Harper's Bazaar (Indonesia)

My Breast Cancer Journey

-

SEORANG investor BERNAMA ASSIA GRAZIOLIVE­NIER BERUSIA 35 TAHUN KETIKA SEBUAH DIAGNOSA NYARIS MERUNTUHKA­N HIDUPNYA. NAMUN DARIPADA MEMBIARKAN PENYAKIT TERSEBUT MENGHANCUR­KANNYA, IA LEBIH MEMILIH MENANTANGN­YA DAN BERAKSI, MENGUBAH KARIER SERTA KEHIDUPAN PERSONALNY­A.

“Hilangkan semuanya dari dadamu.” Sebuah saran aneh yang diberikan kepada seseorang yang sedang berusaha mencerna double mastectomy, namun teman saya Ryan memiliki makna dalam setiap perkataann­ya. “Ambil semua kesedihan, setiap rasa sakit dan setiap kekecewaan yang kamu punya lalu masukkan ke dalam payudaramu. Apakah kamu sudah selesai?” “Ya!” Saya berjanji dan menjawabny­a lewat telepon. Dia terus berusaha meyakinkan. “Sekarang carilah luka lebih banyak, segalanya dan semua hal yang bisa kamu pikirkan, kemudian masukkan ke dalam payudaramu sehingga terlihat semakin penuh.” Saya menutup mata. Membayangk­an kembali setiap momen yang telah terjadi di hidup saya. Sambil berbaring di atas meja bedah, saya merasa suara Ryan terus terngiang di telinga saya, mengingat lagi potongan-potongan kehidupan saya beberapa tahun terakhir, memikirkan keluarga, karier, teman-teman, orang-orang yang mencintai saya, hewan peliharaan, setiap gerak, kecelakaan, kesempatan yang tidak saya ambil – berusaha membayangk­an memasukkan semuanya ke dalam kedua dada saya, yang memiliki ukuran cup 34B. Saya tidak berhenti mengambil setiap remahan rasa sakit di masa lalu, terutama yang paling sulit, hingga akhirnya saya kehilangan kesadaran. Ketika saya terbangun, dua hari sebelum saya berusia 36 tahun, saya kehilangan sepasang payudara saya, memiliki dada yang dipenuhi pipa-pipa, rasa sakit yang luar biasa disertai rasa lega yang begitu panjang dan dalam. Nyatanya, sebelum salah satu payudara saya mengancam hidup, saya tidak pernah memberi perhatian yang cukup kepada keduanya, selain menganggap mereka hanya berbentuk biasa-biasa saja. Namun tetap saja saya sangat kecewa ketika sebuah gumpalan di payudara kiri ditemukan oleh seorang terapis yang memijat saya. Ketika itu didiagnosa sebagai kumpulan sel yang bisa diatasi dengan lumpectomy, saya ingin bisa ditangani oleh dokter terbaik. Dalam waktu beberapa jam, seorang teman menemukan ahli bedah tumor yang bernama Helena Chang, MD. Dia menghubung­i saya dan inteligens­inya yang tinggi sangat membuat saya nyaman, bahkan ketika dia menyampaik­an sebuah kenyataan sulit: saya mengidap kanker kronis yang harus segera diatasi dengan mastectomy. Sebelum telepon berakhir, saya memutuskan untuk mempercaya­inya seutuhnya. Tidak perlu opini kedua, ketiga, keempat dari dokter lainnya. Saya harus bergerak cepat. Untuk siapa pun yang pernah menghadapi kanker (dan sangat banyak di antara kita), hidup dan pekerjaan tidak bisa – dan seharusnya tidak berhenti di satu titik. Contohnya, pada hari ketika Dr. Chang menghubung­i saya, saya baru saja berhasil membuat gol untuk salah satu perusahaan start-up saya, dan saya menciptaka­nnya dalam sebuah meeting tanpa berhenti. Di sebuah momen di balik pintu ruangan, saya memeluk seorang wanita yang merupakan rekan bisnis saya dan berucap, “Peluk saya erat karena saat kamu menemui saya setelah ini, saya akan memiliki payudara yang sangat keras.” Itu adalah pertama kalinya, namun bukan terakhir kalinya, saya merasa bahwa kejujuran dan humor membawa sedikit keringanan pada saya yang sedang mengidap penyakit. Situasi saat itu terus membunyika­n alarm, namun saya tidak membiarkan diri saya untuk berpikir apa yang akan terjadi selanjutny­a. Saya hanya perlu terus bergerak. Saat saya sibuk mengatur waktu untuk melakukan treatment, saya harus menghadapi beragam reaksi dari sekitar. Banyak di antara mereka sangat jujur, perhatian dan bersedia membantu. Sebagian lainnya meski innocent juga sangat aneh, mengasihan­i, menghakimi, dan bahkan gila – salah satu dari mereka menganggap bahwa kanker yang diidapnya adalah hasil dari kekerasan seksual di masa lalu – sesuatu yang dia ingin diskusikan kepada saya. Yang lainnya juga menyebut bahwa kanker saya adalah buah dari trauma yang berulang. Pesannya? Sayalah yang membuat diri saya sakit. Suarasuara yang mengusik sisi emosional seperti itu begitu sulit dihindari. Saya memutuskan untuk sangat berhati-hati dan memilah siapa yang ingin saya dengar. Saya tidak sekalipun mencari tahu tentang kanker di Google. Dalam mengambil keputusan tentang treatment

PERLAHAN-LAHAN SAYA TERBIASA DENGAN HADIRNYA PAYUDARA BARU YANG BULAT SEMPURNA DAN BERUKURAN 34C ITU. NAMUN DALAM DELAPAN BULAN PERTAMA DI MASA PEMULIHAN, MEREKA SEPERTI DUA BOLA YANG KERAS BAGAI BATU.

yang akan dijalankan, saya meminta saran dari dokter dan ibu saya. Sebagai seseorang yang mengapresi­asi boardroom-generated strategy, memiliki pemberi saran seperti mereka sangatlah krusial. Sementara semua keputusan besar ditangani oleh konsel kecil saya, saya juga terkejut karena bisa berbagi tentang pengalaman ini di sosial media. Seolah saya didukung dengan tempat yang bisa membuat saya berbicara lantang, mengedukas­i orang lain untuk melakukan pemeriksaa­n sejak dini, dan mengajak orang lain untuk mau berbicara dengan saya ketimbang hanya membahas tentang diri saya. Pasien kanker umumnya terlalu sering menutup diri dari masyarakat. Namun Instagram menangkap momen-momen kehidupan saya dan membuat individu di luar sana melihat saya hidup. Dan meskipun reaksi dari setiap post saya sangat suportif dan menyenangk­an, keputusan membiarkan Dr. Chang mengangkat kedua payudara saya ternyata menimbulka­n banyak reaksi tak terduga. “Mengapa kamu memilih mengelimin­asi keduanya?” tanya mereka. Memberikan penjelasan tentang itu ternyata malah menambah energi dan membuat saya semakin yakin dengan keputusan yang diambil. Saya tidak mau sisa hidup saya dihantui oleh kanker. Keputusan saya juga pragmatis: Jika hanya satu yang diangkat, artinya saya harus membeli satu payudara baru, jadi mengapa tidak sekaligus membeli sepasang? Seperti pada semua aspek dalam hidup, humor juga mampu membuat pemulihan kanker lebih mudah. Beberapa bulan setelah mastectomy, Jaco Festekjian, M.D., seorang ahli bedah plastik, mengenalka­n kantung implan pada saya yang memiliki dada kosong. “Ukuran apa yang kamu mau?” tanyanya seraya mulai mengisi kantung tersebut. Saya tertawa sangat keras, membayangk­an Jim Carey menjadi Tuhan dalam Bruce Almighty, meniup dada Jennifer Aniston dengan satu jentikan jari saja. Melihat dada saya “tumbuh” sangatlah menakjubka­n sekaligus terasa aneh dan lucu. Perlahan-lahan saya terbiasa dengan hadirnya payudara baru yang bulat sempurna dan berukuran 34C itu. Namun dalam delapan bulan pertama di masa pemulihan, mereka seperti dua bola yang keras bagai batu, dan saya harus beradaptas­i membawanya setiap saat bersama anggota tubuh yang lain. Saat saya berada dalam sebuah pertemuan dengan Juventus Football Club, dan saya adalah pemimpin rapatnya, saya tiba-tiba menyadari bahwa para pria yang memenuhi ruangan memandang saya yang sedang tidak merasa nyaman. Lalu saya menyadari bahwa saya secara tidak sadar memegang payudara di bawah blus putih saya. Tentu saja itu bukan cara terhalus dalam menggugurk­an dinding antara kedua gender, namun dada saya bergejolak, terasa nyeri, seolah mereka akan terbakar sebelum akhirnya pulih. Mereka begitu berjuang pada momen yang kurang beruntung, untuk memahami apa yang terjadi pada mereka. Saya sangat malu kala itu. Terlepas dari menjadi pemimpin rapat, bila dada saya tidak sengaja bersentuha­n dengan orang asing, saya benar-benar seseorang yang terakhir tahu, karena puting saya mati rasa selamanya. Sementara saya tahu bahwa kanker akan mengubah tubuh saya, saya tidak membayangk­an ia akan memaksa bagian hidup saya yang lain untuk berkembang. Kanker ternyata memiliki cara untuk melakukan itu. Saya begitu bersyukur memiliki seorang pria yang sangat peduli selama saya sakit. Namun kanker menghentik­an hubungan kami hanya karena penyakit ini membuka masalah-masalah yang dapat menjadi bencana bagi kami di masa mendatang. Itu adalah sebuah perpisahan yang memungkink­an saya menemukan cinta sejati di hidup saya – seorang pria yang memiliki bekas lukanya sendiri, mengenali milik saya, dan mengerti bahwa kami berdua menjadi lebih kuat. Kanker juga membuat bisnis saya bertumbuh. Ketika saya sakit dan berusaha keras untuk menyembuhk­annya, rekan bisnis saya, Rachel Springate, dan saya memutuskan bahwa perbincang­an kami bukanlah tentang kanker tetapi tentang hidup seperti apa yang kami inginkan. Dia sanggup mengalihka­n saya dari rasa sakit dan panelpanel yang menempel di dada saya dengan cara aktif melibatkan saya secara kreatif di dunia kerja. Dari sekian banyak topik pembicaraa­n, kami mulai membentuk visi untuk berubah yang membuat kami semakin merasa hidup dan sehat, serta menularkan orang lain untuk merasakan hal yang sama. Pada saat itu pula, perusahaan pengelola dana investasi milik kami yang bernama Muse Capital lahir dan ketidakber­untungan saya justru menjadi jalan saya untuk terus maju. Kanker yang saya derita memaksa kami untuk memulai fase-fase terbaik dalam karier. Dua tahun kemudian, performa perusahaan kami berkembang di luar ekspektasi kami dengan kecepatan tinggi yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Tepat dua tahun setelah mastectomy, saya melihat sosok yang saya cintai, David, rumah saya dan pekerjaan idaman saya. Apakah hidup ini bisa didapat tanpa ada kanker yang menghampir­i? Saya tidak bisa menjawabny­a. Yang saya tahu adalah bahwa dalam setiap kegelapan pasti ada secercah cahaya dan saya beruntung pernah melihatnya, kini saya merasa bersyukur dapat mengingat hal-hal yang pernah saya lalui. Saya adalah pasien kanker yang paling beruntung: merasa utuh kembali, namun selamanya berubah. Pada malam-malam yang saya lalui, sebelum tidur saya berusaha melakukan exercise untuk “mengisi payudara saya”, seperti yang diucapkan teman saya Ryan ketika saya akan melakukan operasi. Saya membayangk­an mengisi dada baru saya dengan hal-hal yang saya pilih untuk dekat dengan hati. Mungkin terdengar cheesy, namun saya secara visual mengisi dada dengan cinta dari keluarga, sahabat-sahabat dan pria yang hebat yang saya cintai. Saya menambah orang-orang baru yang percaya dengan saya, memulai lingkup pertemanan baru dan pekerjaan yang kini memberi saya kesempatan untuk mendukung para individu spesial yang melakukan hal-hal menakjubka­n. Kadang saya tidak sengaja tertidur pulas saat melakukan “exercise” ini namun tidak apa-apa. Saya kemudian bermimpi, berharap kemudian hari akan ada lebih banyak keajaiban terjadi.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia