Mosaik Dunia Perfilman Indonesia
REZA RAHADIAN BERBINCANG BERSAMA EMPAT SOSOK MENGENAI PERKEMBANGAN PERFILMAN TANAH AIR.
Film Indonesia dapat diibaratkan seperti halnya mosaik, dalam hal ini merupakan kepingan minat para penontonnya, kepingan kisah-kisah yang ada di tengah masyarakat, serta kepingan kreativitas para pelaku seni dalam berkarya. Dari exhibitor (pengusaha bioskop), kemudian produser yang merangkai sebuah tim untuk mengeksekusi sebuah karya serta elemen pendukung yang melibatkan sutradara, penulis skenario, aktor, serta mereka yang bergerak pada departemen teknis. Kemudian, bagaimana sejauh ini membaca peta penonton film nasional? Siapa mereka? Bagaimana pola menonton film Indonesia? Dan juga di mana keberadaan mereka? Mengapa masih ada yang menganggap film Indonesia bukan tontonan menarik? Tema yang hadir di bioskop Indonesia bersifat majemuk, begitu pun negara kita. Keberagaman inilah yang membuat tahun 2019 menjadi tahun yang sangat menyejukkan. Pencapaian penonton serta kualitas film yang semakin baik. Membuat saya percaya bahwa jika iklim ini dijaga bersama dengan baik, maka sebagai sebuah mosaik ia akan tampil memuaskan mata serta hati para penikmatnya. Perjalanan saya untuk mengupas kemajuan perfilman
Indonesia dimulai berikut ini.
YANDY LAURENS, SUTRADARA DAN PENULIS
REZA RAHADIAN (RR): Pencapaian Keluarga Cemara untuk industri ini dapat menjadi barometer baru. Saya sempat ngobrol dengan salah seorang exhibitor yang bilang bahwa Keluarga Cemara membawa harapan baru bagi sinema Indonesia, berhasil membuat film bertema keluarga jadi menarik lagi, bukan melulu tema remaja, percintaan. Seberapa penting tema ini untuk Yandy?
YANDY LAURENS (YL): Saya merasa memiliki kombinasi yang cocok dengan Mbak Gina (S. Noer) karena ia punya visi untuk mengedukasi lewat film. Sementara saya merasa tidak cukup kuat untuk melihat kebutuhan sosial itu. Ketika bikin film, saya hanya punya cerita-cerita keluarga. Dari kecil di Makassar yang rasis terhadap kaum China, kami terus terisolasi, sampai kuliah di IKJ dulu juga minoritas, jadi hanya punya keluarga untuk diceritakan. Jadi kalau ditanya seberapa penting, ya hanya itu yang bisa saya ceritakan, di area tentang relations.
RR: Seperti apa Yandy melihat film Indonesia? Sudah cukup beragamkah?
YL: Masih bisa lebih banyak lagi, tapi sedang bertumbuh ke sana. Saya pikir gagasan awal Keluarga Cemara dibuat, saya yakin kalau dorongan utamanya bisnis semata kemungkinan besar film itu tidak akan dibuat. Keluarga Cemara lahir sesederhana Angga, Anggia, dan Gina ngobrol. Dari keinginan untuk bercerita, berani mengambil sesuatu yang saat itu belum ramai. Saya pikir di Indonesia cukup banyak filmmaker yang bikin film karena mau sesuatu, tapi ada juga yang bikin film supaya laku, saya pikir dua-duanya penting buat ada, sebagai roda keseimbangan.
RR: Apa yang kurang dari film Indonesia? Karena ini menyangkut tentang tema diversity. Saya ingin berbicara bahwa film Indonesia itu
seperti mosaik. Kadang ada yang bilang film Indonesia kekurangan penulis, aktor, sutradara. Mau bikin produksi saja terkadang bingung.
YL: Saya setuju, menurut saya yang kurang talenta. Kalau kita dengar, kan exhibitor mulai membuka banyak cabang, tapi pendidikan tidak demikian.
RR: Siapa yang harus paling bergerak dalam hal ini?
YL: Ini seperti ekosistem benang kusut yang sama-sama harus diperbaiki. Pemerintah dan orang perfilman, tidak hanya produser tapi juga sutradara. Tapi, masalah paling besarnya ada di SMA. Pendidikan seni kita berantakan sekali. Menurut hasil survey SMRC*, alasan pertama orang tidak nonton bioskop karena harga tiket mahal, yang kedua karena tidak suka film. Ya, bagaimana bisa suka film kalau tidak diperkenalkan di muaranya.
RR: Apa tema yang menurut Yandy belum berkembang di Indonesia? Dan atau yang berpotensi berkembang?
YL: Suspense film, film mengenai polisi atau crime.
RR: Menurut Yandy secara personal, film itu apa?
YL: Sarana untuk kita menemukan diri kita, baik yang bikin film maupun yang nonton.
IFA ISFANSYAH, PRODUSER DAN SUTRADARA FOURCOLORS FILMS
RR: Sejauh apa perkembangan film Indonesia di mata Ifa Isfansyah? IFA ISFANSYAH (II): Pertama saya suka banget dengan tema diversity. Itulah mengapa saya ada di film pada umumnya dan sebenarnya salah satu kekuatan film Indonesia adalah itu. Cuma memang belum terlihat karena selama ini keberagaman hanya dilihat dari genre. Padahal banyak alasan kenapa film harus dibuat, yang paling mainstream adalah bisnis. Di mana pun itu arus utamanya. Tapi di Indonesia itu terlalu banyak, sekitar 90 persen, padahal mungkin seharusnya 60-70 persen. Sekarang ini kondisinya masih dilihat dengan angka. Berapa investasi yang masuk, penonton, keuntungan. Kalaupun ada film yang mendapat apresiasi dari perspektif festival, tetap saja mentoknya di sana. Memang betul film itu harus jualan. Jadi, salah banget kalau bikin film enggak memikirkan jualannya. Tapi, problemnya saat semua dilihat dari angka, nah itu.
RR: Film Indonesia di tahun 2018 ditutup dengan angka 52 juta penonton, kemudian 2019 ada 53 juta**. Nah, film yang menyumbangkan angka besar tentu membuat exhibitor senang. Apakah kondisi seperti itu memengaruhi jenis-jenis film yang berada di arus besar dan berdampak pada arus kecil? Menurut Anda, sistem itu sudah terbentuk atau belum?
II: Menurut saya pasti berdampak, tapi seharusnya bisa lebih baik lagi. Kalau kita lihat, jika kulturnya diibaratkan bertani, berarti tanahnya subur. Pengaruhnya sejauh ini baru adanya keinginan untuk menonton film-film arus kecil di samping film arus besar. Padahal ada yang bisa lebih ditingkatkan lagi, misalnya regulasi pemerintah.
Karena kalau ngomongin cinema culture, kita bisa membentuknya dengan mengesampingkan pemerintah. Tapi kalau mengenai regulasi, kita tak bisa melupakan mereka. Dalam bayangan saya, kita harus punya elemen-elemen yang saling bersinergi, bervisi sama, dan terkaitnya bagus. Dari pembuat film, penonton, pemerintah, dengan media atau kritikus. Sekarang ini pembuat filmnya sudah membangun kulturnya, penontonnya sudah, pemerintah ada, tapi ada dan tiada. RR: Mas Ifa punya production house bernama Fourcolours, yang memproduksi genre arthouse atau alternatif. Apa yang membuat Anda merasa bahwa track itu penting untuk dijaga?
II: Mungkin itu seperti agama, pada saat lahir di dunia film ini kebetulan saya sudah di situ. Jadi yang saya yakini itu. Terutama dulu waktu awal bikin film di Yogya, tidak mungkin saat bikin film langsung dengan mindset itu. Jadi salah satu yang bisa kita akses adalah festival. Jadi dari situ menjadi akar. Saat berhasil masuk industri lewat jalur itu ya enggak ada salahnya, justru saya merasa itu sangat penting.
RR: Jadi bukan persoalan membuat film independen atau komersial? II: Enggak, saya merasa tidak perlu melawan arus itu, itu bukan untuk saya. Dan kalau ada arus besar saya enggak melawan, saya arus yang arahnya sama, tapi ada aliran yang berbeda. Kalau ada jalan yang utama, saya menempuh jalan yang lebih kecil di sekitarnya. Jadi saya wajar banget. Saya akhirnya justru semakin yakin, yaitu film harus jadi statement pembuatnya. RR: Saya akan masuk mengenai topik fashion dalam film. Dalam Abracadabra, di dalamnya menawarkan potret fashion sebagai elemen yang sangat penting dalam film. Di Indonesia keseluruhan, Anda melihat bagaimana perkembangan fashion dalam film itu sendiri? II: Kalau dilihat dari perspektif itu tentu saja yang mempunyai penyampaian teknis yang menonjol dan itulah mengapa biasanya yang diapresiasi konsep kostum yang terlihat tidak biasa. Namun, karena selama ini kecenderungan tematik dan produser yang hampir semuanya dibuat dengan investasi yang harus dikembalikan, akhirnya temanya jadi sangat terbatas sekali. Sejauh ini hampir semua kostum yang dilihat menonjol tadi baru kostum yang periodik, cuma memang akhirnya sudah lebih
mendingan walaupun ruangnya sangat sedikit sekali. RR: Apa yang masih kurang dari film Indonesia? II: Bagi kita perkembangan itu selalu dinilai dari jumlah. Seperti halnya layar***, kalau jumlahnya naik itu tandanya terus berkembang, padahal ada yang lebih penting. Kalau layar terus naik tapi ada di segmentasi sama, itu juga bahaya. Sekarang layar mayoritas ada di kelas A, hampir 90 persen lebih dalam mal. Ditonton dengan fasilitas popcorn, kursi empuk. Mengerikannya adalah film yang dibuat dengan biaya besar ini ujungnya hanya punya satu segmentasi. Walaupun jumlah titiknya beda, tapi ya akan ke situ terus. Problem akan tetap sama. Sebenarnya yang perlu dipikirkan bukan cuma angkanya, tapi juga levelnya. Misalnya kita punya penambahan 100 layar di kelas B, yang kalau setelah dua bulan film turun itu bisa ke level yang lain. Bahkan kalau perlu tiga level. Dulu kita mempunyai bioskop yang seperti itu. RR: Terakhir, apa definisi personal mengenai film bagi Anda?
II: Film itu buat saya harapan, buat saya pribadi sebagai penonton dan pembuat. Selama masih ada film, saya merasa masih punya harapan. Dalam hidup.
MANOJ PUNJABI, PRODUSER MD ENTERTAINMENT
& MD PICTURES
RR: Menurut Anda, bagaimana perkembangan film Indonesia? MANOJ PUNJABI (MP): Saat ini membaik, maju dari 2015 yang hanya tiga film di top 10 (tiga film di atas 1 juta penonton) dan naik terus penontonnya sampai tahun ini**. Mungkin kita baru 35 persen market share dibandingkan film asing. Yang pernah luar biasa adalah di 2008, saat kita bisa mencapai 56 persen market share. Itu adalah cita-cita saya untuk film Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Kini sudah banyak pemain yang mulai mengerti bisnis ini, jadi industri film Indonesia makin bisa berkembang. Potensi memang ada. Sejauh ini, Indonesia ada di posisi keenam atau ketujuh di seluruh dunia, setelah Amerika, India, Turki, Korea, Jepang, China. We are not bad, kita lumayan.
RR: Saat berbicara dengan Ifa Isfansyah, ia berkata bahwa ia tak pernah menantang arus. Ia merasa film blockbuster itu adalah arus utama, ia bergerak mengikuti arus, sementara ia adalah arus kecilnya. Sebagai produser film besar, seberapa penting Anda merasa bahwa penonton adalah penentu bahwa sebuah film akan berhasil?
MP: Penonton bukan saja penentu, tapi segala-galanya. Tapi menurut saya kita bisa memengaruhi penonton dengan cara positif. Orang Indonesia makan nasi, kalau mau dikasih burger mereka enggak bakal makan lebih banyak. Tapi sajian nasinya ada berbagai cara. Kembali lagi sama dengan film. Mereka mau apa yang mereka mau, kalau mau ada sajian baru, kemasannya harus pintar. RR: Berangkat dari tema, menurut saya perfilman Indonesia itu mulai diverse, dari genre sampai tema. Tidak signifikan, tapi cukup beragam. Bagaimana Anda melihat ini?
MP: Beragamkah? Lumayan, not there yet. Itu problem kita. Kita masih maunya nasi, belum ke sajian lain. It’s a lot still, but improving. Meski variasinya banyak. Ada drama, biopik, komedi, but if you see it’s still not enough.
RR: Exhibitor di Indonesia mempunyai perkembangan yang cukup pesat, namun perkembangan ini tidak beriringan dengan peningkatan kualitas film atau keberagaman tadi. Menurut Anda, apa yang kurang dari sistem film di Indonesia? Missing link-nya di mana?
MP: Layar akan berkembang, itu penting. Yang pasti biarkan alam bisnisnya berjalan, tapi mungkin pemerintah bisa lebih melirik film Indonesia. Contohnya, MU kalau lawan PSSI akan menang yang mana? Jawabannya pasti, karena mereka punya resource, terbentuk sejak lama, pemain dibayar jutaan Dolar. Kita nggak punya fasilitas itu. Sama dengan film, kalau saya punya kiblat Hollywood. Jadi untuk menuju ke mereka perlu banyak usaha. Tapi kita punya kelebihan, bahasa. Orang mau nonton film Indonesia karena bahasa. Namun, kita perlu dibantu juga. Contohnya bagaimana? Harga tiket itu sensitif, berdasarkan data*. Misalnya pajak tontonan untuk film Indonesia bisa dikurangi. Jadi, penonton akan bayar harga tiket lebih rendah untuk film Indonesia. Film Barat ditambah sedikit. Yang dapat faedah penonton. Pemerintah harus dukung, jangan dirugikan pihak bioskop, jangan dirugikan pihak produser. Kita enggak minta uang lebih. Hal tersebut perlu dukungan. RR: Daripada pemerintah membantu dengan menyumbangkan uang, lebih baik regulasi perpajakannya dipikirkan ulang.
MP: Kalaupun harga harus naik, tapi film Indonesia unggul selalu, dapat subsidi. Itu poinnya. Jangan sampai pesan salah dari saya yang tersampaikan. Penonton yang dapat benefit. Nobody gets free money. RR: Apa kelebihan film Indonesia di mata Bapak secara general? MP: Budaya. That’s it. Relatable factor.
RR: Do you think independent movies play a big role to our film industry?
MP: Kalau ngomong big role, yes it’s important. Tapi Big Box Office kita tahu no. Film independen perlu ada supaya ada variasi. Minimal kalau ada yang mengikuti festival di luar negeri, mereka membantu membawa nama Indonesia.
RR: Banyak orang bilang kita kekurangan sumber daya perfilman. Menurut Anda, apakah hal itu benar?
MP: Sangat setuju, kita kekurangan sutradara, penulis, aktor, dan sebagainya. Tapi yang utama ketiga tersebut, yang lainnya bisa menyusul cepat. Kembali lagi, pemerintah tidak mendukung. Saya
selalu bilang film itu senjata ampuh. Amerika bisa membuat dua hal, senjata dan film, both are weapons. Why can’t our people see that? Make us your weapon, yang berpengaruh baik, menyebarkan pesan positif. Yang membantu mengubah hidup orang. Sayangnya karena tidak ada dukungan.
RR: Apa definisi film secara personal menurut Manoj Punjabi? MP: Inspiring people, inspiring oneself, inspiring myself to inspire people.
HANS GUNADI, PRESIDENT & CEO CINEMA XXI RR: Dari kacamata Bapak, apakah film Indonesia sudah cukup beragam? HG: Beberapa tahun lalu ketika ada film Indonesia yang meledak apa pun genrenya, tendensinya adalah semua produser akan ikut bikin film seperti itu, latah. Akibatnya genre tersebut jenuh. Tapi mulai 2016 sampai sekarang, orang sudah mulai berkreasi memproduksi film yang lebih beragam, sebagai contoh, Pak (Chand) Parwez mencoba Yowis Ben (film berbahasa Jawa), meski awalnya saya pertanyakan bisa berhasil atau tidak di luar Jawa. Pak Manoj (Punjabi) yang tadinya membuat cerita religi, juga mulai keluar dari zona nyamannya. Berhasil atau tidak, itu urusan penonton yang menilai. Yang penting ada kemauan untuk mencoba. Menjawab pertanyaan, genre sudah cukup beragam.
RR: Bapak mungkin juga pernah mendengar, kalau di film independen ada pihak yang merasa kalau mereka selalu punya porsi yang sedikit dibandingkan blockbuster. Tapi kalau melihat fakta lapangan, tiap film ternyata punya penontonnya masing-masing. Bagaimana Anda melihat perbedaan kedua tipe film ini dalam pembagian layar? Hal ini terkadang menjadi sesuatu yang sangat sensitif dan menjadi polemik. HG: Dalam film terakhir Ifa Isfansyah kami memberi layar lebih karena ingin memberi harapan. Namun ternyata masih belum terjadi. Dan itulah kenyataannya di seluruh dunia. Di seluruh dunia ini ada dua jalur, jalur komersil dan festival. Kelebihannya di sini dibanding di China, di sana ada 5000 film yang daftar ke bioskop, yang ditayangkan hanya sekitar 500. Indonesia masih lebih bagus, masih sekitar 50 persen lebih yang ditayangkan. Namun jumlah ini akan terus bertambah. Tugas kami akan lebih menantang ke depannya.
RR: Yang independen selalu merasa mendapat jatah layar lebih sedikit daripada yang komersil. Sementara saya pribadi melihat ketika film jenis tersebut memperoleh jumlah penonton di angka tertentu, kan sebenarnya itu menjadi kode bersama bahwa there is something going on. Dari sutradara film arthouse seperti Mas Garin atau Mas Ifa saya nggak pernah mendengar kata-kata tidak fair.
HG: Kami sangat menghormati orang-orang seperti beliau – beliau yang tetap memegang teguh prinsip yang mereka yakini, yang berbahaya adalah saat ada yang bikin film arthouse, tapi topinya ada di komersial. Di sanalah polemik terjadi.
RR: Mas Ifa mempunyai respon positif saat membahas hal ini. Ia lahir di jalur film independen sehingga di sanalah letak kepercayaannya. Ia bermain di sungai yang lebih kecil dan tak berusaha melawan arus besar. Menurut saya mindset tersebut sangat sehat. Apa yang orang salah mengerti mengenai kebijakan XXI tentang film Nasional?
HG: Sebagai bioskop tidak bisa dipungkiri bahwa kita hanya merupakan sebuah perusahaan dan bukan panti sosial. We have to survive, we have to feed almost 10.000 employees.tentu saja sebagian besar fokus harus kami prioritaskan pada yang komersial ini, sebab mereka berkontribusi banyak. Namun, kami ingin sekali menyediakan bioskop khusus untuk art movie ini. Itu yang sudah kami lakukan di TIM, sayangnya ditutup oleh Pemerintah Daerah setempat. Apakah bioskop seperti TIM ini akan kami ulangi di luar kota? Mungkin, kami masih mempelajari angka-angka dan kemungkinannya. RR: Salah satu hal yang menurut Bapak paling mendasar adalah bahwa kita kekurangan penulis-penulis skenario. Mereka itu kan sebenarnya adalah jantungnya film. Film nggak akan ada tanpa adanya skenario. HG: Itu yang sudah digalakkan di negara lain seperti, Korea, Jepang, dan Amerika. Yang Pemerintah dapat fokus lakukan adalah melahirkan penulis-penulis naskah yang andal. Apa yang dapat kami kontribusikan adalah sharing the knowledge. Kami berharap penulis Indonesia berbakat dapat memperoleh kesempatan menyerap ilmu dan pengetahuan dari penulis-penulis Internasional dan kembali ke Indonesia untuk mengajar adik-adiknya. Tetapi Za, kami nggak bisa melakukan semuanya sendiri, kami membutuhkan kerja sama dari semua stakeholders termasuk Pemerintah.
RR: Menurut Bapak, definisi film yang sangat personal, itu apa? HG: Ada 2. Film secara komersial adalah film yang harus disukai para penonton. Sementara di sisi arthouse adalah film yang dihasilkan sesuai dengan idealisme dan hati pembuatnya meskipun tanpa harus menekankan pada unsur komersialnya. Sebagai contoh, mengapa film seperti Dua Garis Biru, Dilan dan Keluarga Cemara bisa meledak? Karena itu benar benar menyentuh hati pemirsanya dan sangat relevan dengan kehidupan penonton.
RR: Jadi menurut Bapak film adalah sesuatu yang relate dengan orang banyak?
HG: Yes! It’s a translation of life. n