Beauty Euphoria
ORANG TUA PERLU MELAKUKAN KURASI TERHADAP KONTEN YANG AKAN DITAMPILKAN DI MEDIA SOSIAL, KARENA KONTENKONTEN TERSEBUT SECARA TIDAK LANGSUNG MENDEFINISIKAN CITRA ANAK ITU SENDIRI.
Lantas seperti apa konten yang ideal untuk akun media sosial anak? Anna menjelaskan bahwa idealnya konten media sosial anak tetap memunculkan sisi murni sebagai seorang anak, dengan segenap kelucuan dan kepintarannya serta momen-momen ketika anak tengah menunjukkan sisi yang kurang menyenangkan dan orang tua mampu menawarkan solusinya. “Bila linimasa akun media sosial anak terlalu sempurna, efek jangka panjangnya dapat membuat anak takut untuk keluar dari zona kesempurnaan tersebut. Hal seperti itu bisa mengganggu kepribadiannya kelak,” jelas Anna. Contoh lain konten yang kurang tepat adalah ketika orang tua menjadikan anak untuk bahan gurauan yang melewati batas. Bagaimana pun juga, ketika akun media sosial anak dikendalikan oleh orang tua, sebaiknya orang tua tetap sensitif, considerate, dan menjaga perasaan dan citra anak lewat konten yang mereka unggah. Karena pada akhirnya, segenap konsekuensi yang dihasilkan akan berimbas langsung pada hidup sang anak. Selain itu, orang tua juga perlu mengontrol konten media sosial anak agar tidak terjadi oversharing. Baik anak maupun orang tua tidak perlu membuka terlalu banyak informasi personal lewat media sosial, misalnya membeberkan nama dan alamat lengkap. Contoh lain tindak oversharing meliputi unggahan foto dan video kegiatan-kegiatan anak kemudian mencantumkan lokasi secara real time. Aksi-aksi tersebut memang terlihat sederhana namun dapat berpotensi memancing tindak kejahatan pada anak, mulai dari penculikan hingga pencurian gambar oleh situs pedofil. Mendulang popularitas lewat internet hingga mampu mendatangkan keuntungan materiel memang terlihat menggiurkan. Namun sebaiknya orang tua tidak lantas menjadikan popularitas anak di ranah digital sebagai sumber mata pencaharian utama, meskipun si anak terkesan senang dengan segenap keuntungan yang didapatkannya; mulai dari perhatian publik hingga mainan gratis untuk kegiatan unboxing. “Pada dasarnya, fungsi parenting di sini adalah untuk melihat apa yang dibutuhkan anak kemudian orang tua memfasilitasinya. Dengan fenomena berkembangnya selebriti digital cilik ini, orang tua harus mampu melihat tren apa yang sedang terjadi, kesempatan apa yang akan muncul, kemudian membuat perencanaan dari sana, dan tetap fleksibel dengan kemungkinan terjadinya perubahaan yang mengharuskan orang tua mengubah perencanaan awal mereka. Ini adalah life skill yang penting untuk dimiliki baik oleh para orang tua maupun anak,” jelas Tari Sandjojo, psikolog sekaligus Academic Director Sekolah Cikal. Terlepas dari segenap privilege yang diraup sebagai selebriti digital cilik, seyogianya orang tua tak memanjakan anak dengan instant success dan instant reward yang didapatkan lewat media sosial. Karena pada akhirnya, anak juga perlu belajar tentang pentingnya sebuah proses untuk mencapai sesuatu agar ia dapat menghargai pencapaian tersebut, dan segala hal yang bersifat instan belum tentu berkelanjutan dalam jangka panjang. Sepatutnya, akun media sosial anak dijadikan sebagai sebuah bentuk kolaborasi sehat antara orang tua dan anak. Segala profit yang didapatkan dari sana adalah bonus yang bisa dinikmati bersama-sama— bukan menjadi tujuan utama diluncurkannya sang buah hati ke rimba digital.