Perempuan Bersatu Tak Bisa Dikalahkan
KARTIKA JAHJA BICARA Women’s March, GERAKAN LAINNYA, DAN BAGAIMANA KITA SEMUA BISA MENGAMBIL BAGIAN DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER.
Mengenang Women’s March terakhir saya bersama Margaret Rose Agusta, perempuan yang bagi saya adalah seorang mentor, sahabat, sosok ibu, dan feminis panutan. Maggie tutup usia awal tahun 2019 lalu, di usia 69 tahun. Kami mengantarkannya hingga ke tempat peristirahatan terakhir dengan membawa foto Maggie yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah kerumunan aksi Women’s March. Di foto itu ia memegang sebuah poster dengan tulisan, “A Woman’s Place Is In The Resistance”. Itulah Maggie, yang meskipun sudah tidak kuat berdiri lama dan berjalan jauh (ia menghadiri aksi Women’s March terakhirnya dengan kursi roda), Maggie tetap turun mendukung berbagai aksi-aksi untuk kesetaraan gender, hak-hak perempuan, dan minoritas seksual.
Masifnya aksi Women’s March pertama di Washington DC tahun 2017 lalu membuat gerakan ini menjadi begitu ikonis. Dihadiri tiga juta orang di seluruh Amerika Serikat, tentu saja ia mencuri perhatian dunia. Women’s March kemudian diadopsi oleh banyak negara lainnya, termasuk Indonesia, yang juga membuat aksi dengan nama yang sama dan agenda, objektif, dan karakter yang disesuaikan dengan konteks sosial dan politik negara tersebut. Namun satu hal yang menarik dari Women’s March, gerakan global ini mampu meraih keterlibatan demografi yang selama ini sangat jarang ikut terlibat dalam aksi maupun gerakan, yakni perempuan muda kelas menengah ke atas. Dugaan saya, karena banyaknya liputan media tentang Women’s March pertama di Amerika Serikat yang menggambarkan sebuah aksi yang terasa segar, kreatif, bahkan menyenangkan. Keterlibatan beberapa figur publik yang selama ini tidak dikenal sebagai feminis garis keras, mungkin juga jadi faktor daya tarik bagi mereka yang tergerak untuk menciptakan perubahan, tapi mempertanyakan apakah dirinya sudah cukup feminis untuk bergabung. Seketika, aksi protes terlihat seperti sesuatu yang tidak lagi mengintimidasi bagi demografi ini.
Tapi sebenarnya, beralasankah ketakutan kita untuk ikut masuk barisan dalam gerakan perempuan? Tidakkah kata “lawan” terdengar terlalu keras? Apa tidak ada cara lain selain turun ke jalan? Saya pribadi percaya, bahwa kita bisa ada di sini hari ini karena ada perempuan-perempuan sebelum kita yang pada masanya melawan norma-norma yang membatasi dan mendiskriminasi perempuan. Tanpa perlawanan mereka, kita bahkan tak punya hak-hak yang kita anggap sepele seperti hak untuk memilih dalam pemilu, mendapat akses pendidikan, bekerja dengan hak cuti hamil pula, atau bahkan membuka rekening bank sendiri. Saya ingin jadi perempuan itu untuk generasi penerus saya. Sebab, meskipun pencapaian-pencapaian kita sudah begitu luar biasa, tapi PR kita masih sangat banyak. Perempuan masih berada dalam posisi rentan mengalami berbagai penindasan, diskriminasi, pemiskinan, dan kekerasan. Setiap hari di sekeliling kita terjadi pelecehan dan kekerasan seksual, kekerasan dalam hubungan, perdagangan manusia, pernikahan anak, dan banyak lagi. Anda harus hidup di atas menara gading untuk tidak menyadari persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan di negara ini setiap hari, dan karena itu saya merasa mengambil peran aktif dalam menghapuskan ketidakadilan ini menjadi tugas kita bersama.
Kendati menjadi tonggak bersejarah, gerakan perempuan secara global tentu saja sudah dimulai jauh sebelum aksi Women’s March. Di Indonesia misalnya, hari yang selama ini kita kenal sebagai
Hari Ibu tanggal 22 Desember, sebenarnya menandai Kongres Perempuan Indonesia yang pertama tahun 1928. Penggagasnya, seorang perempuan lajang berusia 21 tahun bernama Soejatin (how badass is she!). Enam ratus tokoh perempuan berkumpul di kongres ini membahas wacana perkawinan anak, pendidikan bagi perempuan, poligami, hingga tunjangan untuk janda dan anak yatim. Di luar institusiinstitusi formal pun, tak terhitung perempuan yang membuat perlawananperlawanan kecil yang berdampak besar. Kartini misalnya, dengan pemikirannya yang sangat maju, mengkritisi tradisi yang membelenggu perempuan. Sebagai seorang dengan privilese kelas dan ekonomi, ia justru menggunakan platform yang ia miliki untuk menantang tradisi feodal yang menciptakan berbagai disparitas. Sungguh disayangkan hari ini kita merayakan Hari Kartini lebih secara simbolis dengan lomba kebaya dan parade baju adat, hingga justru mengesampingkan pemikirannya. Buku-buku kumpulan surat Kartini yang begitu progresif seharusnya jadi bacaan wajib murid sekolah, tapi pada kenyataannya bahkan kebanyakan toko buku di Indonesia tidak menjualnya.
Minimnya literatur tentang gerakan kesetaraan gender dari negaranegara berkembang, apalagi di masa pra-internet, membuat kita lebih banyak menilik referensi dari Barat saat mencari informasi tentang kesetaraan gender. Saya sendiri mengenal feminisme dari sebuah gerakan perempuan dalam scene punk di Amerika Serikat tahun ‘90an yang bernama Riot Grrrl. Sebagai perempuan yang suka nge-band di scene yang mayoritas laki-laki dengan kultur yang kental dengan objektifikasi perempuan, saya merasa Riot Grrrl mewakili keresahan saya saat itu. Sebagai musisi, mereka menginspirasi saya untuk mewujudkan kesetaraan dan rasa aman bagi perempuan di lingkaran terdekat saya saat itu, scene musik independen. Saya menyelipkan semangat itu melalui karya-karya saya di kemudian hari. Baik Kartini, Riot Grrrl, hingga Malala Yousafzai yang memperjuangkan hak akses pendidikan bagi anak perempuan Pakistan di bawah okupasi Taliban, semua mempunyai kesamaan. Mereka mencoba membuat perubahan dalam komunitasnya terlebih dahulu. Jadi, untuk menjawab pertanyaan yang tadi dilontarkan “Apakah tidak