 2018 juga disuguhi seni tari dari Sasikirana Dancelab dan pertunjukan seni teater boneka dari Flying Balloons Puppet persembahan Bakti Budaya Djarum Foundation. Keduanya menunjukkan kemahiran yang berbeda. Sasikirana Dancelab menggabungkan tarian klasik dan kontemporer yang elok bertajuk Pasar Purnama. Di sini, para penari menginterpretasikan sebuah tradisi lewat pertemuan yang diiringi dengan suara instrumen musik tradisional yang membawa penonton ke atmosfer zaman dulu. Tariannya sendiri mengisahkan penghormatan masyarakat Sunda terhadap Dewi Sri yang melambangkan kesuburan. Lewat interpretasi tari ini, mereka melihatkan bahwa keseimbangan alam tak lepas dari peran manusia dan segala aktivitasnya. Sementara Flying Balloons Puppet menampilkan art performance berjudul Natuh (Forest) Show. Jika kata ‘natuh’ dibalik, maka akan terbaca hutan, yang di sini diinterpretasikan sebagai rumah. Natuh bercerita tentang negeri yang diliputi kedamaian, kegembiraan, dan cinta. Sampai suatu ketika kekayaan alam yang dimiliki oleh Natuh menarik pendatang dan merebut segalanya. Lewat panggung boneka ini, Tok Bomoh, Taran, dan Tala menunjukkan bahwa hubungan sosial tak hanya antara kaum manusia, tetapi juga dengan hewan, tumbuhan, dan alam semesta.
RETAIL ART
Meski berlokasi di dalam mall, Art Jakarta juga menghadirkan dua instalasi yang berlokasi di luar ballroom. Salah satunya adalah instalasi karya Faisal Habibi bertajuk Disillusion yang terletak di atrium Pacific Place. Menyerupai bentuk atrium yang megah, instalasi yang terdiri dari warna neon berbentuk silinder tersebut memiliki ketinggian 30 meter dan diameter 8 meter. Melalui karyanya ini Faisal ingin mengetahui seberapa jauh batas antara fisik dan digital yang terjalin di masyarakat saat ini. Setiap kotak menggambarkan konfigurasi algoritma yang setiap hari digunakan manusia melalui website, iklan, juga aplikasi smartphone. Satu lagi adalah patung karya Yani Mariani bertajuk Kidung Hening Taru Raya (Hymn About the Silence of Taru Raya) persembahan Semarang Gallery. Patung berbentuk pohon ini bagi Yani adalah simbol misteri, melambangkan kenyamanan, harapan, pengetahuan, perlindungan, serta menggambarkan kisah hubungan manusia dengan alam semesta.
RUANG SPESIAL DARI BEKRAF
Tak hanya turut meresmikan pembukaan Art Jakarta 2018, BEKRAF juga bekerja sama dengan sejumlah kurator, yaitu Enin Supriyanto, Asmudjo Irianto, Irawan Karseno, dan Totot Indrarto, untuk menghadirkan ruang spesial bernama Art Unlimited. Ruang ini merupakan jawaban BEKRAF atas terbatasnya akses seniman-seniman muda terhadap galeri-galeri di Indonesia, sehingga talenta mereka kurang terlihat. Art Unlimited merupakan seri pertama dari BEKRAF dengan tujuan menghadirkan talenta-talenta muda tersebut, yang selanjutnya akan dilakukan juga di berbagai daerah. Di perhelatan Art Jakarta 2018 ini BEKRAF memberi wadah bagi 37 seniman muda Tanah Air yang terpilih untuk menunjukkan potensi mereka. Layaknya seniman lain, para seniman muda ini memiliki kesempatan yang tak terbatas untuk menjadi pusat perhatian. Karya-karya yang dihadirkan oleh BEKRAF meliputi berbagai media seni, seperti sketsa, lukisan, printmaking, fotografi, tekstil, hingga yang berbentuk tiga dimensi berupa instalasi, monolith on pedestal, configuration within vitrine, hingga seni kinetik.
SEPULUH YANG SIGNIFIKAN
Seperti usianya, Art Jakarta menghadirkan sepuluh instalasi oleh sepuluh seniman Indonesia dengan konsep museum show. Bertajuk 10 for 10, Art Jakarta mengajak seniman ternama Tanah Air untuk menunjukkan apa arti Art Jakarta bagi mereka lewat karyanya. Awalnya mata Anda akan tertuju kepada karya berjudul Square Circle Series persembahan CG Artspace dari Kemalezedine, salah satu pendiri Neo Pitamaha, sebuah kelompok yang berekspresi lewat lukisan dengan infusi budaya Bali. Karyanya untuk 10 for 10 terinspirasi dari isu larangan menggambar sosok mahkluk hidup dalam seni Islam. Lewat seni, Kemal mencoba untuk menciptakan jembatan antara abstraksi dan sejarah. Karya megah Yani Mariani dari Semarang Gallery yang bertajuk Full Moon Croon (Senandung Purnama) dan A Wind Streak (Angin Raya) terletak di depannya. Sejak muda, sang seniman memiliki kecintaan tersendiri terhadap seni patung. Melalui karyanya di Art Jakarta 2018, ia menunjukkan kuasa sang pencipta, menggambarkan sebuah internal enlightment manusia terhadap yang Maha Kuasa. Berbeda dari yang ditemukan di awal pameran 10 for 10, di suatu sudut yang lebih gelap daripada ruangan lainnya, karya J. Aryadhitya Pramuhendra dari CAN'S Gallery yang bertajuk St. John akan terlihat menyala. Karyanya yang berbentuk neon box ini sebenarnya adalah lukisan yang digambar menggunakan arang, kemudian disorot dengan lampu. Masih menggunakan karakter yang sama seperti seri The Lambskin, Pramuhendra kembali menggunakan karakter domba yang dianggap simbol suci dalam agama Katolik. Patung gagah berbahan polyester resin dengan teknik auto paint karya Uji ‘Hahan’ Handoko persembahan ROH Projects bertajuk Standing Up in the Market Barrels mencuri perhatian para pengunjung Art Jakarta 2018. Banyak yang melakukan selfie dengan patung karya Hahan yang adalah bentuk kritiknya pada lingkungan pasar seni rupa termasuk galeri, balai lelang, dan kurator yang memberi label harga pada pelaku seni.
Ditata berbaris secara teratur, karya Syagini Ratna Wulan persembahan ROH Projects yang bertajuk 389-696-104-554 ini juga memiliki banyak penggemar. Karya tersebut merupakan kelanjutan dari pameran solo Syagini sebelumnya. Plat stainless steel dengan lacquer paint dan resin ini merupakan responsnya akan chromophobhia, bentuk ketakutan akan penggunaan warna. Bagi Syagini, warna adalah misteri yang menarik dan tak bernama. Begitu juga dengan patung berjudul Moon Racer karya Heri Dono yang dipersembahkan oleh The Collumns Gallery juga menjadi favorit pengunjung. Nama Heri Dono bukanlah nama baru di dunia seni, perupa ini bahkan telah mengharumkan nama Indonesia di pameran Venice Biennale. Lewat karyanya ia bercerita tentang Perang Dunia II saat Jepang mendonasikan bemo sebagai salah satu transportasi publik di Indonesia. Menurutnya hal tersebut membuat negara ini tak terbiasa menciptakan teknologi sendiri, melainkan hanya mendaur ulang teknologi luar. Theresia Sitompul dari viviyip artroom menciptakan sudut untuk menempatkan karya bertajuk Give Thanks. Memiliki interior dengan hue warna kuning, Tere memilih proses printmaking sebagai ciri khasnya. Menurut Tere, dunia printmaking adalah suatu proses kejujuran yang mengandalkan ingatan sebagai inspirasi dalam berkarya. Untuk 10 for 10 Tere menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga dalam bentuk doa yang tak ada ujungnya seperti kain panjang yang digunakannya. Membuat seolah-olah Anda sedang berada di daerah pedesaan, instalasi Eddy Susanto bertajuk The Irony of Ruralism persembahan Lawangwangi Creative Space ini mengundang setiap pengunjung untuk ‘berkunjung’ ke halaman rumahnya ini. Lewat sembilan panel kanvas dan pagar baja yang ia hiasi dengan acrylic dan drawing pen, Eddy menggambarkan suasana kehidupan di pedesaan yang kini tanahnya dibeli semata demi investasi. Tingkat keramahan penduduk yang selama ini terkenal luas telah jauh berkurang, begitu juga dengan nilai gotong-royong, dan semua itu ia perlihatkan melalui gambar detail yang terdiri dari aksara Jawa, atau dikenal juga dengan nama Hanacaraka. Berbeda dengan yang lain, karya Cinanti Astria Johansjah dari ROH Projects yang bertajuk Sang Liyan & Sang Liyan berbahan tanah liat ini mengingatkannya kepada pengalamannya saat melihat salah satu lukisan Afandi di sebuah museum. Di sudut yang terdiri dari banyak celengan ini, Anda dapat menemukan perpaduan antara warna-warna kontras dengan tanah liat. Terletak di penghujung area 10 for 10, tergantung karya Agus Suwage dari Rachel Gallery. Namanya tentu sudah tak asing lagi di Indonesia dan juga dunia, ia telah mengharumkan nama bangsa sampai ke perhelatan seni terdepan tingkat internasional. Untuk Art Jakarta 2018, Agus menyampaikan ketertarikannya pada lingkaran kehidupan dan kematian yang ia cerminkan dalam tengkorak manusia yang memegang pedang dan memiliki sayap bagaikan malaikat.