Fashion Tak Kenal Gender
GUSTI ADITYA MENELAAH PENTINGNYA FASHION YANG NETRAL GENDER BAGI PERKEMBANGAN DUNIA YANG LEBIH BAIK.
Di film-film yang berkisah tentang masa depan, sering kali saya hanya melihat keseragaman. Busana protektif menutupi seluruh tubuh dan melekat erat dalam upaya bergerak dinamis. Baik laki-laki dan perempuan hanya mengenakan model yang sama. Tidak ada lagi diversitas dalam berbusana. Apakah fashion kelak akan menuju keseragaman? Namun, apakah kisah futuristis tersebut mampu mencerminkan masa depan mode seutuhnya? Sayangnya di momen tersebut fashion seolah kehilangan napasnya, walaupun itu hanya fiktif belaka. Satu hal yang pasti tergambar betapa fashion tak lagi membeda-bedakan gender (tentu saja karena model busana yang sama melekat di tubuh, hanya berbeda lekukan saja).
Kini, kita telah tiba di tahun 2020. Bagi saya, inilah masa depan. Dunia fashion terasa berbeda sungguh dari satu dekade lalu. Untungnya, fashion masih memiliki rasa yang sama, rasa kreatif dan estetika yang menjadi kebanggaan para pencipta dan pemakainya. Fashion di 2020 masih mampu memberikan ruang bagi setiap individu untuk mengekspresikan identitasnya.
Namun, fashion tetaplah fashion, ia merupakan seperangkat alat sosial yang mampu merefleksikan apa yang tengah terjadi di suatu masyarakat. Misalnya pada era perang tahun ’50-an, fashion busana nampak lebih tangguh serta memperoleh suntikan gaya militer. Begitu pula di era sekarang, fashion tetap merefleksikan gejolak sosial, ia konsisten menyuarakan isuisu sosial. Misalnya isu sustainability dan isu gender neutral. Meski produk sosial, fashion bukan seperti masyarakat yang gemar menghakimi, justru sebaliknya. Ia menjadi sistem pertahanan bagi tiap individu untuk mengukuhkan eksistensinya, walau sejatinya ia menjadi alat bertahan atas lingkungan sekitarnya, seperti cuaca dingin. Fashion juga mampu menjaga personal space seseorang agak tidak dimasuki orang asing, beberapa dari Anda mungkin sangat mengerti tugas fashion di sini. Sebab fashion bisa jadi sangat mengintimidasi hingga orang lain enggan mengusik.
Namun, kali ini saya ingin membahas bagaimana fashion memberikan ruang bagi deskripsi gender yang netral. Karena bagi saya, itu merupakan kontribusi besar bagi perkembangan fashion saat ini. Awalnya muncul dari gerakan kawula muda yang berasal dari generasi milenial dan setelahnya. Jika Anda menyimak, kehadiran generasi muda ini memberikan dampak yang cukup besar bagi dunia. Mereka adalah generasi yang tak sungkan untuk menjadi diri sendiri. Menurut artikel online lansiran
Vice berdasarkan laporan dari survei yang dilakukan trend forecasting agency, J. Walter Thompson Innovation Group, hanya 48 persen dari Generasi Z yang mengidentifikasi dirinya sebagai heteroseksual secara eksklusif. Sisanya sungguh tak ingin dilabeli oleh, “Anda seorang heteroseksual, atau Anda seorang homoseksual.” Generasi ini fleksibel dalam mengidentifikasi seksualitasnya. Makin ke sini, semakin banyak istilah asing tentang seksualitas yang Anda dengar, seperti queer, pansexual, heteroflexible, atau juga non binary gender. Ujungnya, seksualitas tak lagi menjadi penyekat dalam pengkategorian manusia. Mayoritas Generasi Z berpendapat jika gender tak lagi berkontribusi banyak dalam mendefinisikan seseorang seperti masa-masa dahulu.
Fashion pun cepat tanggap menyerap hal ini. Ia memberikan ruang untuk ekspresi-ekspresi demikian sebab generasi muda ini tak berminat dilabeli oleh atribut-atribut tertentu. Spirit kebebasan mendasari pemikiran mereka, termasuk bagaimana cara mereka berpakaian. Industri fashion pun lalu memberikan opsi bagi mereka dalam memilih busana. Banyak label fashion dan perancang mode yang membebaskan kreasinya dari batas gender. Bahkan beberapa label seperti Gucci, Saint Laurent, dan Haider Ackermann menggabungkan koleksi pria dan wanita di satu pergelaran yang sama. Sedangkan Chanel, meski tidak secara formal memiliki koleksi khusus pria, tetapi banyak ambasadornya berasal dari gender pria. Tak hanya mengenakan tas, sepatu, dan aksesori, mereka juga terlihat mengenakan busana dari Chanel, termasuk little black jacket nan legendaris, yang sungguh terlihat versatile dikenakan siapa pun. Sedangkan Gucci di tangan Alessandro Michele selalu mengajak pemirsa mode melirik gaya ekstra eksentrik di koleksi pria dan wanita tanpa mengindahkan aturan gender, acap kali Anda akan melihat styling yang terlihat ‘tertukar’ di dalam koleksinya. Bahkan di beberapa kampanye visualnya, nampak Harry Styles yang tampil meng-embrace sifat feminin dengan baik terlepas dari gender maskulinnya.
Lantas bagaimana pengaruh isu ini di dunia mode dan dunia secara keseluruhan? Saya pikir ini adalah dampak positif, selain memberikan keleluasan dalam menentukan pilihan berbusana tanpa harus didikte oleh konstruksi sosial bernama gender, fashion yang mengusung gender neutral tentu akan menyumbang kebaikan pada isu sustainability. Bayangkan, jika seorang pria tak lagi berpikir panjang untuk meminjam busana dari kekasih wanitanya? Atau wujud nyatanya ketika kalender mode sudah tak lagi terlalu banyak menyita waktu, ketika pekan mode untuk pria dan wanita digabung, seberapa banyak polusi karbon yang terpangkas dalam rangka menghadirinya? Seberapa banyak sketsa yang bisa berkurang? Seberapa banyak busana dan aksesori yang bisa lebih ringkas (karena dapat dikenakan oleh gender mana saja)? Menurut saya, eksistensi gender neutral juga mampu merejuvenasi fashion. Mengembalikan kreativitas yang mulai letih mengikuti cepatnya perubahan atau, serta mengurangi produksi berlebih akibat kategori gender yang menambah kalender pekan mode. Cukup terdengar masuk akal kan?
“BEGITU PULA DI ERA SEKARANG, FASHION TETAP MEREFLEKSIKAN GEJOLAK SOSIAL, IA KONSISTEN MENYUARAKAN ISU-ISU SOSIAL.”