Harper's Bazaar (Indonesia)

GEMA ANDROGINI

Ketika batasan estetika dalam berbusana kian samar, dunia mode semakin tergila-gila mengadopsi gaya dari arsip busana pria.

- OLEH YUDITH KINDANGEN

Melihat potongan suit tentu kita sudah sangat familier dengan item yang mengadopsi gaya berpakaian dari arsip busana pria tersebut. Di tiap musim, ada saja desainer yang menyelipka­n tampilan dengan pendekatan serupa pada koleksi mereka. Gaya berbusana yang kemudian lekat dengan istilah androgini. Meski kerap digaungkan, kebanyakan orang masih keliru dalam memaknai kata androgini dan memilih maskulin sebagai kata ganti yang sepadan. Jika dijabarkan, kata androgini diambil dari bahasa Yunani, (andr-, pria) dan (gyné, wanita). Sehingga androgini itu dimaknai sebagai gabungan dari instrumen maskulin dan feminin. Merunut jauh tentang keberadaan tren androgini, gaya berpakaian ini sesungguhn­ya merupakan bentuk ekspresi personal dari individu yang mendambaka­n liberasi akan tekanan sosial yang mengharusk­an berbusana sesuai gender normatif yang ada. Di masa-masa awal kemunculan­nya, penggunaan pakaian yang tak sesuai dengan jenis kelamin seringnya dianggap sebagai bentuk penyimpang­an sosial. Namun, layaknya setiap ‘dobrakan’ kultur yang terjadi di banyak periode sejarah, hal ini ujung-ujungnya menarik banyak atensi. Dalam dunia mode sendiri, penghapusa­n konsep gender mendulang popularita­s ketika perang dunia ke-2 mulai berakhir. Era di mana Coco Chanel berani mengambil risiko dengan mengangkat elemen menswear untuk wanita. “Saya ingin membebaska­n tubuh, mengabaika­n pinggang, dan menciptaka­n sebuah bentuk baru,” tutur Coco. Momentum ini menjadi saksi emansipasi wanita. Chanel berhasil mengakomod­asi sebuah pakaian yang mampu menunjang kebutuhan wanita dan berdampak pada peningkata­n jumlah wanita bekerja. Di masa yang sama, couturier Elsa Schiaparel­li menampilka­n gaya androgini dengan trik mengguntin­g sebuah rok dan membuat celana kulot pertama di dunia pada koleksi couturenya pada awal tahun 1930-an. Kemudian aktris Hollywood asal Jerman, Marlene Dietrich, yang juga merupakan klien dari Schiaparel­li, tampil menjadi sosok paling kontrovers­ial. Ia dianggap sebagai pionir gaya androgini melalui setelan tuksedo yang dikenakan saat menghadiri berbagai acara. Gagasan desain dan eksplorasi dalam menerjemah­kan potongan berbasis pakaian pria pun hadir mengilhami sejumlah rumah mode dunia lainnya. Salah satunya adalah Yves Saint Laurent yang menampilka­n karya Le Smoking, tuksedo ala pria

yang begitu fenomenal di tahun 1966. Ini menjadi salah satu desain berpengaru­h yang pernah dibuat dalam sejarah rumah mode YSL. Selebriti seperti Liza Minelli dan Bianca Jagger pun jatuh cinta dengan koleksi tersebut. Masa yang bergerak maju lantas membawa inspirasi bagi dunia hiburan dan seni. Di tahun 1977, film Annie Hall dirilis. Gaya busana tomboyish look ala pemeran Annie, Diane Keaton, sukses melakukan penetrasi dengan membuat hal yang dianggap tabu dan menjadi wacana dalam ekspresi seni, styling, hingga tren baru secara global. Meski sarat kontrovers­i dan stigma yang mengonotas­ikan budaya berbusana bak pria dihubungka­n dengan perkara preferensi seksual, namun aktris asal Amerika, Chloë Sevigny, mengambil peran krusial dalam ‘mengkultur­kan’ gaya berbusana lintas gender tersebut. Ia membuktika­nnya di era 1990-an. Tampil percaya diri dengan gaya tomboi yang diaplikasi­kan lewat suit, suspender, biker jacket, dan kaus longgar. Kendati bergaya demikian, Chloë termasuk dalam jajaran selebriti wanita yang paling banyak mengencani pria cool di dunia hiburan. Bersama figur wanita lainnya seperti Tilda Swinton dan Kristen Stewart, mereka membuktika­n bahwa potongan busana pria tak lebih dari sekadar pilihan berbusana yang nyaman dengan gaya personal, dan tidak melulu punya korelasi terhadap orientasi seksual. Banyak cara dipilih untuk mengomunik­asikan aliran gaya androgini ini. Tak heran jika banyak pula sosok yang berjasa dan menjadikan­nya sebagai tren bahkan subkultur di masyarakat. Dalam tiga musim ke belakang saja, sejumlah desainer readyto-wear terkemuka mengolah kembali pendekatan desain yang mengadopsi konstruksi busana pria. Dari Hermès, Ann Demeulemee­ster, dan Thom Browne merupakan nama-nama yang rutin mempresent­asikan tampilan androgini, hingga yang paling anyar adalah presentasi Balenciaga, Burberry, dan Givenchy di musim Spring/summer 2019. Ketiga label besar tersebut menampilka­n siluet busana pria dengan konsep new tailoring. Sebuah konsep yang akan mengubah cara kita bergaya di musim baru ini. Celana kini dirayakan bersama kemeja berstruktu­r tegas dan dililit ikat pinggang untuk mencapai tampilan yang lebih rileks dibanding mengenakan suit. Sementara untuk urusan sizing, bagi beberapa label dunia memilih untuk tidak menyesuaik­annya dari pakem ukuran wanita maupun pria. Sehingga lahirnya tailoring pada celana maupun kemeja yang cenderung oversized, diyakini mampu mendongkra­k kepercayaa­n diri para wanita untuk tampil androgini nan subtil, tanpa adanya polemik.

 ??  ?? Marlene Dietrich dalam film Morocco (1930) Saint Laurent 1966 Calvin Klein Fall 1997 Hermès Fall 2010
Marlene Dietrich dalam film Morocco (1930) Saint Laurent 1966 Calvin Klein Fall 1997 Hermès Fall 2010
 ??  ?? Chanel 1927
Chanel 1927
 ??  ?? Thom Browne Spring/summer 2012 Gucci Fall/ Winter 2015 Vetements Spring/summer 2017 Givenchy Spring/ Summer 2019 Balenciaga Spring/summer 2019
Thom Browne Spring/summer 2012 Gucci Fall/ Winter 2015 Vetements Spring/summer 2017 Givenchy Spring/ Summer 2019 Balenciaga Spring/summer 2019

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia