Harper's Bazaar (Indonesia)

AJARAN IBU PERTIWI

-

Styling

FOTOGRAFI OLEH DAVY LINGGAR

Sore di perumahan yang teduh, Bazaar menghabisk­an hari itu dengan sejarah Indonesia. Topik perbincang­an dengan kakak beradik, Jay dan Chitra Subyakto, pun mengingatk­an setiap generasi penerus bahwa inspirasi bisa datang dari negeri sendiri, jangan lupa berbagi, dan dunia politik itu tidak selalu negatif. Merekalah saksi hidupnya.

HARPER’S BAZAAR (HB): Dibesarkan di kontinen yang berbeda, apa yang sering kalian bicarakan saat membahas Indonesia? CHITRA SUBYAKTO (CS): Karena saya seorang adik, pasti saya paling banyak belajar. Kita ngobrol apa ya, mas?

JAY SUBYAKTO (JS): Jadi begini, sampai umur enam tahun saya tinggal di Turki dan Yugoslavia. Di sana, saya bersama kakak-kakak lebih banyak diberi tahu tentang Indonesia. Sebaliknya dengan Chitra, karena dari lahir dia sudah di Jakarta, dia tidak perlu dikasih tahu banyak tentang Indonesia. Zaman dulu, orang tua itu takut kalau anaknya tidak cinta dan tidak kenal dengan Indonesia. Jadi, ayah selalu bilang kalau kita adalah duta bangsa Indonesia. Saat di luar negeri jangan terus berbusana seperti orang luar, tapi justru harus Indonesia. CS: Benar, ibu itu selalu bikin kebayanya sendiri. JS: Iya. CS: Semuanya sendiri. Tidak pernah ke salon, ke penjahit pun tidak pernah. JS: Semua serba sendiri. Salah satu ajaran ayah terhadap saya untuk menjadi duta bangsa ini adalah waktu saya dibawa ke tempat-tempat yang ada racist-nya. Di situ ayah saya bilang bahwa di Indonesia tidak ada yang namanya rasialisme, semuanya gotong royong. Jadi diberi contoh kalau di sana itu sangat individual­is, di Indonesia justru kebalikann­ya. Itu yang ditanamkan ke saya.

CS: Contoh yang paling dekat ke saya adalah ajaran ibu tentang kain. Dari koleksinya, ibu bercerita tentang sejarah kain, tanpa saya sadari itu sangat menempel. Jadinya, kalau bepergian saya selalu mencari kainnya. Dari kain, kita bisa tahu budaya di situ seperti apa, udaranya bagaimana. Intinya, mereka mengajarka­n kita harus melihat sesuatu lebih dalam, tidak hanya luarnya saja.

JS: Kita memang diajarkan kalau keindonesi­aan itu jangan dekoratif. Sewaktu ibu masih menjadi ibu Duta Besar, kalau diundang ke pesta, ibu tidak berbusana menggunaka­n ball gown, dia tetap memakai kain. Jadi, dia kasih tahu ke Chitra bagaimana cara mengombina­sikan kain dengan fur, dan jadinya tidak sok Barat. Fungsional tapi tetap Indonesia. Sama dengan perhiasan, ibu mengoleksi cincin dan kalung Majapahit. Dia tidak beli Van Cleef & Arpels, ya. Sewaktu mereka masih hidup, kita sering pergi berlibur ke Yogyakarta, Bali, atau ke daerah lainnya. Dibawa ke candi, ke gunung, ke toko antik, bukan tempat yang terlalu turis. Pokoknya ke tempat yang anak kecil kurang suka!

CS: Saya ingat sekali kalau hari Minggu, pasti dibawa ke toko buku! Terus selalu tanya, “Kita boleh beli berapa kalau beli buku?” Jawabannya selalu terserah. Kalau mainan, tidak boleh.

JS: Kalau sekarang, kita sering berkumpul karena kerjaan, ya? CS: Iya!

JS: Saya juga banyak kerjanya sama Chitra. Tapi saya sangat berutang budi dengan kakak saya, Sita. Dia yang pertama kali mengajak saya untuk foto secara komersial. Dengan Chitra karena saya banyak bikin pertunjuka­n musik. Tapi saya tidak mau dibilang KKN! Bukan! Dia punya prestasi di mana-mana baru saya rangkul. Dulu kita pernah sepakat kalau tahun baru harus pergi sama-sama. Topik yang dibicaraka­n pasti bagaimana kita merindukan orang tua, lalu bicara tentang keadaan bangsa, politiknya, dan juga manusianya. Untungnya saya, Chitra, Sita, dan yang lain itu selalu punya pekerjaan yang berhubunga­n dengan seni. Kita selalu mencoba menampilka­n keindonesi­aan kita zaman sekarang. Kreativita­s kan juga harus dikembangk­an.

CS: Sesuai zamannya ya.

JS: Iya, dan selama ini kita sudah di jalur yang benar.

HB: Berhubunga­n dengan edisi Cinta Indonesia, Bazaar ingin tahu bagaimana Pancasila diaplikasi­kan dalam keluarga Subyakto?

JS: Untungnya kita punya paman Mohammad Hatta. Ibu saya adalah adik dari ibu Rahmi Hatta. Jadi setiap pulang sekolah saya selalu jemput ibu di rumah Bung Hatta. Nah, kala itu Bung Hatta bercerita bagaimana dia dan Bung Karno menemukan Pancasila. Yang bukan main adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kelihatan sekali bahwa dua founding fathers ini sangat menjunjung tinggi frasa Bhinneka Tunggal Ika. Keberagama­n yang harus dipelihara, toleransi, dan agama. Untung sekali buat saya bisa melihat sosok Bung Hatta, ya. Seorang politikus yang benar-benar berjuang untuk bangsa dan negaranya, tidak korupsi, jujur, kemudian mau mengundurk­an diri kalau tidak sejalan. Jarang sekarang kita lihat tokoh-tokoh politik yang pemikirann­ya bukan main seperti Bung Hatta ini.

CS: Karena saya waktu itu masih kecil, saya sering dibawa sama ibu untuk main ke situ. Kita manggilnya om Hatta, ya.

“ZAMAN DULU, ORANG TUA ITU TAKUT KALAU ANAKNYA TIDAK CINTA DAN TIDAK KENAL DENGAN INDONESIA. JADI, AYAH SELALU BILANG KALAU KITA ADALAH DUTA BANGSA INDONESIA.”

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia