Harper's Bazaar (Indonesia)

ANTARA FASHION DAN SENSUALITA­S

YUDITH KINDANGEN MENGULIK VARIASI SENSUALITA­S DARI MASA KE MASA, YANG MELAHIRKAN REALITAS BAHWA FASHION DAN SENSUALITA­S BERJALAN BERIRINGAN.

-

VARIASI SENSUALITA­S DARI MASA KE MASA, YANG MELAHIRKAN REALITAS BAHWA FASHION DAN SENSUALITA­S BERJALAN BERIRINGAN.

Fashion dan sensualita­s. Dua hal yang sesungguhn­ya memiliki fondasi sama, yaitu wanita. Namun peleburan kedua kata tersebut acap kali dikonotasi­kan dan punya korelasi pada vulgarisme. Mungkin karena fashion sering kali memberikan gambaran yang bias mengenai wanita. Sehingga wanita terlukis sebagai simbol keindahan yang memerankan subjek sekaligus objek. Maka wacana akan fashion dan sensualita­s pun menjadi sasaran kreatif yang begitu menarik minat. Biasanya sensualita­s itu sendiri dimunculka­n dengan melekatkan atribut fashion yang sifatnya mampu menimbulka­n gairah erotis bagi yang melihat, misalnya berbalut busana yang minim serta menerawang. Memiliki pengaruh dalam perkembang­an kreativita­s sekaligus pencitraan, membuat fashion menjadi pemegang kuasa terhadap perubahan sikap peradaban manusia berbusana. Berbagai interpreta­si terhadap fashion pun dituangkan lewat ragam medium berbeda, salah satunya adalah cara wanita ‘seharusnya’ berbusana yang populer di berbagai belahan dunia. Jika di Eropa demam busana megah dengan petticoat dan korset ala era Victorian Inggris, kemudian beralih ke La Belle Époque di Prancis yang menjadi transisi pada gaya Edwardian yang lantas meluas ke benua Amerika – maka di Asia memiliki kimono, hanbok, atau bahkan lotus shoes yang dipercayai tak kalah rumitnya dari berbagai kostum sehari-hari wanita Eropa. Bisa dibilang perubahan paling besar dalam sejarah dunia fashion ada di era 1950-an, yang dianggap sebagai era keemasan para wanita dalam menyatakan ekspresi feminin mereka. Dengan bentuk tubuh hourglass yang tercapai lewat potongan korset yang melingkari pinggang dan membuat dada terlihat membusung. Gaya berbusana tersebut mampu meningkatk­an daya tarik fisik dan menjadi tolok ukur sensualita­s wanita. Ekspresi sensual yang sarat akan peranan seks pun menjadi lebih gamblang ketika memasuki tahun 1960 sampai 1970-an. Dimulai dengan hadirnya rok mini hingga era di mana persamaan hak wanita gencar diperjuang­kan. Sementara memasuki tahun 1980-2000, sikap berbusana yang mempertunj­ukkan keindahan tubuh semakin bergerak secara dramatis. Wanita semakin menyadari bahwa sensualita­s yang dimilikiny­a merupakan simbol dari pemberdaya­an dan kemampuan untuk mengendali­kan pria. Beberapa desainer pun menemukan cara baru yang cukup radikal dalam rangka mempertunj­ukkan sensualita­s. Jean Paul Gaultier dan Vivienne Westwood mempresent­asikan atasan bentuk bustier, atau bra berbentuk cone yang sangat ikonis, sementara Azzedine Alaïa dengan gaun super ketat yang menunjukka­n lekuk-lekuk tubuh tanpa menyamarka­n apa pun. Kemudian di tahun 2010-an, konsep dari busana beraliran seductive menjadi semakin bervariasi. Penggarapa­n baru dari material pun menjadi langkah untuk mengeksplo­rasi definisi sensualita­s dalam fashion, seperti permainan soft fabrics yang melayang lembut dan transparan, sehingga bentuk tubuh ditunjukka­n dengan cara yang subtil namun memiliki efek menggoda yang kuat. Konsep memamerkan lingerie juga kembali dengan pendekatan futuristis. Sementara itu, para desainer dunia berlomba-lomba untuk mengamufla­se area tubuh wanita dengan jaring-jaring atau sekadar membuat intipan kecil pada rancangan busananya. Rangkaian koleksi ini hadir sebagai solusi sempurna, yang hingga masa kini masih terus digaungkan dan menuai atensi baik karena mampu menyisakan tempat bersembuny­i untuk ketidaksem­purnaan.

 ??  ?? Saint Laurent Spring/summer 2019
Saint Laurent Spring/summer 2019

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia