Harper's Bazaar (Indonesia)

Lahirnya Sang Aktor Segala Film

DI EDISI FILM KALI INI, DIAN SASTRO MENGGALI PENGERTIAN DARI SOSOK LUKMAN SARDI YANG DISEBUT SEBAGAI LAMBANG KEAKTORAN INDONESIA MENGENAI PERKEMBANG­AN PERFILMAN NEGERI INI. OLEH SABRINA SULAIMAN

- FOTOGRAFI OLEH HADI CAHYONO

Rasa cinta seorang aktor dapat diutarakan melalui banyak hal. Lukman Sardi menganggap dirinya beruntung. Butuh waktu untuk ia menyadari bahwa seni peran adalah bagian dari hidupnya yang sudah mendarah daging. Rasa tersebut tidak serta-merta diperoleh dalam satu malam. Pada kesempatan ini, kedua aktor yang sudah pernah berbagi panggung tersebut meluangkan waktunya untuk bertukar pikiran tentang perkembang­an hingga harapan untuk industri film Indonesia.

HARPER’S BAZAAR (HB): KAPAN KALI PERTAMA KALIAN BERTEMU? DIAN SASTRO (DS): Kapan ya?

LUKMAN SARDI (LS): Kalau saya ingatnya waktu itu Dian baru pulang sekolah dan saya sedang menjemput Mita di rumah dia. Kita juga tidak pernah ngobrol sampai akhirnya Dian main film.

DS: Kalau mas Lukman mulai main film dari kecil kan?

LS: Dulu sekali mulai di umur tujuh tahun. Enam tahun malah! Lalu berhenti lama dan kembali lagi di tahun 2004.

DS: Itu berarti eranya siapa?

LS: Kalau sutradara lagi zamannya Wim Umboh, Sjuman Djaya, Teguh Karya. Teman-teman ayah saya. Hingga akhirnya saya berakting pertama kali di filmnya Wim Umboh. Saat itu beliau sedang membutuhka­n pemain anak laki-laki untuk menjadi anaknya Cok Simbara di film Kembang-kembang Plastik. Lalu lanjut hingga delapan film dan berhenti saat SMA.

DS: Film Indonesia juga sudah mulai redup saat itu.

LS: Film yang diproduksi saat itu juga tidak ada yang untuk peran anakanak. Setelah puluhan tahun akhirnya saya main lagi di film Gie.

DS: Cerita dong, apa yang berbeda ketika kembali ke dunia film yang sedang bangkit kembali? Apa yang beda dari kedua zaman itu?

LS: Sebenarnya saya tidak pernah kepikiran untuk kembali ke film. Karena saat itu saya sedang bekerja di Cikal sebagai manajemen dan guru. Selang satu tahun, saya mendapatka­n tawaran untuk casting di film Gie. Akhirnya saya berkunjung ke tempat Mira Lesmana.

Di sana saya diminta untuk membaca bukunya terlebih dahulu. Film Gie itu merupakan kedua kali saya bekerja dengannya. Sinetron

Enam Langkah di tahun 1994 adalah yang pertama. Akhirnya saya berperan sebagai Herman Lantang di Gie. Di momen ketika saya sedang berbicara dengan Mira, Riri Riza, dan Yuri Datau, saya sadar bahwa secara tidak langsung Mira sudah menarik saya kembali ke passion saya.

DS: Seperti perkataan kalau jodoh tidak akan ke mana, ya?

LS: Betul. Itu dan juga pertaruhan. Setelah mengundurk­an diri dari Cikal, saya memutuskan untuk fokus di film. Setelah Gie, saya ikut dalam filmnya Rudi Soedjarwo yang berjudul 9 Naga. Nah, dari situ saya tidak berhenti. Berlanjut ke Berbagi Suami, Jakarta Undercover, Nagabonar Jadi 2, dan seterusnya.

DS: Hingga akhirnya ada sebutan khusus untuk Lukman, yaitu aktor segala film. Istilah tadi menjadikan dia sebagai lambang perfilman Indonesia, sebagai lambang keaktoran.

LS: Makanya saya selalu bilang I’m a lucky bastard. Why? Setelah lama tidak main film, saya kembali dalam film Gie, di mana orangorang di balik layarnya adalah mereka yang membangkit­kan film Indonesia. Berlanjut ke karakter yang berbeda sekali di 9 Naga, seorang pembunuh bayaran yang deep banget, lalu menjadi pria beristri empat di Berbagi Suami. Ketiga film tadi membentuk karakter kuat dalam diri saya. Gie memberikan saya pelajaran yang benar mengenai reading, workshop, riset, dan observasi. Saya berperan sebagai Herman Lantang, seseorang yang masih hidup, sahabatnya Gie. Mau atau tidak, saya harus observasi dia, ngobrol sama dia, sehingga menjadi kebiasaan.

DS: Perbedaan apa yang jelas Anda rasakan, dulu dan sekarang? LS: Dulu, sutradara tidak ada monitornya. Mereka sangat memercayak­an sang Director of Photograph­y (DP). Viewfinder juga dulu hanya hitam putih. Lalu, dubbing. Kalau dulu, dari awal hingga akhir film pasti menggunaka­n dubbing, karena tidak ada direct sound. Sekitar satu bulan saat selesai syuting, akan ada panggilan untuk dubbing. Proses ini dilakukan di studio seperti PFN (Produksi Film Negara) yang menggunaka­n layar besar.

DS: Kita sama-sama memiliki segudang kesibukan, bagaimana Anda menggambar­kan hubungan kita sebagai aktor profesiona­l? LS: Melihat dari karier, Anda itu berjalan dengan proses yang luar biasa. Pernah berhenti, dan kembali dengan komitmen yang solid. Apalagi sekarang berperan sebagai produser, berarti ada niat untuk untuk mempelajar­i segala hal tentang film. Saya yakin ini bukan titik terakhir Anda belajar dan berkarya di film, akan ada terus.

DS: Nah, sekarang gantian. Saya melihat mas Lukman itu sebagai family-friend yang selalu ada setiap Lebaran. Kita mulai punya hubungan profesiona­l saat kerja di film 7/24. Bahkan sebelumnya sudah pernah main di teater 9 dari Nadira karyanya Leila Chudori. Film 7/24, itu adalah film digital pertama saya setelah hiatus enam tahun. Sempat merasa itu titik saya udahan. Sebelum 7/24, saya tidak pernah berpikir untuk kembali lagi. Setelah syuting yang hanya dua minggu di studio, saya akhirnya melihat perubahan industri ini. So, thanks to you, karena jika saya tidak main di 7/24, kemungkina­n saya belum kembali lagi di dunia perfilman.

DS: Mas Lukman kenapa memilih seni peran?

LS: Seperti yang saya bilang tadi, passion saya itu di sini.

DS: Apa yang ditemukan di film sehingga akhirnya membuat Anda tidak bisa lepas?

LS: Saya menikmati prosesnya. Mulai dari riset, explore, hingga ketemu banyak orang. Saya menyebutny­a dengan nafkah batin. Saya bisa mendapatka­n banyak hal hanya dengan duduk di lokasi syuting dan mengamati orang. Makanya ada satu titik di mana saya merasa, kalau saya berhenti di dunia film, itu sama saja seperti saya berhenti bernapas.

DS: Kenapa seni itu penting untuk orang banyak?

LS: Susah mendeskrip­sikannya karena itu hal yang abstrak. Menurut saya, seni itu membuat jiwa saya utuh. It feels your heart and soul. DS: Menurut Anda, apa arti aktor?

LS: Life. Kehidupan untuk saya. Menjadi seorang aktor adalah eksplorasi yang tidak ada habisnya.

DS: Apa artinya piala untuk Anda?

LS: Piala itu bonus. Bukan berarti tidak penting. Piala adalah sebuah motivasi untuk menjadi lebih baik lagi, bukan tujuan akhir. DS: Bagaimana cara Anda menetralis­ir diri? Pernahkah kehilangan Lukman Sardi-nya?

LS: Pernah di beberapa film. Sekarang terbantu dengan hadirnya anak-anak. Momen bertemu mereka itu bisa melunturka­n peran mana pun secara perlahan.

DS: Apakah masih ada peran yang ingin Anda mainkan dan belum kesampaian?

LS: Ada, tapi sudah dalam proses.

DS: Apa harapan untuk film Indonesia dan generasi muda yang tertarik dengan seni peran?

LS: Menurut saya, mereka adalah orang-orang yang tidak seharusnya banyak mengeluh. Semuanya kini sudah serba mudah. Ini adalah momen mereka untuk berkembang tanpa batas. Hanya kemauan dan mental yang diperlukan untuk maju. Untuk para generasi muda, pekerjaan seorang aktor itu lebih dari akting. Aktor patut memiliki wawasan yang luas, empati, kemauan beradaptas­i, mau berkembang, jangan cepat puas, dan yang terpenting adalah jaga sikap.

PORTOFOLIO INI:

Keseluruha­n busana, LOUIS VUITTON Pengarah gaya: ASTRID BESTARI Makeup: ANGELIKA SAMARA, Hair: DESY UNTADI Retoucher: RAGAMANYU HERLAMBANG

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia