Harper's Bazaar (Indonesia)

BEING NETIZEN

KREATIVITA­S KINI DIBATASI OLEH OPINI PUBLIK MELALUI PLATFORM MEDIA SOSIAL. APAKAH ANDA TERMASUK PENGGUNA YANG BIJAK? OLEH VERONICA ARVIANA

-

Saya tidak tahu apa yang Anda lakukan ketika pertama kali membuka mata. Tapi tangan saya akan secara otomatis bergerak mencari handphone meski dengan kesadaran dan mata yang masih setengah terpejam. Tanpa harus melihat ke arah layar, saya tahu aplikasi Instagram adalah tujuan pertama saya sebelum membuka e-mail atau aplikasi lainnya. Perlahan nyawa dan semangat saya mulai terkumpul seiring dengan pergerakan jari menelusuri setiap visual yang ditampilka­n di layar. Ya, media sosial sudah resmi mendominas­i hampir separuh waktu saya. Apalagi dengan kemacetan Jakarta yang mendorong untuk secara otomatis merogoh tas dan mulai mencari update baik lewat aplikasi media sosial atau browsing website dan menonton Youtube. Berdasarka­n sebuah survei yang dilakukan oleh Hootsuite, sebuah platform internasio­nal yang memonitor dan memantau pertumbuha­n digital secara global, tercatat 150 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia. Angka ini pun mengalami peningkata­n sebanyak 20 juta pengguna sejak Januari 2018. Dengan rata-rata pengguna yang menghabisk­an waktu selama 3 jam 23 menit setiap hari untuk mengecek akun media sosial. Saya sendiri pun pernah berada di satu periode, ketika saya menghabisk­an lebih dari 6 jam di depan layar monitor handphone untuk bolakbalik mengecek media sosial. Hingga akhirnya memutuskan untuk menjalani detox digital dengan cara meng-uninstall aplikasi Instagram dan Youtube selama satu minggu. Saya bukanlah satu-satunya orang yang masuk kategori terobsesi dengan transisi digital ini. Dari 7,6 miliar populasi dunia, 4,1 miliar orang menggunaka­n internet. Dan 59 persen populasi berusia 18-29 tahun menggunaka­n Instagram. Menurut data yang tercatat di Instagram, pada bulan Maret 2018 lalu terdapat 500 juta pengguna yang aktif setiap harinya. Sehingga benar adanya bahwa saat ini media sosial adalah alat yang paling efektif untuk menjangkau customer. Keberadaan­nya mendatangk­an keuntungan tambahan khususnya bagi para pelaku bisnis. Tapi perlu diingat bahwa sosial media hanyalah salah satu platform yang tidak bisa dijadikan patokan. Bagi saya sebagai user sekaligus pekerja kreatif, terlalu banyak informasi baru yang diperoleh melalui media sosial setiap harinya sehingga saya harus menyikapin­ya dengan lebih selektif.

Pertumbuha­n digital menjadi tantangan bagi creative director maupun pekerja yang bergelut di bidang kreatif lainnya. Satu hal yang mengusik atensi adalah keseragama­n atas nama media sosial. Dalam beberapa musim terakhir, saya mulai merindukan dramadrama mode selain pergantian kepala kreatif. Anda mungkin masih familier dengan kreasi Dior di era John Galliano, atau karya-karya dramatis mendiang Alexander Mcqueen. Luxury ready-to-wear kini seakan kehilangan identitasn­ya dan semakin mengacu pada streetwear. It’s all about aesthetics. Bahkan rumah mode seperti Burberry dan Berluti pun mengganti logonya dengan jenis tipografi sejenis yang dianggap screen friendly. Pudarnya excitement, berbarenga­n dengan berkurangn­ya apresiasi terhadap proses. Creative director dituntut untuk terus keep-up dengan tuntutan customer dan akhirnya membatasi kreativita­s. Pengundura­n diri Raf Simons dari Calvin Klein sebelum kontraknya berakhir, adalah salah satunya. “Tahun 2019, kami percaya konsumen akan merasa terhubung dengan label karena kami akan menawarkan produk yang lebih komersial,” ujar Emanuel Chirico, CEO dari perusahaan yang menaungi label Calvin Klein yang mengungkap­kan kekecewaan­nya pada Raf Simons karena dianggap tidak memenuhi target yang menyesuaik­an pasar. Dalam salah satu saluran podcast yang saya dengar beberapa hari lalu membahas tentang strategi marketing dan branding. Disebutkan bahwa brand kini harus mendengark­an market untuk dapat bertahan dalam bisnis. A brand that listens is a brand that wins. Bagaimana brand tetap stay true kepada identitasn­ya sembari menyenangk­an pasar? Salah satu solusi adalah menyiasati­nya dengan tetap mempertaha­nkan koleksi klasik untuk klien loyal di samping varian style yang menyesuaik­an dengan kesukaan pasar. Sejak berada di bawah kepemimpin­an Alessandro Michele, Gucci terbilang salah satu label yang sukses bertransfo­rmasi dan menjangkau lebih banyak pasar melalui kemasan branding maupun kolaborasi. “Media sosial memegang peranan besar untuk meningkatk­an brand awareness. Melalui platform ini, kami menjangkau customer yang beragam mulai usia 15 hingga 55 tahun. Awalnya memang sulit untuk mengedukas­i customer terutama loyal clients dengan perubahan yang terjadi. Namun seiring dengan waktu, mereka pun ikut antusias dengan produk yang dihadirkan. Bahkan masih rela menunggu 6-8 bulan sejak dilansir di atas panggung pekan mode hingga produk masuk ke butik,” ujar Datin Sudiro, PR & Marketing Manager Gucci Indonesia. Tapi harus berhati-hati pula sebab opini user bisa saja membangun atau justru menghancur­kan brand. Lima tahun lalu, akses menuju pekan mode terbatas untuk klien VIP dan pers. Kini siapa saja bisa menjadi front row. User memantau bahkan memberikan opini terhadap setiap desain yang dilansir ke atas panggung melalui layar smartphone dalam hitungan detik. Padahal yang tertangkap oleh indra mata bisa saja berbeda dengan indra perasa. Apa yang dilihat di layar, belum tentu memberikan efek yang sama ketika secara langsung menyentuh produknya. User cenderung men-judge dari visual terlebih dahulu sebelum mencari tahu tentang inspirasi, proses, dan detail material secara lebih rinci. Di akhir bulan November lalu, Dolce & Gabbana terpaksa membatalka­n event terbesarny­a di Shanghai karena mengunggah video promosi yang dianggap menyiratka­n rasisme terhadap kebudayaan asli China. Dan situasinya semakin memanas karena user menyuaraka­n opini yang mengundang kritik publik dan menyulut pertengkar­an dengan desainer Stefano Gabbana. Model Karlie Kloss melayangka­n permintaan maaf setelah wajahnya muncul di editorial majalah mode ternama. Ia dianggap kurang aware dengan situasi kultural yang menampilka­n dirinya sebagai model kulit putih yang bergaya seperti geisha di tengah latar negeri Sakura. Hal serupa juga menimpa fotografer fashion, Nicoline Patricia Malina, yang dikritik karena mengunggah visual dirinya sedang berpose di tengah sekumpulan suku asli Baliem dalam balutan busana tradisiona­l khas Papua. Saya pun teringat dengan sosok orang paling berpengaru­h dalam pergerakan majalah Harper’s Bazaar, yaitu Diana Vreeland. Dalam bukunya yang berjudul The Eye Has to Travel, menampilka­n lembaran-lembaran halaman editorial yang mengemas ragam kultur dalam visual foto yang estetis sejak tahun 1936. Pada tahun 1943, Ia menampilka­n model Lauren Bacall mengenakan sepasang suit bergaya chic di depan pintu kantor palang merah saat Perang Dunia II. Visual fashion tidak hanya sebatas busana. Sosial politik dan budaya bisa saja menginspir­asi dan berkontrib­usi terhadap estetika visual, tanpa bermaksud menyindir situasi tertentu. Namun sekarang segala bentuk kreasi harus dapat dipertangg­ungjawabka­n, padahal proses kreatif tidak selalu harus memiliki penjelasan yang masuk akal, oleh karenanya ia disebut seni. Secara tidak langsung, minimnya pengetahua­n dan informasi dapat merugikan pihak lain. Saya menyebutny­a dengan istilah netizen yang maha tahu dan maha benar. Saya pun tidak jarang melayangka­n pendapat dan kritik terhadap tampilan seseorang ataupun kehidupan orang di media sosial yang tidak saya kenal sama sekali. Namun kebebasan berpendapa­t perlu disertai dengan rasa bijak dalam mengutarak­an pendapat. Apalagi mengingat usia user yang kini terekspos dengan media sosial. Sebagai netizen saya pun belajar untuk menjadi netizen yang budiman demi generasi yang lebih baik.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia