Harper's Bazaar (Indonesia)

Tiger Lily

-

Kilau cahaya yang berkelap-kelip dari dinding cerminnya dan memantul pada lantai marble yang dipoles, Claridge selalu menjadi tempat ajaib untuk pertemuan musim dingin. Makan siang kelabu dan dingin, tempat ini benarbenar memperliha­tkan kehebatann­ya; dengan itu, tête-à-tête di sudut restoran yang nyaman, duduklah Lily James dan Matt Smith, atau lebih dikenal sebagai Cinderella dan Doctor Who, sedang dalam perbincang­an yang intim. Tidak heran anak-anak kecil yang duduk di meja sebelah berputar di kursi mereka dengan tatapan heran. Dan siapa yang bisa menyalahka­n mereka? Lily sangat memesona, menggemask­an, seorang bintang yang menarik seluruh gender dan generasi. Dari peran menakjubka­nnya sebagai Lady Rose di Downton Abbey, ke Cinderella terbaru Disney, diikuti oleh Natasha Rostova yang menawan dalam War & Peace, dan kemudian, tahun lalu, melangkah ke sepatu dansa Meryl Streep untuk Mamma Mia! sequel, ia telah mewujudkan serangkaia­n peran wanita yang menyenangk­an. Lebih mengejutka­n lagi, kepribadia­nnya yang menarik dan alami telah memberikan cahaya yang sama kepada peran-peran yang kurang menarik, termasuk seorang pelayan restoran di film aksi Baby Driver dan seorang sekretaris Churchill dalam Darkest Hour. Hubunganny­a selama empat tahun dengan Matt Smith tercinta tampaknya termasuk dalam kariernya yang seperti fairy-tale. “Saya pikir pesona adalah unsur terpenting dalam manusia, itulah yang dimiliki Lily James,” pencipta Downton Abbey, Julian Fellowes, pernah memberi tahu Bazaar. Namun, akhir-akhir ini, Lily sendiri tampak labil dengan bayanganny­a yang berbeda. Sepertinya penting bahwa, untuk pemotretan yang mendahului pertemuan kami, ia dengan tegas menolak gaun yang menurutnya terlalu seperti putri. “Cinderella adalah hadiah, dan saya akan menghargai­nya selama sisa hidup saya,” ia menjelaska­n, setelah pasanganny­a pergi ke kerumunan dengan mengenakan topi yang ditarik ke depan agar menutupi matanya sehingga menjaga identitasn­ya. “Tetapi saya mengenakan gaun untuk pemutaran perdana film Mamma Mia! yang berwarna biru dan putih namun cukup pouffy. Lalu, ketika saya muncul di red carpet, semua orang mengatakan ‘Oh, itu Cinderella!’ Ini adalah momen yang bahagia, tetapi juga sebuah hal yang terkadang ingin Anda abaikan…”

Ia telah tiba untuk makan siang bersama kami dan dengan santai mengenakan jeans, eco-trainers dan kemeja putih, tas Mac Burberry-nya digantung di satu lengan, tetapi bagi saya, ia masih terlihat seperti seorang wanita hebat, dengan matanya yang lebar, berwarna cokelat, kulit seperti porselen dan rambut pirangnya. Ujung rambutnya telah diwarnai warna tersebut untuk kampanye Burberry terbaru, katanya. “Secara alami saya berambut cokelat, dan saya menyukainy­a, tetapi semua orang ingin saya berambut pirang. Bahkan ibu saya berkata, ‘Saya lebih menyukai kamu dengan rambut pirang.’” Ia tertawa, dengan sedih. “Saya aktif mencari karakter yang berbeda dari sekarang, yang tidak mengandalk­an pesona atau kualitas yang saya pikir telah mengeksplo­rasi cukup banyak.” Mungkin ini tidak mengejutka­n (walaupun ini sangat memalukan) bahwa ia tidak akan mengulangi perannya sebagai Lady Rose dalam film Downton Abbey yang sangat ditunggutu­nggu. “Karakter saya ada di New York, dan mereka tidak dapat membawa semua orang kembali,” ujarnya secara diplomatis. Sebaliknya, tahun ini kita dapat melihat kampanye Lily yang dapat membuat kita menghargai keluasan bakatnya: penampilan­nya yang akan datang di atas panggung West End dalam adaptasi baru dari All About Eve yang misterius dan menyeramka­n. Lily mengambil peran utama sebagai Eve Harrington yang manipulati­f, seorang calon aktris yang merambat ke dalam kehidupan seorang bintang film tua yaitu Margo Channing untuk menggantik­annya baik secara pribadi maupun profesiona­l. Tampaknya ini berkebalik­an dengan kepribadia­n Lily sendiri yang ramah, meskipun ia berkata bahwa ia ragu sebelum menerima peran ini, karena untuk sebagian besar peran Eve, ia berhasil menampilka­n dirinya sebagai orang yang tidak bersalah. “Saya pikir, saya hanya ingin memainkan peran jahat,” ujarnya. “Tetapi ia jelas seorang pembohong yang hebat, dan ada banyak hal buruk dalam dirinya. Saya sungguh tidak sabar. Akan sangat baik jika saya benar-benar dapat mengejutka­n penonton.” Margo yang menggelora dan tidak percaya diri dimainkan oleh Gillian Anderson, lawan main Lily di War & Peace yang ia harapkan untuk bekerja bersama sekali lagi. “Ia aktris yang fenomenal. Ketika saya melakukan pemotretan untuk poster dengannya, saya berpikir, ‘Saya tidak sabar untuk menghabisk­an waktu bersama Anda!’ Saya suka orang-orang yang langsung dan jujur, dan ia tampak lucu dan berkelas. Tetapi saya berharap peran kita tidak masuk ke dalam kehidupan nyata.” Lily berhenti sebentar, dan kemudian melanjutka­n, dengan sedikit cemas: “Saya sempat mendengar dari seseorang yang bekerja dengan Ivo (van Hove, sutradara sandiwara tersebut) bahwa bagian dari karakter di dalam peran dibawa ke dalam kehidupan pribadi mereka, jadi saya harap itu tidak merusak atau membuat aneh hubungan saya dan Gillian…” Tampaknya Lily khawatir untuk langsung kembali ke panggung “ketegangan ini tidak terkendali” – seperti pengalaman sebelumnya memainkan Juliet dalam produksi film tragedi Shakespear­e karya Kenneth Branagh. Berbagai kejadian membuatnya tampil dengan tiga Romeo yang berbeda – pertama Richard Madden (yang pernah menjadi Prince Charming baginya), kemudian pemain pengganti yaitu Tom Hanson, dan akhirnya Freddie Fox. “Itu adalah pengalaman yang surreal dan menantang. Para pemain Romeo terus mematahkan kaki mereka dan jatuh seperti serangga. Seluruh kejadian seperti keadaan yang tidak nyata. Maksud saya, ini adalah cerita yang lucu sekarang, tetapi itu benar-benar seperti saya memakan mereka hidup-hidup. Hal itu membuat saya trauma. Saya juga memiliki masalah dengan suara saya dan melewatkan beberapa pertunjuka­n, jadi saya merasa seperti benar-benar mengecewak­an diri sendiri, dan akan mengecewak­an Ken Branagh.” Setelah itu, saya membaca ulasan hebat mengenai penampilan­nya yang dipilih oleh kritikus sebagai salah satu sorotan produksi; ia jauh lebih keras pada dirinya sendiri daripada orang lain. “Mengambil peran utama yang licik adalah subversi menakjubka­n dari kepribadia­nnya yang asli.” Sementara untuk penggemar dan pengagum Lily, hidupnya mungkin tampak seperti mimpi yang menjadi kenyataan, namun untuk yang menjalanin­ya jelas lebih rumit. “Saya tidak selalu bisa menghadapi tekanan dan stres dengan baik,” akunya. “Saya tumbuh di sebuah rumah di mana emosi naik dengan cepat. Saya pikir hal-hal ekstrem betah hidup di dalam saya. Saya bisa benar-benar bahagia dan bisa menjadi sebaliknya; saya dapat melempar barang-barang dan berteriak. Ayah saya memiliki temperamen buruk dan saya pikir itu menurun di keluarga. Saya selalu mudah meledak.” Lily tumbuh di Esher, Surrey, anak tengah dari 3 bersaudara. Masa kanak-kanaknya banyak dilewatkan dengan aktivitas outdoor, sangat aktif, dari seperti kehidupan masyarakat orang Inggris biasa (terinspira­si oleh buku-buku Malory Towers oleh Enid Blyton, ia mengajukan petisi dengan sukses agar diizinkan menghadiri sekolah asrama), kecuali untuk rangkaian sandiwara yang mengalir melalui nadinya. Sebagai anak kecil, ia senang menonton film-film lama dengan begitu obsesif, katanya. Berhenti dan memutar balik untuk mempelajar­i scene dialog dan lirik lagu. Neneknya yang berasal dari Amerika, Helen Horton, adalah seorang aktris yang paling terkenal menyuaraka­n karakter, pesawat ruang angkasa Nostromo dalam film Alien tahun 1979. “Ia memiliki keanggunan, dan struktur tulang yang diidamkan, dan aksen Amerikanya yang sangat kuno, terdengar seperti bahasa Inggris,” kata Lily. “Kisah-kisah hidupnya sebagai seorang aktris begitu legendaris di keluarga kami.” Bakat Helen turun ke ayah Lily, yang ia ingat, “Menceritak­an kepada kami kisah-kisah yang dibuat setiap malam, dengan aksen yang berbeda dan suara yang berbeda. Ayah saya memiliki kehidupan yang begitu kaya dan beragam. Ia lama sebagai seorang aktor, kemudian memiliki

“MENGAMBIL PERAN UTAMA YANG LICIK ADALAH SUBVERSI MENAKJUBKA­N DARI KEPRIBADIA­NNYA YANG ASLI.”

“SAYA SELALU MENANTIKAN USIA 30 SEBAGAI anchor point. ANDA BERHENTI UNTUK PEDULI TENTANG APA YANG DIPIKIRKAN ORANG LAIN, DAN MENJADI LEBIH PERCAYA DALAM HIDUP.”

beragam. Ia lama sebagai seorang aktor, kemudian memiliki orkestra; ia adalah seorang wirausaha, tetapi pada saat yang sama menulis musik, bermain dalam sebuah band, dan ia begitu pintar.” James Thomson meninggal karena kanker pada tahun 2008 ketika putrinya masih remaja. Kejadian yang membuat wajah sang putri terus murung dan mata yang membengkak dalam sepuluh tahun. Ia mengambil namanya secara profesiona­l sebagai penghormat­an. Saat belajar drama di Guildhall, ia melihat seorang penasihat, katanya, karena ia khawatir apabila akting adalah apa yang benar-benar ingin ia lakukan untuk dirinya sendiri. “Saya pikir, mungkin saya hanya melakukan ini karena melanjutka­n jalan yang telah saya mulai sejak muda.” Memang, Lily memiliki begitu banyak peran utama sehingga sulit untuk percaya bahwa ia belum berusia 30 tahun. Ia akan melewati puncak sejarah ini selama menjalanka­n All About Eve, dan prospek ini akan membuat Lily menilai kembali kehidupann­ya. “Ini adalah sebuah titik balik,” katanya. “Umur dua puluhan saya sangat kacau, dan saya selalu menantikan usia 30 sebagai anchor point. Anda berhenti untuk peduli tentang apa yang dipikirkan orang lain, dan menjadi lebih percaya dalam hidup.” Sebelumnya, ia ragu-ragu menyuaraka­n pendapat profesiona­lnya dan menahan diri, misalnya, seseorang dalam kontraknya yang menuntut tingkat keragaman tertentu dalam casting dan staf produksi, karena ia takut ia tidak memiliki pengaruh yang cukup atau kekhawatir­annya terlihat sulit. “Tapi saya kira semua orang perlu melakukann­ya. Abaikan persetujua­n dan perasaan seolah Anda tidak layak menuntut apa yang benar.” Pengalaman pribadi Lily tentang gerakan #Metoo dan Time’s Up tampaknya sebagian besar disorotkan kepada film Baby Driver dengan tuduhan penyeranga­n yang dilakukan terhadap lawan mainnya Kevin Spacey. “Tentu saja, ada saat-saat ketika saya bisa mengerti tentang sikap dan perilaku,” ujarnya. (Ia sebelumnya memberi tahu Bazaar tentang kehadirann­ya di sebuah pertemuan ketika ia menyadari, “Tunggu, ini terasa seperti kencan. Namun saya pikir semuanya berubah. Orang lebih cenderung berbicara dan tahu bahwa mereka akan didengar. ‘Apa yang akan membantu proses ini adalah lebih banyak perempuan dalam posisi yang berkuasa, baik di layar maupun di belakang layar, karena saat ini statistikn­ya menyedihka­n, dengan jumlah lelaki melebihi jumlah perempuan dalam peran akting, dan wanita di atas usia 40 tahun hampir tidak terlihat.’ Ketika Anda melihatnya dalam warna hitam dan putih, Anda tidak akan percaya betapa tidak seimbangny­a hal itu,” kata Lily. Ia berbicara dengan antusias tentang bagaimana ia sangat menikmati bekerja dengan sutradara perempuan muda Nia Dacosta pada film indie Little Woods (Lily memerankan seorang ibu yang putus asa dan tidak punya uang). “Untuk hadiah selesai syuting, kami semua mendapat topi bertuliska­n ‘The Future is Female’. Kami sudah berada di generasi tersebut, Anda tahu?” ia tertawa. Sekarang Lily sendiri ingin bergerak di belakang kamera. “Mungkin saya ditakdirka­n untuk menjadi seorang produser? Produksi terlebih dahulu, dan kemudian jika saya menemukan buku yang tepat, direct. Saya selalu berusaha mencari buku,” ujarnya, mengutip Jean Rhys, Good Morning, Midnight, A Girl is a Half-formed Thing and Francoise Sagan’s Bonjour Tristesse oleh Eimear Mcbride. “Banyak aktor yang merasa, begitu mereka membuat film, itu saja, pekerjaan saya selesai. Tetapi, saya merasa iri dengan sutradara yang melakukan penyunting­an. Ini sangat menyiksa dan saya benar-benar berusaha untuk berkontrib­usi. Saya seorang perfeksion­is sejati, yang mungkin dapat membatasi diri. Namun saya merasa saya cukup baik dalam menyunting.” Sementara itu, ada peran lain yang menunggu. Setelah All About Eve, ia akan mengambil salah satu peran pahlawan wanita fiksi yang paling menarik dan membingung­kan yaitu Mrs. De Winter kedua, dalam film baru Rebecca karya Daphne du Maurier, berlawanan main dengan Armie Hammer sebagai Maxim. “Ini akan sangat sulit, karena begitu banyak hal di kepalanya dan kurangnya harga diri,” lontar Lily. “Bagaimana Anda menerjemah­kannya ke dalam film? Dan hal ini sangatlah kacau. Seorang pria membunuh istrinya karena ia hidup sesuai keinginann­ya, dan Anda seharusnya bersimpati kepadanya? Dalam buku ini, Anda mendapatka­n semua cita rasa tentang kisah feminis dari kedua wanita ini. Hal ini akan menjadi menarik untuk dicoba dan memasukkan semua kekayaan itu ke dalamnya. Saya tidak ingin merasa takut tentang kenyataan yang secara moral, bisa terasa sangat salah.” Rebecca saya anggap sebagai antidote sempurna bagi citra Cinderella milik Lily James: kisah dongeng yang menyeramka­n dan tidak bahagia ini, di mana gadis pelayan yang tidak punya uang itu jatuh cinta pada seorang Prince Charming, yang ternyata adalah Bluebeard. “Senang menceritak­an kisah-kisah dari sisi yang salah,” simpulnya, mengumpulk­an semua barang-barangnya dan berangkat ke sore yang dingin, mencoba yang terbaik untuk terlihat anonim, namun bersinar seperti biasa, dengan anak-anak di meja sebelah yang terpesona, menonton setiap gerakannya.

 ??  ?? Gaun, knitted bra, jumpsuit, DIOR
Gaun, knitted bra, jumpsuit, DIOR
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia