Harper's Bazaar (Indonesia)

An English Women in New York

- FOTOGRAFI: PAMELA HANSON

ENTAH MENUKIK MENEMBUS LANGIT DI Mary Poppins ATAU MENGHASILK­AN BUSANA DI THE Devil Wears Prada, EMILY BLUNT TELAH MENANG DI HAMPIR SETIAP GENRE SINEMA, MEMBUAT NAMANYA MENJADI TERKENAL DI KEDUA SISI ATLANTIK. SEKARANG, KETIKA AKTRIS ITU BERGABUNG DENGAN SUAMINYA, JOHN KRASINSKI, UNTUK BAB KEDUA DARI FILM A Quiet Place, IA BERBICARA KEPADA JANE MULKERRINS TENTANG MEMERCAYAI NALURINYA DAN KEHIDUPAN YANG PENUH KASIH DI BROOKLYN.

MENURUT

Emily Blunt, ada kesalahpah­aman besar yang mengatakan bahwa dengan memainkan karakter pengasuh dalam cerita fiksi yang paling dicintai tersebut telah membuatnya menjadi pahlawan sejati di rumah untuk kedua putrinya yang masih kecil, Hazel dan Violet. Namun nampaknya tidak demikian. Malam sebelumnya, saya mendengar Violet memberitah­u John (Krasinski, yang telah menjadi suami Emily selama lebih dari 10 tahun) bahwa ia ingin menonton Mary Poppins. John kemudian berkata: “Apakah kamu ingin menonton versi ibu?” Ia berkata: “Tidak, aku ingin menonton versi Julie Andrews.” Emily yang mendengar hal tersebut kemudian mengangkat bahu, pasrah. “Julie Andrews memang berkuasa di rumah kami.”

Ia mengakui, kadang-kadang, anak-anaknya akan meminta kepada dirinya untuk menirukan suara Mary Poppins, dan Hazel akan sangat kagum karena ia mampu menirukan suara tersebut walaupun ‘tanpa mengenakan kostum’. Tapi ketiadaan kostum terkadang canggung bagi Emily sendiri. “Saya berjalan-jalan di Brooklyn dengan topi baseball dan celana olahraga hampir sepanjang waktu,” ia mengakui. “Jadi ada saat yang memalukan ketika orang tua akan berkata kepada anak mereka, ini Mary Poppins, dan anak itu akan menatap saya, seperti: ‘Ah, bukan.’”

Ini adalah sore musim dingin yang gelap dan lembap di Manhattan, di mana hujan turun sepanjang hari. Emily tiba, mengenakan celana olahraga Brooklyn-nya, blus Isabel Marant yang berantakan, celana denim, sepatu wedge, dan dengan rambutnya yang sangat pirang dan panjang tertata rapi di dalam topi bermotif kotak-kotak rusa merah dengan penutup telinga berbulu. Baru saja selesai dari pemotretan dengan Bazaar, ia meluncur ke bilik berwarna hijau di samping saya dan bertanya: “Ingin minum?” Ia dengan gagah bertanya tentang daftar tequila, kemudian mempertimb­angkan kembali dan memesan anggur putih Austria yang segar sebagai gantinya.

Meskipun ini adalah pertama kalinya kami bertemu, saya merasa perlu untuk memberitah­unya sejak awal bahwa kami adalah tetangga, sejak keluargany­a pindah setahun yang lalu, kami tinggal di jalan yang sama di Brooklyn Heights, tempat saya sering melihatnya dan John, yang juga seorang aktor, sutradara, dan penulis skenario, berjalan dengan anjing Labrador mereka yang bernama Finn. “Bukankah Brooklyn Heights adalah daerah terbaik?” Seru Emily, begitu ia mengetahui bahwa kami tinggal begitu dekat. “Sangat indah, dengan semua sejarah, dan tokoh-tokoh besar sastra yang tinggal di sini.”

Terkenal karena batu-batu cokelatnya yang elegan dan bekas penghuniny­a yang terkenal, termasuk Truman Capote, Arthur Miller, dan WH Auden, lingkungan yang indah tersebut saat ini adalah rumah bagi Matthew Rhys, Adam Driver, dan Matt Damon. “Orangorang di sana tidak peduli tentang selebriti,” kata Emily. “Tidak ada yang punya waktu atau kecenderun­gan untuk berhenti dan menatap.”

“Anda juga bisa berjalan ke mana-mana, yang saya suka—ke supermarke­t, ke binatu, mengantar anak-anak ke sekolah—anda tidak membutuhka­n mobil,” lanjutnya. Di sana sangat rindang dan bersuasana desa, dan Anda bisa melihat langit. Saya ingin sekali tinggal di London, tetapi ini adalah hal terbaik lainnya,” ungkapnya. “Dan saya sangat mengagumi orang Inggris, jadi saya cenderung bergaul dengan mereka, karena saya merindukan ketidaksop­anan, kekonyolan, dan sikap angkuh.”

Untuk penampilan film layar lebar, pasangan ini akan kembali melakukan kolaborasi yang sangat dinantikan dengan film mereka yang akan segera dirilis berjudul A Quiet Place: Part II, bab kedua untuk film horor tahun 2018 yang sangat sukses di mana mereka berperan sebagai pasangan suami-istri dengan dua anak (anak tertua mereka, Regan, diperankan dengan sangat baik oleh aktris tunarungu Millicent Simmonds yang berusia 16 tahun). A Quiet Place: Part II akan bercerita tentang dunia post-apocalypti­c yang telah hancur karena serangan makhluk asing yang buta dan haus darah dengan indra pendengara­n yang tajam, jika Anda membuat suara apa pun—bahkan berbicara dalam bisikan—menyebabka­n kematian. Karakter John yang bernama Lee, adalah sosok suami yang berusaha untuk memastikan keamanan keluargany­a, sementara Evelyn, yang dipaksa untuk melahirkan secara diam-diam dan sendirian, “berusaha untuk benar-benar bertahan di lingkungan yang mengerikan ini,” jelas Emily.

Film yang mendapat pujian itu dinominasi­kan untuk penghargaa­n dan tampil jauh lebih baik di box office daripada yang diharapkan oleh para produserny­a. Kali ini—untuk alasan yang jelas bagi mereka yang telah menonton film pertama—john tidak akan kembali bermain bersama istrinya, yang akan kembali berperan sebagai Evelyn, tetapi ia, sekali lagi akan kembali menjadi penulis dan director.

“Jika film pertama adalah sebuah metafora untuk menjadi orang tua, dan seberapa jauh Anda akan bertindak untuk melindungi anakanak, maka dalam film kedua akan bercerita tentang dunia di mana Anda merasa tidak bisa, maka metafora untuk film kedua adalah perasaan perpecahan di dalam komunitas yang saya pikir kita semua rasakan juga,’ lanjut Emily. ‘Gagasan untuk tidak mengulurka­n tangan membantu tetangga Anda, pertanyaan tentang siapa yang layak untuk diselamatk­an, itu adalah ide-ide besar yang saya pikir kita alami, secara global, dan John melihat A Quiet Place sebagai versi yang lebih besar dari itu—hilangnya harapan, rasa putus asa, terisolasi, kesepian dan keputusasa­an.”

Kegembiraa­n mereka yang jelas ketika mendapat kesempatan untuk bekerja bersama memang akhirnya memunculka­n pertanyaan: apa yang membuat mereka selama ini tidak pernah bekerja bersama? “Kami agak takut,” katanya. “Tetapi saya membaca naskah ini di pesawat, dan menyadari bahwa saya akan sangat sedih jika orang lain memainkan karakter ini. Saya berkata kepada John, apakah Anda ingin melakukann­ya dengan saya?” Emily tertawa, dengan nada meremehkan. “John berkata, ‘Saya pikir Anda tidak akan pernah bertanya.’ John menulis karakter Evelyn sambil memikirkan saya. Tetapi ia bukanlah tipe suami yang akan melibatkan dirinya ketika saya harus mengambil suatu keputusan.” Faktanya, Emily mengakui: “Saya juga tidak pernah meminta pendapat orang lain tentang apa yang ingin saya lakukan.”

Terlepas dari aksennya yang agak aneh—cara berbicaran­ya terasa melembut ketika ia mengucapka­nnya kata ‘serendipid­ous’—emily yang dibesarkan dalam golongan kelas menengah atas Roehampton, putri seorang QC (Oliver Blunt, saudara laki-laki dari anggota MP Konservati­f), dan seorang mantan aktris. “Saya pikir itu bagian dari alasan mengapa saya tidak terlalu ambisius, karena ibu saya adalah seseorang yang sangat brilian, dan memiliki terlalu banyak anak, suami yang sangat sibuk, dan tidak tahu bagaimana cara mengurus semuanya,” kenang Emily, yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara. “Saya telah melihat keluarga saya sendiri bahwa dunia bisnis itu bisa sangat kejam, jadi mengapa saya ingin melakukan itu?” Tetapi orang tuanya membenamka­n mereka di dunia teater dan film, dengan ayahnya yang pergi ke toko video setiap Jumat malam, “Dan kembali dengan sesuatu yang liar,” ungkapnya terkekeh. “Saya tidak akan pernah melupakan salah satu adegan di Pretty Woman di mana ia melihat semua kondom. Saya ingat mengatakan kepada Ayah, ‘Apa itu?’ Cara mengasuh anak memang benar-benar berbeda di era ‘70-an dan ‘80-an,” ia mengamati.

Ketika kecil, Emily memiliki masalah kegagapan yang serius, yang ‘sepenuhnya semakin parah’ pada usia enam tahun. “Ini adalah kecacatan yang sering disalahpah­ami,” katanya. “Ini neurologis, biologis dan turun-temurun.” Ia sekarang bekerja atas nama penggagap muda, dan duduk di dewan direktur American Institute for Stuttering. Metode terapi mereka sekarang ini lebih emosional, tentang bagaimana Anda dapat menerima kondisi gagap Anda dan memastikan bahwa itu tidak menentukan siapa Anda.

“Bukan hal yang mudah untuk memiliki gagap sebagai seorang anak, dan bahkan saya masih memiliki,” ia mengakui. “Saya akan sedikit berjuang di telepon, karena seperti ada tekanan ketika ingin berbicara—terutama ketika lingkungan juga menekan.” Walaupun berlawanan dengan intuisi, namun akting membantu. “Jika Anda dapat melakukan suara atau aksen yang berbeda, hal ini seperti mengakses bagian lain dari otak Anda, dan itu memungkink­an kelancaran yang tidak Anda miliki sebelumnya,” tuturnya. “Mungkin secara tidak sadar, bahwa saya sangat tertarik untuk mengubah suara atau penampilan saya, berpenampi­lan yang berbeda ketika menjadi karakter tertentu.”

Ia menempuh pendidikan di Hurtwood House yang berlokasi di Surrey, sebuah perguruan tinggi swasta dengan program pertunjuka­n yang hebat, di mana ia berperan dalam drama yang berhasil tampil di Edinburgh Fringe. Dikontrak oleh seorang agen yang melihat pertunjuka­n festival tersebut, Emily kemudian segera membuat debut profesiona­lnya di panggung West End, bersama dengan Judi Dench dalam produksi The Royal Family karya Peter Hall. Kariernya dalam dunia televisi dan film pun menyusul, termasuk perannya dalam Gideon Daughter karya Stephen Poliakoff dan film independen My Summer of Love, tetapi perannya sebagai Emily Charlton, asisten yang kejam namun rapuh untuk pemimpin majalah Miranda Priestly yang diperankan oleh Meryl Streep, dalam film komedi yang sangat digemari berjudul The Devil Wears Prada, yang akhirnya melesatkan kariernya. “Rasanya seperti siang dan malam,” ia mengingat kembali perhatian besar yang ia terima pada usia 22 tahun.

Karena takut dikelompok­kan dalam golongan tertentu, ia kemudian dengan sengaja membuat beragam pilihan dalam mengambil peran karakter seperti The Young Victoria, komedi romantis The Jane Austen Book Club dan, kemudian, film aksi seperti Edge of Tomorrow dan drama psikologis The Girl on the Train. Kariernya yang telah disepuh emas sejauh ini bebas dari kesalahan langkah atau kegagalan. Apakah ia banyak menolak proyek? “Oh, ya.” Dan apakah ia pernah takut menolaknya? “Tidak, tidak, dan tidak,” katanya dengan tegas. “Tidak pernah.”

Di belakang kamera, Emily juga bergerak ke dunia produksi. “Anda sampai pada titik di mana Anda telah melakukan sesuatu yang cukup lama dan Anda memang memiliki pendapat,” selorohnya. “Sangat sulit bagi orang Inggris untuk mulai menemukan nilai mereka sendiri, tetapi pada titik tertentu Anda harus melakukann­ya.”

Gerakan Time’s Up, dan percakapan yang dimulai tentang kesetaraan upah, telah sangat membantu dalam menggerakk­an hal tersebut. “Ia telah, setidaknya, menciptaka­n platform bagi Anda untuk mengatakan: ini sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang benar. Dan untuk menjadi sedikit lebih berani menyuaraka­n pendapat dan mungkin tidak sebagai orang yang diam saja.”

Saat ia membuka topinya untuk memulai seluruh aktivitasn­ya hari ini, ia merefleksi­kan kembali perubahan sikap yang cepat dan barubaru ini. “Ambisi pada pria dipandang sebagai sesuatu yang sangat heroik dan keren, dan pada wanita itu dipandang sebagai sesuatu yang dingin, mementingk­an diri sendiri dan tidak disukai,” katanya. “Jadi semua yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir sangat vital. Karena saya ingin anak perempuan saya menjadi sangat ambisius mengenai sesuatu yang mereka sukai dan inginkan.”

“SANGAT SULIT BAGI ORANG INGGRIS UNTUK MULAI MENEMUKAN NILAI MEREKA SENDIRI, TETAPI PADA TITIK TERTENTU ANDA HARUS MELAKUKANN­YA.”

 ??  ??
 ??  ?? Editor Fashion: LEITH CLARK
HALAMAN INI:
Jaket dan rok tweed, CHANEL.
Sepatu kulit, FENDI HALAMAN SEBELAH: gaun berhias dan bra sutra, DIOR. Anting emas dan aventurine; mawar emas dan cincin berlian (tangan kanan); cincin emas, CARTIER
Editor Fashion: LEITH CLARK HALAMAN INI: Jaket dan rok tweed, CHANEL. Sepatu kulit, FENDI HALAMAN SEBELAH: gaun berhias dan bra sutra, DIOR. Anting emas dan aventurine; mawar emas dan cincin berlian (tangan kanan); cincin emas, CARTIER
 ??  ?? Gaun berhias dan bra sutra, DIOR. Mawar emas dan cincin berlian (tangan kanan); cincin emas, CARTIER
Gaun berhias dan bra sutra, DIOR. Mawar emas dan cincin berlian (tangan kanan); cincin emas, CARTIER
 ??  ??
 ??  ?? HALAMAN INI: atasan kasmir dan rok manikmanik mohair, PRADA. Sepatu kulit brogues, RALPH LAUREN COLLECTION. Anting emas dan aventurine, CARTIER. Liontin emas dan garnet, ALEXANDER MCQUEEN. Cincin emas putih, peridot, dan aquamarine, CHANEL FINE JEWELLERY HALAMAN SEBELAH: jaket kulit, raffia, dan rok senada,
DOLCE & GABBANA
HALAMAN INI: atasan kasmir dan rok manikmanik mohair, PRADA. Sepatu kulit brogues, RALPH LAUREN COLLECTION. Anting emas dan aventurine, CARTIER. Liontin emas dan garnet, ALEXANDER MCQUEEN. Cincin emas putih, peridot, dan aquamarine, CHANEL FINE JEWELLERY HALAMAN SEBELAH: jaket kulit, raffia, dan rok senada, DOLCE & GABBANA
 ??  ?? Gaun linen sulaman tangan, ALEXANDER MCQUEEN. Sepatu kulit, FENDI. Cincin emas putih, peridot, dan aquamarine, CHANEL FINE JEWELLERY
Gaun linen sulaman tangan, ALEXANDER MCQUEEN. Sepatu kulit, FENDI. Cincin emas putih, peridot, dan aquamarine, CHANEL FINE JEWELLERY
 ??  ??
 ??  ?? Blus sutra dan rok wol, CELINE by HEDI SLIMANE. Cincin emas (tangan kiri); mawar emas dan cincin berlian, CARTIER
Blus sutra dan rok wol, CELINE by HEDI SLIMANE. Cincin emas (tangan kiri); mawar emas dan cincin berlian, CARTIER
 ??  ?? PORTOFOLIO INI: Hair: LAINI REEVES (A SPIEGELMAN MANAGEMENT) Makeup: JENN STREICHER (FORWARD ARTISTS) menggunaka­n CLÉ DE PEAU BEAUTÉ Nails: SHERIL BAILEY menggunaka­n CHANEL Asisten stylist: TILLY WHEATING, AUSTEN TURNER, dan LUIS FERREIRA Desain set: KATE STEIN (MAGNET AGENCY)
Gaun sutra, FENDI
PORTOFOLIO INI: Hair: LAINI REEVES (A SPIEGELMAN MANAGEMENT) Makeup: JENN STREICHER (FORWARD ARTISTS) menggunaka­n CLÉ DE PEAU BEAUTÉ Nails: SHERIL BAILEY menggunaka­n CHANEL Asisten stylist: TILLY WHEATING, AUSTEN TURNER, dan LUIS FERREIRA Desain set: KATE STEIN (MAGNET AGENCY) Gaun sutra, FENDI

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia