Harper's Bazaar (Indonesia)

KEBENARAN DI BALIK “INVESTMENT PIECE”

ALLYSHA NILA MENCARI TAHU APAKAH SEMUA AKSESORI FASHION MERUPAKAN INVESTASI YANG LAYAK? ILUSTRASI OLEH GEMA SEMESTA

-

Bulan Desember lalu, Jeffree Star diberitaka­n pindah ke rumah yang baru. Hanya satu hal yang di benak saya: bukankah ia baru saja selesai membangun The Vault? Jika anda belum melihat “brankas” Jeffree Star, saya kira anda belum ‘tahu’ dunia—segera ketik di Youtube: My Pink Vault Closet Tour. Ruangan merah muda tersebut memiliki pintu dari besi anti-peluru seberat setengah ton yang dibuka dengan fingerprin­t dan retina scan, lengkap dengan wi-fi dan lighting canggih, music player, dan dinding tersembuny­i yang bermotor dengan kaca full-length. Bahkan lantai marmernya diimpor dari Italia dan dicelup dengan pigmen warna pink yang dibuat secara khusus, senada dengan Pantone logo Jeffree Star Cosmetics. Wajarlah jika saya, seperti ribuan orang lainnya, kaget saat mengetahui Jeffree meninggalk­an si vault.

Jika Anda berpikir, “semua itu hanya untuk tas?” Jawabannya, terus terang, adalah ‘iya’ (dengan catatan, Jeffree juga menyimpan barang berharga lainnya, seperti baju, perhiasan, kacamata dan sepatu). Coba juga tonton video closet tour Kylie Jenner, Jamie Chua, atau Theresa Roemer. Tentu semua orang memiliki pendapat masingmasi­ng, namun mereka juga memperliha­tkan bahwa sebuah closet merupakan suatu wujud baru sebuah portofolio investasi. Miliaran dolar dalam bentuk barang kecil, tentu keamanan, organisasi, dan inventaris penting.

Dalam vault Jeffree Star, tersedia tembok khusus tas merek Louis Vuitton (dan ada lemari tersendiri untuk trunk edisi khusus), tembok lainnya untuk tas Chanel dan tentunya khusus Hermès (ketiga brand ini disebut sebagai “Big Three” karena nilainya yang terus naik). Jeffree merupakan salah satu kolektor Birkin dan Kelly dan memiliki lebih dari 50 tas, yang cenderung berwarna merah muda. “Anda akan menampar saya jika saya katakan harganya,” kata Jeffree soal Himalayan Birkin dan Kelly yang ia miliki. “Tapi saya senang membicarak­an aspek investasi dari membeli tas. Jika saya jual yang ini sekarang, saya sudah bisa membeli beberapa rumah baru. Nilai dari beberapa tas yang saya miliki akan berlipat ganda hingga empat kali hanya dalam

waktu lima tahun. Bagi saya, membeli tas sama saja dengan membeli properti atau real estate, atau karya seni.”

Namun tunggu dulu. Pernyataan tersebut tidak membenarka­n semua belanjaan Anda sebagai investment piece. Untuk mendapatka­n penghasila­n dari pembelian Anda, atau bisa disebut demikian, ada banyak hal yang harus diperhatik­an. Ini yang sering dilupakan banyak orang, dan juga dieksploit­asi oleh banyak marketer atau staf penjualan, sehingga nyaris semua fashion item dicap demikian.

Lantas, apa yang membuat sesuatu barang fashion sebuah investment piece? Secara simpel: nilai jual yang bertahan seiring waktu. Ada banyak sekali faktornya, namun semua ada pada hukum supply and demand. Para brand menjaga agar demand selalu lebih tinggi daripada supply agar harga produk mereka bisa terus meninggi. Hal ini dicontoh oleh streetwear brand seperti Supreme yang menggunaka­n ‘drop’ system. Karena kelangkaan tersebut, barang sangat laku di marketplac­e seperti Grailed, Stockx, dan Stadium. Namun ada juga brand yang memasarkan tasnya habis-habisan dan memproduks­i sebanyak-banyaknya untuk penjualan yang lebih besar (contoh: Fendi Baguette, dengan versi yang tak terbatas).

Meski banyak media dan pakar luxury mengatakan fenomena It bag telah ‘mati’, pasar justru mengatakan sebaliknya. Usaha pre-loved bags, marketplac­e, concierge, dan jasa titip seperti Reebonz, Kravelist, Hunt Street, Tinkerlust, meledak di Indonesia. Mungkin dulu trennya lebih cenderung ke logomania, sekarang lebih fokus kepada kualitas bahan dan desain. Buktinya, hingga sekarang, beberapa model It bag tetap diproduksi dengan iterasi baru, dan telah menyalakan kembali ketertarik­an pada model-model orisinal (contoh: Dior Saddle bag era John Galliano). Pada zaman emas It bag di tahun 1990-an dan awal 2000-an, pemasaran tas heboh dengan waitlist eksklusif yang sangat efektif. Terkadang beberapa model tas hanya ditawarkan pada klien VIP, atau Anda harus berbelanja jumlah tertentu.

Siapa yang memakai sebuah tas juga sangat memengaruh­i nilai tas tersebut. Tas Lady Dior, yang aslinya dinamakan Chouchou, menjadi ikonis ketika dihadiahka­n kepada Princess Diana oleh first lady Prancis, Bernadette Chirac. 200.000 tas Lady Dior terjual dalam dua tahun, dan pemasukan leather good Dior berlipat ganda sepuluh kali. Tas Lariat Balenciaga, yang lebih dikenal dengan nama City dan Motorcycle, diproduksi karena Kate Moss memintanya. Lariat juga menjadi booming setelah beberapa editor dan stylist ternama menggunaka­nnya. Alhasil, nilai historis dan buzz juga menjadi suatu faktor penting.

Seberapa menguntung­kankah sebuah investment bag? Model Birkin buatan Hermès, yang terinspira­si oleh bintang film Jane Birkin, memiliki nilai tukar lebih tinggi dan stabil daripada emas. Kini harga tas tersebut tidak kurang dari USD 12.000. Saat karakter Samantha Jones dari Sex and the City (2001) mengunjung­i butik Hermès untuk

membeli sebuah Birkin, harganya masih di USD 4.000. Secara global, nilai sebuah tas Chanel naik sebanyak 70 persen pada dekade terakhir, menurut Baghunter. Tas Flap yang didesain oleh Coco Chanel pada tahun 1955 pertama kali dijual dengan harga USD 220. Pada tahun 1990, harga telah naik menjadi USD 1.150, di tahun 2010 menjadi USD 2.850, dan di 2016 menjadi USD 4.900. Rata-rata, model Louis Vuitton dapat dijual dengan 90 persen retail price, meski bertahun-tahun setelah rilis.

Tentu, tidak semua barang sama rata nilainya. Keuntungan di atas hanya bisa diraih oleh beberapa model dari brand tertentu—jadi jika Anda memang benar-benar ingin menginvest­asi, carilah model tersebut. Bagaimana?

Karena faktor-faktor tersebut bisa membingung­kan, sangat penting untuk mengetahui resell value suatu barang secara empiris. Rebag, salah satu platform resale di Amerika Serikat, menerbitka­n Clair (Comprehens­ive Luxury Appraisal Index for Resale) sebuah algoritme yang menentukan harga pasar. Uniknya, Rebag tidak mengambil persentase dari penjualan, namun membeli saham, bagaikan Nasdaq untuk fashion yang dimoderasi oleh dealer. The Real Real menerbitka­n app serupa bernama Realbook. Informasi secara real time dapat diakses agar para customer bisa mengetahui berapa nilai suatu tas di pasar.

Mengetahui ini, kuping saya langsung panas ketika mendengar seseorang mencoba menjual sesuatu dengan argumen investment, karena sering kali istilah tersebut dipakai untuk barang yang tidak memiliki nilai yang substansia­l (entah dari segi harga, siklus barang, reputasi atau demand). Bahkan, saya paling sering dengar istilah investment piece sebagai justifikas­i atas sebuah pembelian yang tidak wajar karena harga barang tersebut terlalu tinggi dan tidak ada demand; atau jarang dikenakan karena tidak cocok dengan style seseorang (dan mungkin juga cuaca); atau ukuran yang tersedia kurang pas—alias maksa… atau bahkan saat seseorang kesulitan mengatur keinginan sehingga sebuah fashion purchase dikaitkan sebagai ‘kebutuhan’.

Jujur, saya sendiri juga pernah menggunaka­n alasan “investment” untuk membenarka­n beberapa transaksi impulsif. Pada saat itu, pengetahua­n saya soal reselling masih sangat minim. Namun setidaknya saya tahu bahwa baju Comme des Garçons bisa sangat menguntung­kan (pernah saya menghasilk­an 3 kali lipat dari harga yang saya beli). Aksesori yang belum pernah digunakan bahkan lebih menguntung­kan (dompet kulit bifold CDG yang saya beli dengan harga Rp. 400.000 laku dengan harga Rp. 2.500,000). Tip: jangan harap Anda bisa untung dengan menjual kembali sepatu mahal (dengan pengecuali­an sepatu Louboutin atau loafers Gucci) karena begitu dipakai, nilainya langsung turun drastis.

Situasi tersebut paling sering terjadi saat sale, ketika secara psikis kita ingin merasakan keuntungan. Sebenarnya wajar, namun lucunya, aksi tawar menawar tidak terjadi antara penjual dan pembeli, tetapi justru terinterna­lisasi dalam diri kita sendiri. We’re haggling with ourselves. Dalam situasi di saat seseorang tidak memiliki banyak kesempatan untuk berpikir, mereka sangat rentan untuk impulse buying. Emosi menjadi faktor utama untuk membuat keputusan, yang akhirnya cenderung merugikan.

Mungkin moral of the story is: sering-seringlah mencari informasi sebelum membuat keputusan yang besar karena tidak semua fashion purchase adalah investment piece. Beberapa pertanyaan yang wajib ditanya sebelum menghabisk­an uang Anda: berapa kali dan berapa tahun akan Anda memakainya ? Apakah ini barang langka dan diminati di pasar? Apakah model ini dari runway, dan apakah ia adalah show piece yang unik? Apakah bahan item tersebut, dan bagaimana cara merawatnya?

MUNGKIN moral of

the story is: SERINGSERI­NGLAH MENCARI INFORMASI SEBELUM MEMBUAT KEPUTUSAN YANG BESAR KARENA TIDAK SEMUA fashion purchase ADALAH investment piece.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia