Menguak Arti Selera
DENGAN BANYAKNYA DESAINER YANG BERHASIL MENYULAP ugly fashion MENJADI mode du jour, SAATNYA KITA MENGGALI BAGAIMANA SELERA TERBENTUK. OLEH ALLYSHA NILA
Belum lama ini, saya pergi ke Yogyakarta untuk bekerja. Beberapa teman yang membawa saya keliling kota menceritakan tentang sebuah bangunan hotel ala-ala Yunani yang sangat merusak pemandangan. “That’s just bad taste,” saya ingat berpikir, namun percakapan kami langsung mempertanyakan: “selera buruk bagi siapa? Mungkin di mata mereka, ini justru selera yang baik.” Beberapa gedung tacky kemudian, kami membicarakan tentang @decorhardcore, akun Instagram yang mengurasi berbagai macam interior retro/ vintage, yang jelas-jelas agak norak. Sejak percakapan itu, kami mulai mengamati bangunan yang cocok diunduh akun Décor Hardcore.
Saat sibuk memilah gedung-gedung ‘norak’, salah satu dari kami bertanya, “apakah selera baik suatu hal yang dipelajari, atau sebuah naluri alamiah yang hanya dimiliki beberapa orang? Dan kenapa orangorang tersebut?” Langsung saya jawab: tidak mungkin secara empiris ada orang yang memiliki selera baik, secara alamiah, dari lahir. Gagasan tersebut agak mengganggu saya—seakan-akan orang dengan selera lebih baik spesial. Aneh sekali mental “the chosen one” diterapkan untuk hanya persoalan selera. Maka, apa saja faktor-faktor yang memengaruhi bagaimana selera terbentuk? Bagaimana ia bisa dipelajari? Tentu selera kita terus berubah dengan perkembangan kita secara pribadi. Apakah hal-hal yang Anda sukai sepuluh tahun yang lalu menggambarkan style Anda sekarang?
Apakah lingkaran pergaulan Anda masih sama? Pekerjaan? Sekolah? Keuangan?
Pada saat percakapan di Yogyakarta itu, kami tidak menyadari hal yang sangat jelas menjawab pertanyaan yang pertama: jika kita melihat sebuah akun yang sudah menyeleksi konten, dan kemudian dapat mencari hal yang mirip, artinya selera sangat dapat dibedah. Ada beberapa atribut yang dapat kita tangkap secara visual: misalkan perpaduan warna yang ekstrem, elemen arsitektural yang terlalu beragam, atau proporsi yang kurang pas.
Tentu saja lebih mudah untuk merasakan ketika ada sesuatu yang kurang atau off. Tetapi agak sulit untuk mengartikulasikan bagaimana hal itu terjadi, dan bahkan lebih sulit lagi untuk dapat memahami elemenelemen yang membuat sesuatu bekerja. Tapi itu bisa dilakukan, dan sampai taraf tertentu, orang yang dianggap memiliki selera yang baik cukup mampu menjelaskan mengapa sesuatu itu berhasil. Ini benar-benar pekerjaan penata gaya (saya) dan sayangnya, selera dapat melemahkan kemampuan para stylist untuk berbicara dengan pakaian. Pemahaman tentang sejarah mode, teori warna, proporsi, bahan, wajib pada profesi ini, dan pada akhirnya adalah hal-hal yang sebenarnya dapat Anda pelajari.
Sang bapak critical philosophy, Immanuel Kant, menyangkal adanya standar apa pun atas selera yang baik. Bahkan, ia mengatakan diskusi soal cita rasa tidak akan pernah mencapai suatu universalitas. Toh, apalah selera jika bukan rangkaian preferensi pribadi? Berulang kali kita dengar seni rupa begitu subjektif, dan bahwa kecantikan berada di mata yang melihatnya. Namun begitu banyak penelitian sekarang menunjukkan kebalikannya.
Buku Beauty Sagmeister & Walsh menemukan bahwa kebanyakan orang lebih menyukai lingkaran daripada persegi empat atau segitiga, dan umumnya orang tidak suka warna cokelat klasik. Agensi GFK menjalankan survei di Australia yang menentukan warna yang paling tidak menarik adalah Pantone 448C. Karena hasil survei, warna tersebut sekarang digunakan untuk kemasan rokok dengan tujuan mencegah orang dari merokok.
Selera, lebih dari segalanya, mudah digunakan sebagai penanda keunggulan sosial. Di Roma Kuno, hanya kelas penguasalah yang memiliki akses pada kekayaan, maka mereka yang menentukan apa selera yang baik. Mereka menghindari semua yang mengisyaratkan kelas bawah— itulah sebabnya pria bangsawan mengenakan cincin di setiap jari, dan tidak pernah gelang tangan karena mengingatkan orang pada rantai budak. Gagasan nilai telah berubah secara ekstrem pada ekonomi kapitalis. Barang yang bernilai sangat tinggi bahkan juga
rentan terhadap fluktuasi karena dapat direproduksi dengan mudah dan dalam jumlah besar. Ambil kaus putih sederhana: Anda bisa mendapatkan kemeja Lee Kung Man ikonik (yang selalu dikenakan Bruce Lee) seharga Rp. 80.000, atau kaus katun Mesir yang dirancang oleh Kanye West A.P.C seharga Rp. 1.650.000—maka harga bukan lagi indikator selera yang baik. Namun perubahan nilai tidak mengubah peran selera, seperti yang dibuktikan oleh fashion.
Selera mempertahankan hierarki mode dan segala komponen sosial. Industri fashion membuat sangat jelas siapa “pembuat selera” itu: desainer, selebriti, media, influencer, yang dianggap berada di puncak piramida. Ini ironis, karena banyak inovasi hebat dalam fashion juga datang dari “bawah” rantai makanan: alias ide dan gerakan kelompok berpenghasilan rendah. Secara otomatis, pembicaraan tentang kelas dan hak istimewa diperhatikan, karena sebagian besar waktu demografis ini menimbulkan konsekuensi sosial—sementara para adaptor hanya mendapat manfaat darinya.
Dinamika high and low merupakan fenomena yang baru dan melambangkan masa ketika adanya ketidaksetaraan yang luar biasa. Adaptasi budaya bootleg Gucci melegitimasi semua yang kita lihat di jalanan, sehingga memiliki nilai lebih dari sekadar “tiruan”. Penggunaan barang-barang umum oleh Balenciaga seperti tas belanja Ikea, penggunaan tas anyaman pasar oleh Marni, atau penggunaan spanduk kedai cepat saji oleh Céline mencerminkan ketegangan ini. Sekilas hal ini terlihat kreatif dan menyenangkan—itulah alasan kenapa para sosialita yang biasa membawa tas Birkin juga senang memakai Off-white. Bahkan, kita tak usah lihat jauh-jauh: Jakarta adalah malapetaka perencanaan kota yang benar-benar menyedihkan. Tidak ada yang bisa menentang itu. Berkat ketimpangan yang nyata, orang kaya dan orang miskin benar-benar hidup berdampingan. Itu sendiri membawa masalah dan keajaiban yang tidak masuk akal, namun juga melahirkan budaya receh yang orang Indonesia cintai. Meski secara harfiah hanya berarti sepele, receh memicu industri periklanan dengan beberapa campaign yang paling sukses dan menguangkan. Perusahaan raksasa seperti Gojek, Ramayana, dan Ovo, telah menguangkan miliaran. Penghamburan selera yang digerakkan fashion memang exciting karena memperluas vocabulary cara kita berpakaian. Namun ini gejala dari sesuatu yang lebih buruk dan besar. Jika selera hanya digunakan untuk menggambarkan preferensi seseorang, baiklah. Namun jika dijadikan sebuah alat ukur... simpan elitisme Anda untuk tempat lain. Sayang sekali banyak orang menganggap bahwa memiliki selera tinggi membenarkan perilaku mereka yang holier than thou—memiliki selera tidak membuat Anda menjadi manusia yang superior.