LIKA-LIKU KEBAYA
YUDITH KINDANGEN MENELUSURI SEKELUMIT KISAH LAHIR DAN BERKEMBANGNYA KEBAYA SEBAGAI BUSANA NASIONAL YANG BEREVOLUSI.
bahwa kebaya diadaptasi dari jubah penjelajah-penjelajah asal Yunnan, sebuah provinsi di barat daya negeri China, yang datang ke Indonesia untuk berdagang. Sementara buku-buku lain menyatakan kebaya tiba bersamaan dengan pedagang-pedagang dari wilayah Gujarat yang membawa agama Islam ke Indonesia.
Menurut kajian ini, wanita Indonesia banyak yang masih bertelanjang dada atau hanya memakai kemban sebagai busana sehari-hari di masa itu. Pedagang-pedagang inilah yang kemudian memperkenalkan sejenis tunik untuk menutup tubuh bagian atas. Siluet dan bahannya kemudian disesuaikan sendiri oleh wanitawanita Indonesia dengan iklim lokal yang panas dan lembap.
Oleh karena itu, beberapa pakar sejarah berpendapat kata ‘kebaya’ berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘kaba’ yang berarti pakaian dan ‘abaya’ yang berarti jubah. Ada pula kemiripan kebaya dengan tunik-tunik panjang yang dipakai laki-laki dan perempuan di Burma, Myanmar. Sehingga bila disimpulkan, terbentuknya kebaya itu berasal dari berbagai bangsa, seperti ada proses asimilasi dan difusi yang terjadi.
Itu sebabnya ada ragam bentuk kebaya yang dikenal di Indonesia. Kebaya kutu baru diperkirakan sebagai jenis kebaya pertama yang dikenakan perempuan Indonesia. Tunik-tunik panjang yang diperkenalkan para penjelajah asing dipotong hingga sebatas panggul dan dikenakan sebagai luaran di atas kemban yang biasa dipakai. Di kemudian hari, kemban pun menyatu dengan pola kebaya kutu baru. Kebaya jenis ini biasanya dipasangkan dengan setagen yang melilit di pinggang dan kain batik panjang. Dalam perjalanannya, kebaya terus mengalami perubahan dan beradaptasi sesuai kelompok pemakai dan zamannya.
BUSANA SEMUA PEREMPUAN
Di awal abad ke-19, wanita bangsawan Jawa menghadirkan busana yang dinilai lebih anggun dan tertutup dengan menghilangkan bagian depan (belahan) pada kebaya. Ujung bawah baju pun dibuat lebih panjang hingga menutupi seluruh area pinggul. Tekstil yang dipakai lebih tebal dan polos. Kebaya ini lantas dikenal sebagai kebaya kartini dan biasanya dipadukan dengan kain batik panjang.
Kemudian kebaya encim diperkirakan lahir dalam komunitas China Peranakan di tanah Jawa pada awal abad ke-20. Wanitawanita keturunan China di zaman itu umumnya memadukan kebaya dengan sarung batik bermotif bunga, kupu-kupu atau burung dalam warna-warni cerah. “Istilah kebaya encim kemudian diperdebatkan karena encim adalah sebutan untuk adik dari ibu,” ujar Didi Budiardjo, desainer senior yang fasih mengolah kebaya. “Kebaya jenis ini lebih tepat disebut kebaya nyonya,” tambahnya.
Keindahan kebaya peranakan ini tersebar hingga negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Dalam buku Kebaya Tales (2010), penulis asal Malaysia Lee Su Kim menceritakan keindahan kebaya nyonya asal Pekalongan yang diwarisi dari ibunya dengan berbagai kisah kehidupan yang turut menyertainya.
Tak hanya itu saja, wanita-wanita Belanda yang datang dan tinggal di Indonesia juga terpesona dan ikut mengadaptasi kebaya. Kebaya versi mereka umumnya monokromatik dan terbuat dari brokat halus atau renda dan biasa disebut dengan kebaya noni. Memang asimilasi budaya selalu terjadi dua arah, demikian juga dengan pengaruh dalam berbusana. Di awal abad ke-20, ketika para wanita Belanda banyak yang mulai mengenakan kain dan kebaya, tetapi wanita-wanita Indonesia, terutama dari kalangan atas, malah mengadopsi rok yang dianggap lebih modern. Ya, terlepas dari pasang-surutnya, kebaya tak pernah hilang lenyap dari nusantara.
Apalagi ketika masa penjajahan Jepang, pemakaian kebaya dan busana asli Indonesia sempat sangat digalakkan, terutama untuk menghapus pengaruh budaya Barat. Setelah kemerdekaan Indonesia, kebaya seakan naik daun. Kehadirannya diapresiasi, bahkan dihormati di dalam Istana Negara. Seperti Ibu Fatmawati Soekarno yang selalu tampil berkebaya dengan pakem Jawa dan Sumatera, terutama saat kunjungan-kunjungan resmi kenegaraan. Ibu Tien Soeharto juga memiliki gaya berbusana yang khas, yaitu kebaya kutu baru yang dikenakan lengkap dengan setagen dan sehelai selendang polos dan disampirkan di salah satu bahu.
Kemudian di tahun 1978, kebaya ditetapkan sebagai busana nasional wanita Indonesia dalam sebuah lokakarya di Jakarta. Lokakarya ini dihadiri oleh perwakilan-perwakilan budayawan dari keseluruhan 28 provinsi di Tanah Air. Saat itu ada empat jenis busana yang jadi kandidat busana nasional, yakni kemban, kebaya, baju kurung, dan baju bodo. Dari empat busana itu, kebaya disepakati jadi representatif busana nasional Indonesia. Ada sejumlah alasan yang membuat kebaya diakui menjadi busana nasional, mulai dari filosofi, sejarah yang panjang, hingga estetika. Keputusan lokakarya ini kemudian diteguhkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun
1987 tentang Protokol Penataan Busana Nasional yang Harus Dipakai pada Acara Resmi dan Non Resmi oleh Perempuan Indonesia.
Dalam peraturan tersebut, kebaya termasuk dalam salah satu busana nasional yang wajib dikenakan ibu negara saat acara-acara resmi. Pemakaiannya pun harus dipadukan dengan kain atau sarung batik yang sesuai dan rambut bersanggul klasik.
EVOLUSI KINI
Memasuki era '80-an, kebaya seakan turut bertransformasi. Berbagai inovasi menjadikan kebaya tak lagi sekadar warisan budaya masa lalu yang kaku dan tak mengikuti zaman. Salah seorang pelopornya adalah almarhum Prajudi Admodirdjo, yang melahirkan kebaya dari bahan organza. Dalam catatan mendiang Muara Bagdja, jurnalis dan pemerhati mode, Prajudi memberikan napas baru pada kebaya dengan pangkal lengan menggelembung dan memakai lipit. Kemudian di saat yang sama, desainer kelahiran 1950, almarhum Ramli membuat gebrakan dengan mengombinasikan bordir, payet, dan manik-manik yang dirangkai di atas kain lalu diaplikasikan di atas kebaya.
Pada dasawarsa berikutnya, desainer Edward Hutabarat yang mendalami tenun ulos dan sempat berpameran di Belanda bersama almarhum Prajudi Admodirdjo, hadir sebagai pembuat kebaya yang tetap mengedepankan pakem busana nasional. Sementara desainer asal Semarang, Anne Avantie, justru kembali menampilkan kebaya modifikasi yang ia olah ketat memeluk tubuh lengkap dengan ekor panjang, serta bahan menerawang bertabur manik-manik. Kebaya yang awalnya sederhana, kini berubah menjadi sebuah perlambang pesta yang eksotis. Sederet desainer seperti Biyan Wanaatmadja juga turut mengolahnya dengan sentuhan tradisi. Ada pula desainer lain yang memadukan pemakaian kebaya bersama denim, rok, dan bahkan celana pendek di berbagai panggung mode.
Namun, apakah yang seperti ini melanggar pakem? Desainer Edward Hutabarat, yang sudah 35 tahun berkarya di industri mode ini mengemukakan jawabannya, “Busana nasional adalah bagian dari peradaban bangsa ini. Jadi jangan sampai diobrakabrik modelnya hingga menanggalkan esensi dan pakemnya, terutama kebaya yang dikenakan untuk ritual resmi dan sakral.” Desainer yang kerap disapa bang Edo itu kemudian melanjutkan pendapatnya, “Kebaya yang mencerminkan keanggunan, kearifan, dan kebersahajaan perempuan Indonesia ini bisa dipakai apa adanya, dengan memadukan bersama berbagai wastra nusantara.”
Sementara desainer senior Didi Budiardjo berpendapat bahwa, “Mau diobrak-abrik, atau dipadukan dengan apa pun, monggo silahkan. Itu kan fashion, bukan kebaya yang pakem. Sejauh tidak melanggar esensi kepatutan dan norma ketimuran kebaya, tidak ada batasan lain dalam mengolah kebaya, karena kreasi kebaya batasannya hanya langit.” Ia pun menegaskan, “Kita sebagai orang Indonesia harus tahu hakikat hakiki kebaya itu seperti apa.”
Pendapat senada juga diutarakan oleh desainer Tanah Air yang sudah lama malang melintang di industri mode, yaitu Josephine Komara atau yang akrab dipanggil Obin. “Ketika kita bicara tradisi, mestinya tak hanya terpaku pada pakem, benar atau salah, tapi pantas atau tidak. Dan untuk itu juga mesti disesuaikan dengan perkembangan zaman,” tambahnya. Obin lewat rancangan kebayanya seperti ingin mengajak publik untuk menikmati bagaimana proses eksplorasi terhadap kekayaan tradisi Indonesia itu menyenangkan, dan tak ada habisnya. Ia selalu berupaya menemukan sesuatu yang baru lewat siluet, permainan teknik, cutting, dan membuat kain tradisional tampil sedinamis mungkin. Menurutnya upaya eksplorasi tradisi ini sudah ia lakukan sejak lama, dari tahun 1980-an. Sehingga bagi Obin tidak ada yang perlu ditakuti, walau beberapa opini akan bilang keluar dari pakem. Karena bagaimanapun, tradisi mesti bertumbuh, ada unsur kebaruan, dan wanita masa kini butuh yang praktis namun tetap cantik. “Maju ke depan, ke dunia masa kini. Tanpa meninggalkan asal-usul dan jati diri,” jelas Obin.
Kemudian desainer Oscar Lawalata menyatakan persetujuannya jika kebaya tidak selalu harus bersiluet lekat dengan tubuh. “Dengan kekayaan material dan teknik penempatan aplikasi yang tepat, kebaya pola longgar dapat berevolusi menembus zaman dan konsisten memancarkan keanggunan,” ungkapnya. Teknik patchwork, teknik telisik kain adalah sebagian metode yang memberi makna baru pada material sutra yang dominan ia gunakan. Nampaknya, romansa Oscar pada kain nusantara tak hanya memberikan tampilan kontemporer yang baru, namun juga mampu memberikan makna filosofis mendalam pada sepotong busana. Seperti kalimat penutup yang ia ucapkan, “Kebaya memberikan makna kepada kami, kami memberi makna untuk kebaya.”
Pada akhirnya, berkebaya atau tidak adalah sebuah pilihan. Menghidupkan budaya Indonesia bukan hanya dengan mengenakan kebaya atau bahkan mengenakan kain. Lebih dari itu, menemukan kontekstualisasi dari warisan budaya masa lalu dan menghubungkannya dengan masa kini menjadi sesuatu yang mutlak untuk dilakukan. Menyambungkan dua titik dari masa silam ke masa depan memang bukan perkara mudah. Kebanyakan orang Indonesia sering terjebak pada satu titik. Entah memilih merayakan budaya dengan kembali ke masa lalu, atau menemukan benang merah dalam titik modernitas.
Berkebaya dengan segala ragam padanannya bisa menjadi satu cara. Atau jalan lain adalah berupaya mengenakan busana buatan dalam negeri yang hakikatnya merayakan Indonesia dengan visi baru yang lebih modern.
Detail khas kebaya modifikasi
n
fashion week
SEJUMLAH RUMAH MODE MEMILIH ADAPTASI KOLEKSI “TANPA MUSIM” PADA MODEL BISNIS MEREKA. INIKAH AKHIR DARI PAKEM YANG DIKENAL SELAMA INI? OLEH YUDITH KINDANGEN