Boyfriend (and) Shirt
VERONICA ARVIANA MENGUNGKAPKAN PERSAMAAN SULITNYA MENEMUKAN KEKASIH DAN KEMEJA IDEAL DI METROPOLIS.
“Bagaimana bisa bertemu boyfriend? Kalau boyfriend shirt saja sudah banyak syaratnya…,” ujar salah satu sahabat saya saat terakhir pergi berbelanja. Ketika menurunkan tulisan ini, hanya berjarak beberapa hari sebelum saya merayakan ulang tahun ke tiga puluh sekian. Usia kepala tiga, perempuan, dan single di Jakarta. Serangan pertanyaan acap kali muncul dari berbagai sisi. Mengapa masih betah sendirian? Apakah karena mendahulukan karier daripada keluarga? Sering dihadapkan pada pertanyaan serupa, saya tidak sepenuhnya tidak peduli. Tapi saya sadar bahwa penyebab utamanya dikarenakan sifat diri sendiri yang picky. Kenyataan bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini memang tidak bisa dihindari. Namun apabila untuk membeli sebuah benda saja banyak pertimbangannya, mengapa tidak hati-hati dalam memilih pasangan? Apalagi prosesnya tidak semudah menukar dan mengembalikan kemeja yang kurang pas ke counter. Bagi saya, menemukan pasangan hidup mungkin memang sama ribetnya seperti menemukan sepotong kemeja putih. Ya, kemeja adalah item busana paling basic dan klasik. Tapi tidak mudah untuk menemukan potongan yang benar-benar pas dan nyaman. Ada saja permasalahan fitting pada bagian bahu, kerah, dada, lengan, atau torso pinggang. Apalagi karena saya memiliki lingkar tubuh yang cukup besar untuk ukuran perempuan
METROPOLITAN SEAKAN MEMBERI RUANG ALASAN UNTUK WANITA MENUNDA USIA PERNIKAHAN.
Asia. Sedangkan kebanyakan kemeja yang tersedia di market kurang berpihak dengan postur tubuh, ditambah lagi dengan kondisi bidang kemeja yang polos. Dalam hukum desain yang tidak tertulis, less is more. Semakin minimalis desainnya, maka semakin tinggi pula tingkat kesulitannya, sehingga tuntutan kerapian garis dan detail turut diperhitungkan. Belum lagi dalam hal kualitas dan durabilitas materialnya. Kemeja dengan material yang memiliki kandungan katun lebih tinggi daripada komposisi poliester, akan lebih nyaman dipakai saat berkeringat. Tapi perawatan katun putih membutuhkan effort lebih dibandingkan pakaian yang lain. Sesungguhnya justru sangat merepotkan. Tapi saya termasuk dalam kategori pro yang percaya bahwa kemeja putih adalah item wajib yang harus ada di setiap lemari, apa pun style Anda. Meski saya lebih suka atasan longgar hitam serba nyaman, dan warna putih bukanlah warna favorit saya, kemeja ini bisa menjadi penyelamat hidup karena sifatnya yang ringan dan mudah dipadupadankan dengan apa saja. Tergantung karakter yang ingin ditonjolkan. Terdapat banyak varian style, cutting, material, bahkan gradasi warna yang tersedia di market. Sehingga timbul effort yang harus dikeluarkan yaitu berupa riset dan fitting sebagai pertimbangan sebelum membuat keputusan untuk membeli. Anda bisa saja masuk ke sebuah butik dan mencoba beberapa helai kemeja putih, namun berakhir dengan tangan hampa. Atau membeli di situs belanja online, dan kecewa karena fitting kemeja desainer dengan tag harga mahal pun masih membuat Anda terlihat melembung seperti layangan. Label kemeja yang direkomendasikan oleh si A belum tentu memberikan efek siluet yang sama di tubuh si B. Maka ketika satu waktu saya tidak sengaja menemukan fitting yang cocok, saya membeli dua buah sekaligus karena mengingat usia pendek kemeja putih yang rentan terhadap noda dan perubahan warna. Anda bisa berinvestasi sebanyak-banyaknya terhadap sebuah style busana atau benda yang cocok dengan selera. Dan masih bisa dengan mudah menggantinya apabila seketika merasa bosan. Namun tidak demikian dengan pasangan hidup berjangka panjang, sehingga saya pun menganut prinsip picky. Sifat pemilih bukan satu-satunya alasan mengapa banyak wanita berusia 30 tahun ke atas masih nyaman dengan gaya hidup melajang. Sebuah sensus yang dilakukan tahun 2018 lalu oleh sebuah lembaga swasta di Korea Selatan, menunjukkan bahwa angka statistik pernikahan di Korea Selatan berada di titik terendah sejak tahun 1970. Permasalahan serupa pun dihadapi oleh kota-kota besar di China seperti Shanghai dan Beijing, yang mengalami penurunan presentase pernikahan sebanyak 30 persen selama lima tahun terakhir. Mungkin ini adalah salah satu kecenderungan wanita yang tinggal di kota besar dan berkembang. Ruang metropolitan seakan memberi banyak alasan bagi wanita untuk menunda usia pernikahan. Wanita dari generasi milenial khususnya, memiliki pola pikir yang berbeda dari generasi yang lebih tua. Atau bahkan bila dibandingkan dengan angkatan lebih muda seperti generasi Z yang justru banyak memilih berumah tangga dalam usia muda. The millenials cenderung goal-oriented dan idealis. Sebagian sibuk memperbanyak portofolio pendidikan dengan mengejar degree di dalam maupun luar negeri. Sebagian sibuk berkompetisi dalam dunia kerja maupun entrepreneurship. Sebagian lagi merasa lebih baik hidup melajang tanpa tanggungan rumah tangga. Bagi sebagian orang lainnya termasuk saya, merasa sudah cukup ‘content’ dengan menghabiskan waktu untuk perbaikan kualitas hidup dan traveling. Mungkin sebagian lainnya, terus konsisten berada dalam pencarian namun belum menemukan pasangan yang tepat. Karena layaknya pencarian style pakaian yang cocok dengan karakter, proses pencarian pasangan berakhir dengan mengerucutkan kriteria-kriteria tertentu yang tidak sesuai dengan kepribadian. Situs online dating atau jasa biro jodoh profesional dapat dijadikan salah satu alat yang membantu mengeliminasi kriteria yang tidak diinginkan tersebut. Tapi semua kembali kepada panggilan hati masing-masing orang. Memang tidak ada sebuah penjelasan maupun jawaban ilmiah untuk urusan yang satu ini. Setiap persona memiliki latar personal yang sebaiknya tidak perlu dijadikan bahan argumentasi, agar setiap acara reuni dan keluarga tidak terasa menyusahkan. Untuk saat ini, sembari menanti jodoh yang mungkin sedang dalam pencariannya menemukan saya lewat bantuan alam semesta, saya cukup terhibur dengan sepotong kemeja putih boyfriend style siluet longgar beraksen V-neck yang menonjolkan sisi tirus upper body dan mampu mengakomodasi kebutuhan gaya di berbagai kesempatan.