Jejak Langkah Sepatu Lokal
PERKEMBANGAN INDUSTRI FASHION INDONESIA TIDAKLAH LENGKAP TANPA AKSI SUBSTANSIAL DARI DIVISI ALAS KAKI. CHEKKA RIESCA MENGAMATI SEJAUH MANA LABEL SEPATU LOKAL MAMPU UNJUK GIGI.
Dalam satu windu terakhir, panorama industri fashion Indonesia kian sesak dengan kemunculan desainer-desainer baru berikut dengan label-label baju siap pakai yang mewarnai halaman e-commerce lokal maupun Instagram. Mereka beramai-ramai menawarkan koleksi baju dengan desain yang tak jarang tampak seragam. Namun bila dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan industri ready-to-wear Indonesia, industri alas kaki Tanah Air justru belum terlalu populer, terutama di ranah fashion kontemporer. Ada berapa banyak nama yang segera terlintas di kepala Anda ketika membahas fashion shoes lokal? Mungkin tidak sebanyak nama-nama desainer maupun label fashion. Padahal Indonesia memiliki predikat sebagai salah satu negara eksportir alas kaki terbesar di dunia (khususnya sepatu kulit), sejajar dengan Tiongkok, India, Vietnam, dan Brazil. Indonesia memang belum memiliki sosok perancang sepatu sekaliber Manolo Blahnik, Christian Louboutin, Giuseppe Zanotti, atau Nicholas Kirkwood, yang telah konsisten melahirkan koleksi sepatu berdesain indah dengan kualitas craftsmanship yang mumpuni, serta berhasil menjadi namesake label besar berskala global. Bahkan rasanya tidak salah untuk mengatakan bahwa gaung industri sepatu fashion di Indonesia belum sekencang divisi busana wanita. Dalam panorama fashion Tanah Air, sepatu kerap luput dari perhatian para perancang busana. Tak begitu banyak desainer yang memikirkan keseluruhan tampilan dengan begitu mendetail hingga ke alas kaki. Di sejumlah peragaan busana, biasanya model mengenakan sepatu-sepatu bermodel basic yang barangkali sudah dikenakan pada beberapa show sebelumnya, atau bahkan menggunakan sepatu milik pribadi. Kendati demikian, bukan berarti Indonesia tidak memiliki potensi untuk mengepakkan sayapnya di ranah footwear. Karena setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, koleksi sepatu kontemporer karya
tangan-tangan lokal semakin menampakkan geliatnya. Desainer seperti Biyan, Sapto Djojokartiko, dan Toton, merupakan segelintir nama yang menampilkan koleksi sepatu mereka beriringan dengan koleksi busana sebagai fokus utama, dengan desain yang diselaraskan dengan keseluruhan tema koleksi pula. Bahkan mereka juga menjual koleksi sepatu runway bersamaan dengan rancangan ready-to-wear, bukan untuk keperluan fashion show atau pemotretan saja. Beberapa musim terakhir ini, sejumlah desainer lainnya juga mulai semakin rajin menggandeng label sepatu lokal untuk bekerjasama demi melahirkan tampilan yang sempurna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bentuk kerjasama seperti ini penting demi menunjukkan profesionalisme “attention to detail” sekaligus menunjukkan eksistensi label sepatu lokal. Berbicara tentang eksistensi label sepatu lokal, nama Sapto Djojokartiko dan Niluh Djelantik keluar sebagai desainer Indonesia yang telah berhasil membawa koleksi sepatunya ke pasar internasional lintas benua. Koleksi sepatu Niluh Djelantik sempat booming satu dekade lalu dan rancangan desainer asal Bali tersebut berhasil dijual hingga ke benua Eropa. Memasuki era serba digital, unggahan koleksi mules Sapto Djojokartiko di akun Instagram sukses mencuri perhatian buyer dari e-commerce Moda Operandi dan membawanya ke halaman belanja prestisius berkelas dunia. Berkat desain yang cantik serta disempurnakan dengan kualitas craftsmanship yang apik, koleksi sepatu Sapto Djojokartiko mendapatkan animo yang baik dari para konsumen di berbagai belahan dunia dan mampu merambah sejumlah butik retail di Timur Tengah. Sejumlah label sepatu lokal lainnya seperti Pvra, Jasmine Elizabeth, Ella & Glo, dan Marista Santividya juga tak kalah populer di pasar domestik. Keempat label tersebut tak hanya unggul dalam segi desain namun juga memiliki mutu produk yang bersaing dengan sepatu buatan asing. Koleksi sepatu dari Ella & Glo misalnya, tampak begitu mantap dan berkelas berkat kualitas genuine leather serta tingkat kerapian sepatu dan kenyamanan yang sangat baik. Begitu pula dengan koleksi dari Jasmine Elizabeth yang keseluruhan proses produksinya dikerjakan di Bali. Satu kesamaan kualitas yang dimiliki oleh mayoritas label sepatu kontemporer Indonesia terletak kapasitas craftsmanship artisan lokal yang menjadikan koleksi mereka kian nyaman dikenakan dan tahan lama. Selain itu, aplikasi napas tradisional dalam desain sepatu yang diterapkan oleh label-label tersebut juga patut diacungi jempol. Material dan teknik distingtif khas Indonesia menjadikan koleksi alas kaki kian atraktif dan memiliki identitas yang kuat; ini adalah karya anak negeri. Terlepas dari pergerakan-pergerakan kecil (namun signifikan) yang telah dilakukan oleh pelakon industri alas kaki kontemporer di Indonesia, industri ini masih menghadapi sekelumit problem seputar proses produksi. Mulai dari masalah sumber daya manusia hingga keterbatasan material yang sulit didapatkan dalam kuota besar. Hal ini diamini oleh Sapto Djojokartiko yang harus mengekspor 1.000 hingga 1.500 pasang sepatu setiap musimnya. “Sejak mulai serius menekuni bisnis sepatu, saya merasakan bahwa semakin besar produksi, semakin besar pula masalahnya. Seperti misalnya material yang saya gunakan tidak konsisten dari segi warna, atau bahan bakunya tidak tersedia lagi. Selain itu, saat ini saya hanya memproduksi sepatu berhak datar karena teknik pembuatan sepatu berhak tinggi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Masih ada begitu banyak hal teknik yang harus dipelajari agar hasilnya memenuhi standar,” tutur Sapto Djojokartiko. Hingga saat ini, koleksi sepatu buatan Indonesia memang masih didominasi oleh hak datar, medium chunky heels, flatform, maupun model espadrilles. Belum banyak yang mampu menciptakan sepatu stiletto dengan hak tinggi yang ramping, indah, dan penuh presisi, atau bereksperimen dengan berbagai bentuk hak sepatu yang unik. Kebanyakan sepatu buatan lokal juga memiliki konstruksi yang relatif seragam seperti sebuah cetakan yang digunakan secara massal, sehingga variasi desain lebih banyak dimanifestasikan melalui pilihan material, aksen, dan detail. Namun hal ini bisa dimengerti, karena pada hakikatnya membuat sepatu tidak bisa hanya terfokus pada desain serta konstruksi yang kokoh dan elok secara estetis saja, namun juga harus mengikuti anatomi tubuh manusia sehingga pemakainya dapat melangkah dengan mantap dan nyaman. Dan setidaknya sepatu fashion buatan lokal sudah mampu memenuhi standar itu. Model hak tinggi memang masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi industri sepatu Tanah Air. Dengan perkembangan tren dan pergeseran minat pasar yang bercondong kepada koleksi alas kaki berhak datar maupun rendah, rasanya akan lebih bijaksana bagi para pelaku industri footwear Indonesia untuk tetap fokus mengembangkan koleksi mereka mengikuti kecenderungan pasar demi kelanggengan siklus produksi, seraya perlahan-lahan tetap berinovasi dengan model-model sepatu lainnya dengan desain yang lebih unik dan konstruksi yang mutakhir. Industri alas kaki kontemporer Indonesia sudah memiliki cukup bekal untuk itu, dan tantangan berikutnya adalah bagaimana derap langkah mereka bisa menggema ke berbagai penjuru dunia?