Harper's Bazaar (Indonesia)

SAYA PERCAYA, PERAN ESENSIAL MENJADI MANUSIA ADALAH MENCINTAI SESAMANYA, SAMA HALNYA MENCINTAI DIRI SENDIRI.

OLEH DAVE HENDRIK

-

Dalam perbincang­an saya di Instagram Live bersama Nicolas Saputra untuk talkshow “Brunch With Dave” di kanal Youtube Bazaar, Nico menyebutka­n drama Korea yang menarik perhatiann­ya adalah Reply 1988. Ia jatuh hati pada latar belakang cerita drama film ini di tahun ‘80-an, hidup berdekatan dengan tetangga, saling berkirim makanan, dan benar-benar terlibat dalam kehidupan antar tetangga. Akhir pekan itu, saya langsung nyalakan televisi dan menyaksika­n film tersebut. Bear with me, I have only watched the first episode. Benar apa kata Nico, film itu bangkitkan memori kehidupan masa kecil saya. Masa sebelum internet, saat hiburan saya temukan melalui lembaran majalah dan buku komik. Tontonan televisi yang begitu mendikte narasi kebudayaan. Bermain ke rumah tetangga untuk ikut menyaksika­n film yang diputar melalui VHS player. Sisihkan uang saku beberapa minggu untuk bisa membeli kaset album penyanyi idola kemudian bertukar pinjam dengan teman di kelas. “Mampir ke rumah Tante Yanti, bawa kue cokelat ini, bilang ‘Mami keabisan beras, pinjem dulu!’” Saya anak tertua, sudah pasti saya yang paling sering diminta mondar-mandir ke rumah tetangga dengan rupa-rupa perintah dari sang domestic diva. Film ini terasa membawa nostalgia, bisa dipastikan karena kehidupan kini berbeda. Masa berganti, manusia berubah.

Bahasan mengenai kerukunan hidup bertetangg­a sudah tak lagi menjadi menarik dan relevan katanya. Manusia modern kini sudah hidup lebih mandiri, tak lagi terlibat secara personal dengan para tetangga. Hanya sebatas kenal nama atau wajah karena memang waktu yang dilewatkan di rumah pun semakin sedikit. Manusia kota lebih banyak habiskan waktu di kantor, di pusat kebugaran, di kafe, dan di dalam pusat perbelanja­an. Di mana badan berada di sanalah pusat fokus kita tertambat. Kesibukan dan keterbatas­an waktu rupanya adalah penyebab terbesar pergeseran ini. Waktu adalah pembunuh sekaligus antidot kerukunan kita bertetangg­a. Buktinya? Lihat sekarang di tengah tragedi global Covid-19 yang memaksa sebagian kita untuk meluangkan waktu di rumah, kerukunan bertetangg­a pun kembali tumbuh. Grup Whatsapp (WA) tetangga satu kompleks mendadak kini sangat aktif, semua saling bertukar informasi mengenai cara terbaik melindungi keluarga dari paparan virus. Betul kan?

Setiap hari saling meng-update kabar kesehatan keluarga masingmasi­ng melalui grup WA. Bila mengetahui ada tetangga yang sakit, semua kini urunan memberi bantuan. Kesadaran bahwa kesehatan tetangga kita membawa dampak besar pada kesehatan keluarga kita, jadi penggerak terbesar. Ini yang saya lihat dan perhatikan dalam kehidupan bertetangg­a adik saya dan beberapa teman dekat. Di dalam kehidupan satu kompleks perumahan bisa dibilang mampu menghidupi kebutuhan satu sama lain. Sebelah rumah jualan beras, tetangga depan jual ayam potong, yang lain buka katering, ada yang jadi pemasok sanitizer, beberapa jualan kue, aneka rupa sambal khas nusantara, layaknya sebuah kota satelit bertetangg­a saling memenuhi kebutuhan kehidupan rumah tangga di dalam kompleks. Silih berganti setiap hari saling berkiriman makanan. Saya yakin ini juga Anda alami di dalam lingkungan perumahan Anda. Kepala rumah tangga bersatu merundingk­an cara terbaik untuk batasi lingkungan dari penyebaran virus. Mulai dari menyiapkan area cuci tangan untuk kurir pengiriman barang sampai ke peningkata­n penjagaan keluar masuk tamu ke dalam lingkungan dilakukan bersama. Tetangga bergantian menengok warga senior di lingkungan. Dalam 4 bulan belakangan ini kita jadi lebih mengenal dan peduli pada tetangga lingkungan kita. Pandemi ini tanpa disadari mampu membangun kembali kesadaran kita akan pentingnya hidup bertetangg­a.

David Sraker, kreator changingmi­nds.org, penulis buku Changing Minds; in details dan expert on influence and change, mengatakan bahwa perubahan baik dalam diri maupun orang lain akan terjadi dengan efektif bila kita menggunaka­n kepala, hati, dan tangan dengan seimbang. Head – thinking – cognitive; Heart – feeling – behavioral; Hands – doing – affective. Melalui akal budi pemikiran saat ini kita sadar bahwa apa yang terjadi di lingkungan tempat tinggal kita membawa pengaruh dalam masa depan kita sebagai satuan unit keluarga, kita merasa jauh lebih tenang dan dapat tidur lebih nyenyak di malam hari karena kita tahu tetangga kita pun dalam keadaan baik dan sehat. Kita merasa lebih berarti karena kita tahu kita sudah melakukan apa yang bisa kita lakukan dalam memutus penyebaran virus ini di lingkungan kehidupan kita. Di lingkungan terkecil kita, saat ini kita tengah melakukan perubahan kehidupan. Selama kita memiliki kedua tangan ini, pasti ada yang bisa dilakukan untuk saling membantu. Kepala ini dibekali dengan kemampuan menemukan solusi dari hampir semua tantangan yang hadir. Menempatka­n diri kita di posisi orang lain buat kita lebih menghargai perasaan orang lain. Akhirnya kepala, hati, dan tangan kita berjalan selaras dan buat perubahan dalam kehidupan kita sebagai manusia. Tanggung jawab kita dalam membuat perubahan dimulai dari lingkungan terkecil. Rukun tetangga. Inilah bagian terkecil Tanah Air kita sebagai bangsa.

Suka sekali ketika Bishop T.D. Jakes katakan dalam sebuah wawancara, Covid-19 harus diganti dengan CORRECTION 19. Inilah saatnya kita memperbaha­rui diri bersama. Saat ini kita menyadari sepenuhnya kewajiban kita sebagai manusia, mencintai sesama seperti diri sendiri. Cintai tetanggamu seperti keluarga sendiri. Ketika lingkungan sehat, kita sehat. Lingkungan kuat, kita dapat tumbuh. Lingkungan­ku Tanah Airku.

n

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia