Plant Persuasion
DI ERA DIGITAL INI, ARUS INFORMASI TANPA HENTI MENEMBUS KE SEMUA PELOSOK TANPA SARINGAN. DEMIKIAN PULA DENGAN KABAR PERKEMBANGAN GAYA HIDUP YANG MERAJALELA HINGGA MENJADI TOPIK HANGAT, SALAH SATUNYA DOKUMENTER POLA MAKAN NABATI BERJUDUL The Game Changers. BAGAIMANA MENYIKAPINYA? OLEH ARDHANA UTAMA
The Game Changers menampilkan penelusuran James Wilks, seorang mantan Mixed Martial Artist yang mengalami cedera dari pertarungan terakhirnya. Selama masa penyembuhan ia mencari cara terbaik untuk pemulihan kondisi dan mengembalikan kebugaran tubuhnya. Perjalanan tersebut membawa sejumlah fakta menarik mengenai hubungan konsumsi makanan dan kondisi fisik manusia.
Adegan pembuka diawali oleh penelitian yang membuktikan bahwa pada masa Romawi Kuno, para gladiator mengonsumsi tumbuhan dalam jumlah besar, buktinya terdapat dalam kadar strontium yang tinggi pada tulang. Alur cerita kemudian berlanjut ke persepsi umum mengenai nutrisi atlet American football dan UFC yang selalu mengutamakan asupan protein dari daging dan ayam. Hal ini umum dipraktikkan sebab protein hewani dianggap dapat mempertahankan energi manusia dengan lebih baik.
Pendapat yang kontras selanjutnya diutarakan oleh James Loomis, seorang dokter yang menyebutkan bahwa salah satu miskonsepsi utama dalam masyarakat adalah mengenai kebutuhan protein hewani yang dianggap bersifat krusial agar kita dapat menjadi besar, kuat, dan tampil di performa tertinggi*. “That’s just clearly not true!” tegasnya. Ia kemudian memaparkan, bahwa protein hewan yang berasal dari sapi, babi, dan ayam awalnya berasal dari tumbuhan yang mereka konsumsi. Namun, hewan sejatinya adalah perantara. Stereotip “Real Men Eat Meat” menurut Arnold Schwarzenegger, mantan
Gubernur California yang telah lama terkenal dengan fisik bugar dan berotot, diutarakan sebagai marketing gimmick dan bukanlah kenyataan.
Data terkait dalam dokumenter turut disampaikan oleh Dr. Scott Stoll, yaitu mantan atlet Olimpiade dan kini dokter tim Olimpiade Amerika Serikat, yang membandingkan riset mengenai protein nabati dan protein hewani. Pertanyaan utamanya, mana yang lebih baik membantu tubuh dalam mengatasi inflamasi dan menopang pemulihan**? Dalam protein hewani, manusia memperoleh komoditas yang disertai molekul peradangan seperti Neu5gc (N-glycolylneuraminic acid), endotoksin, dan besi hematin. Sementara dalam protein nabati, Anda mendapatkan protein yang dikemas dengan antioksidan, fitokimia, mineral, dan vitamin yang dapat mengurangi peradangan, mengoptimalkan mikrobiota, mengoptimalkan suplai darah, dan yang terpenting mengoptimalkan kinerja tubuh. Antioksidan yang dimaksud terkandung enam puluh kali lipat kandungannya pada tumbuhan dibandingkan dengan sumber hewani.
Kami mengklarifikasi pernyataan tersebut di Jakarta. DR. Dr. Samuel Oetoro, MS, SP.GK(K) seorang Spesialis Gizi Klinik menyampaikan bahwa kandungan antioksidan memang lebih kuat terdapat di nabati, terutama di buah dan sayur, sebab mereka mempunyai zat warna bernama fitokemikal. Kemudian, apakah benar protein nabati mampu menggantikan asupan protein hewani agar kita dapat mencapai performa terbaik? “Bisa, namun ada syaratnya, yaitu proteinnya harus berasal dari kombinasi lima macam kacang-kacangan (di dalamnya harus
menyertakan kacang kedelai). Sebab asam amino di dalamnya tak selengkap di sumber hewani.” Namun, apakah peran protein nabati mampu mengatasi inflamasi dan menopang pemulihan lebih baik daripada protein hewani**? Ia justru berpendapat sebaliknya.
Cuplikan dalam The Game Changers juga menyebutkan data menarik yang diperoleh dari artikel Scientific American tulisan Rob Dunn tanggal 23 Juli 2012 yang berjudul “Human Ancestors Were Nearly All Vegetarians”. Dalam tulisan tersebut dikemukakan bahwa manusia tak memiliki genetika khusus berupa anatomi, atau fisiologi untuk mengonsumsi daging. Sebaliknya kita justru mempunyai sejumlah adaptasi untuk mengonsumsi tumbuhan, seperti jalur pencernaan yang lebih panjang dari hewan karnivora, yang memungkinkan manusia mencerna tumbuhan dan serat yang memerlukan proses lebih lama. Di samping itu, manusia juga tak mampu memproduksi vitamin C sendiri, namun kita dapat memperolehnya dari tumbuhan. Jadi, fakta bahwa tubuh kita tak mampu membuatnya mengindikasikan ketergantungan kita pada asupan nabati. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah informasi tersebut sepenuhnya akurat?
Sebuah hasil wawancara Bazaar bersama Emilia Achmadi MS., RD, seorang sport nutritionist dan ahli nutrisi dari Mesa Academy menerangkan, “Pernyataan tersebut* sebenarnya terlalu disederhanakan. Kita tidak pernah mengatakan bahwa produk hewani dibutuhkan secara eksklusif agar kita menjadi berotot dan kuat. Karena kita harus kembali ke konteks tubuh manusia sebagai ‘mesin’. Kita diciptakan untuk mengambil nutrisi dari dua sumber, hewani dan nabati. That is our nature. Manusia ada di tengah antara karnivor dan herbivor. Tidak persis di tengah, tapi lebih ke arah herbivor, kita membutuhkan komposisi makanan nabati lebih besar daripada produk hewani.”
Kemudian, bagaimana dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa vitamin B12 tak dapat diperoleh tanpa asupan dari konsumsi produk hewani? Dalam The Game Changers, James Wilks menyampaikan bahwa ternyata vitamin tersebut tak dibuat oleh hewan, melainkan oleh bakteri yang dikonsumsi hewan dari tanah dan air. Seperti halnya protein, hewan hanyalah perantara.
Apakah tepat dan baik untuk mengonsumsi vitamin B12 dari sumber nabati saja? Di samping menimbulkan kontra dalam situs Youtube (Klaim tersebut disanggah oleh Chris Kresser dalam saluran Joe Rogan Experience), Emilia Achmadi memaparkan, “Karbohidrat kita peroleh dari tumbuhan. Protein dibagi dua, setengah berbasis tanaman, sisanya dari hewan. Ada alasannya, terutama saat membicarakan kebutuhan nutrisi mikro (zat besi, vitamin B12, kalsium). Saat hanya mengambil salah satu, kita akan kekurangan salah satunya. Sehingga kalau fokusnya hanya pada salah satunya saja, yang terjadi adalah persentase yang terserap sedikit. Nilai biologisnya rendah. Contohnya vitamin B12, dapat diekstrak dari tumbuhan, tapi kualitas yang paling bagus yang bisa diserap oleh tubuh adalah vitamin B12 yang diproduksi oleh bakteri yang ada di produk hewan.”
Lantas, kebaikan apa yang dapat diperoleh dari pola makan nabati untuk tubuh Anda? Pola makan ini dapat disarankan kepada beberapa pasien yang mempunyai kondisi khusus seperti perbaikan kualitas gaya hidup, kondisi kolesterol yang tak sehat, dan sebagainya dalam periode tertentu. Pola makan vegan juga dapat ditinjau sebagai suatu pilihan seseorang, baik dari sisi lingkungan, humanitarian, hingga spiritual. Namun, di era dengan arus informasi yang tak terbendung seperti saat ini, haruskah Anda merasa skeptis dengan informasi yang tersedia di sekitar Anda? Jawabannya, tentu saja.
Samuel Oetoro menambahkan, “Idealnya, makan itu harus lengkap, karena tidak ada satu jenis makanan yang kandungannya lengkap. Seperti tadi saya bilang, protein hewani tinggi baik untuk pertumbuhan, daya tahan, mengganti sel rusak. Antioksidan? Tumbuhan lebih banyak mempunyai antioksidan. Maka dari itu disarankan kalau makan ada sumber protein, karbohidrat, dan antioksidan.”
Jadi, apa yang sebenarnya baik untuk tubuh? “Kita khususnya di kota besar mengonsumsi produk hewan terlalu banyak, sehingga saat sesuatu yang baik dikonsumsi terlalu banyak akan menjadi buruk. Daging terus-terusan, ayam terus-terusan, susu terlalu banyak. Terlebih lagi yang kita pilih opsinya tidak bagus, misalnya ayamnya digoreng, daging merah yang berlemak, telur bukannya direbus namun mata sapi. Konteks dari hidup sehat itu mempunyai tiga komponen, makan tentu saja, itulah intinya. You are what you eat. Di atasnya makan adalah olahraga. Selain itu pola tidur. So, there is no simple answer to everything,” tutup Emilia.