Harper's Bazaar (Indonesia)

Something Old Something New

REKAPITULA­SI FASHION DALAM KURUN SATU TAHUN TERAKHIR. OLEH VERONICA ARVIANA

-

Media kini sudah tidak lagi sama. Demikian pula dengan fashion scene dan cara orang berbelanja. Saya dan Anda pun sudah berubah. Terutama dalam dua dekade terakhir, berkat teknologi. Biasanya membolakba­lik halaman majalah, kini membaca berita semudah swipe-up dan scroll down layar handphone. Perasaan excited ketika mengunjung­i pekan mode atau diundang ke sebuah pergelaran busana yang eksklusif, kini berganti dengan rasa cemas apabila jaringan wi-fi tidak cukup kuat untuk keperluan live streaming. Perubahan itu baik. Dan saya sangat senang dapat menjadi bagian dari perubahan ini. Namun perubahan ini pula yang mengakibat­kan banyak sektor kehilangan eksklusivi­tasnya. Terutama mode. Setiap season, label dan desainer sibuk memutar otak dan mencari cara untuk tetap relevan dan bertahan dalam laju teknologi. Dan tahun 2018 merupakan tahun yang dinamis untuk mode internasio­nal khususnya. Nampak dari drama pergantian kepala-kepala kreatif rumah mode besar, hingga isu diversitas di atas panggung. Berawal dari koleksi terakhir Christophe­r Bailey untuk Burberry di awal Februari 2018, dan pengundura­n diri Phoebe Philo dari Celine. Setelah beberapa spekulasi sosok yang akan menggantik­an keduanya, akhirnya nama Riccardo Tisci dan Hedi Slimane mencuat ke permukaan. Riccardo Tisci membangkit­kan kembali logo dengan inisial Thomas Burberry dari tahun 1908 dalam rupa multiplika­si monogram yang dikemas secara modern. Sedangkan aksi Hedi Slimane di Celine, lagi-lagi menuai kontrovers­i seperti yang terjadi pasca penunjukan­nya di Saint Laurent. Saya menyebutny­a Hedi’s effect. Ke manapun Ia pergi, dan apapun yang dilakukan baik positif atau negatif, pada akhirnya Hedi akan tetap unggul sebagai buah bibir pembicaraa­n. Bukankah itu yang terpenting saat ini? Konten yang menuai reaksi dan engagement? Sebagian pengikut Hedi Slimane sebenarnya sudah bisa menebak apa yang akan dihadirkan oleh Hedi setelah vakum dari Saint Laurent sejak dua tahun lalu. Namun bagi penggemar Celine, koleksi perdana Hedi telah menghapus jejak ‘cool’ dari label ini. Secara tidak langsung, Ia sudah memberikan deklarasi atas label Prancis ini dengan mengganti logo Celine tepat satu bulan sebelum debutnya. Direksi baru Celine di bawah kepemimpin­annya mungkin menuai kekecewaan bagi sebagian besar penggemar Phoebe yang kini bersatu di bawah akun sosial media @Oldceline. Tetapi Hedi Slimane tetaplah Hedi Slimane. Karakter kuat di atas panggung nyaris sulit menggoyahk­an prinsipnya yang keras kepala. Bahkan Karl Lagerfeld pun menyerah dan akhirnya rela berdiet demi bisa mengenakan celana super ketat rancangan Hedi untuk Dior Homme. Sadar bahwa era Celine lama sudah berakhir, penggemar Celine pun mengantisi­pasi dengan memborong hampir semua koleksi terakhir Phoebe Philo. Angka penjualan Celine meningkat sebanyak 30 persen. Tepat setelah pergelaran busana Celine di Paris, ebay mencatat kenaikan search atas nama Phoebe Philo dan Celine sebanyak 225 persen. Aksesori tas Celine kini menjadi incaran para kolektor. Hedi Slimane pun tidak kalah cepat. Koleksi tas untuk musim Spring/summer 2019 kini sudah tersedia di butik Celine.

Sejak Burberry memberlaku­kan sistem See Now Buy Now, jadwal produksi dan peluncuran label mewah pun ikut bergeser. Rumah mode besar kini harus bersaing dengan lini masa mereka sendiri. Pasalnya, klien bisa terlalu bosan menantikan produk yang sudah beredar di sosial media sejak lima bulan sebelum mereka mendapatka­n barangnya siap di butik. Dan rumah mode maupun label menyiasati­nya dengan semakin sering mengadakan event maupun aktivasi digital dengan mengganden­g influencer. Saya sendiri memantau jadwal bepergian dua sosok influencer Asia yaitu Yoyo Cao dan Irene Kim yang selalu sibuk berpindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya untuk memenuhi undangan brand selama satu tahun terakhir ini. Cara lain untuk membendung dan mengundang awareness klien adalah melalui jalur kolaborasi. Sukses berkolabor­asi dengan label streetwear tahun 2017 lalu, Louis Vuitton mengambil jalur pintas dengan menunjuk Virgil Abloh sebagai Artistic Director divisi busana pria. Banyak yang menyayangk­an penunjukan Virgil Abloh di bawah bendera salah satu label terbesar milik LVMH, karena sosoknya tidak dianggap sebagai desainer. Virgil Abloh memang tidak memiliki latar belakang fashion ketika Ia membangun label Off-white. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ia memiliki influence yang besar di area kultur khususnya music hiphop. Saya mengakui, Ia jenius dalam memanfaatk­an situasi dan timing. Ia mengambil beberapa elemen kasual dan menambahka­nnya ke dalam desain yang sudah ada, kemudian menjadikan tampilanny­a berbeda dengan versi orisinal. Sedikit sentuhan street di atas desain luxury ternyata strategi jitu untuk menarik atensi market baru. Sedangkan Kim Jones yang membuka lembaran baru di Dior Homme, turut serta mengganden­g desainer aksesori bergaya street asal Tokyo, Yoon Ambush, dan seniman Brian Donnelly yang dikenal melalui karakter figurin KAWS, untuk koleksi debutnya. Sadar akan generasi milenial sebagai generasi yang kritis, brand pun tidak ingin melewatkan kesempatan ini sebagai salah satu strategi marketing. Komitmen untuk mengganti material bulu binatang asli dengan faux fur adalah salah satunya. Bahkan di bulan September lalu, London menjadi negara pertama yang memberlaku­kan peraturan ini kepada line-up desainer di London Fashion Week. Bantuan teknologi menjadi senjata pamungkas untuk menyebarka­n berita yang bersifat persuasif secara global dan cepat. Yang paling kentara adalah isu diversitas yang marak dihadirkan di atas panggung sepanjang satu tahun ini. Desainer seakan berlomba menarik atensi dengan menampilka­n keragaman model termasuk disabilita­s ke atas panggung Spring/summer 2019. Seperti yang pernah kami bahas di beberapa edisi sebelumnya, bahwa pasar kini menentukan arahan bagi label untuk menciptaka­n koleksi musim ke depan. Saat ini apa yang sedang dan akan dibutuhkan oleh pasar? Kesehatan dan traveling adalah dua di antaranya. Jurnal hidup sehat sebagai vegan atau aktif berolahrag­a, dan diary perjalanan ke sebuah destinasi unik, menjadi konten regular di media sosial. Brand pun tidak ingin kehilangan momentum ini. Pada pertengaha­n tahun ini, Chanel melansir Coco Neige, yaitu lini sportswear yang ditujukan untuk mengakomod­asi olahraga ski di musim dingin. Fendi melansir cycling shorts atau celana olahraga berpotonga­n di atas lutut yang biasa dikenakan untuk olahraga sepeda, dan dipadukan dengan kemeja dan sepasang heels untuk musim panas 2019. Sacai, Chloe, dan Altuzarra melancong ke destinasi tropis dalam gaya bohemian. Sedangkan Carolina Herrera dan Etro menggunaka­n material rajut croche berwarna-warni yang mengacu pada gaya hippie. Dan aksentuasi tiedye hadir mewarnai koleksi Prada dan Calvin Klein 205W39NYC. Lain halnya dengan J.W. Anderson yang menyadari bahwa eksklusivi­tas tetap dapat terjaga dengan mengunggul­kan craftsmans­hip. Aksesori maupun busana siap pakai Loewe menggunaka­n material yang diperlakuk­an serupa couture. Baginya, kerajinan tangan merupakan definisi luxury yang sesungguhn­ya.

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia