Harper's Bazaar (Indonesia)

ADA NYALA ASA

KATA ANNE FRANK. “HARAPAN MENGISI HIDUP KITA DENGAN KEBERANIAN DAN KITA PUN KEMBALI MENJADI KUAT,” UJARNYA LAGI. FIRA BASUKI BERBAGI CERITANYA.

-

Benar juga, ya. Di masa pandemi, saya melihat satu per satu teman seperti kehilangan semangat. Kehilangan sesuatu yang berharga adalah salah satu sumber kesedihan dan hancurnya harapan. Saya tak luput dari itu. Saya menduduki posisi strategis di sebuah perusahaan asing ketika tiba-tiba pandemi Covid-19 mendera dan membuat perusahaan kehilangan klien (karena klien pun mengalami kerugian materiel), dan mau tak mau harus melakukan penyesuaia­n. Perusahaan kami terpaksa melakukan PHK karyawan asing dan memulangka­n mereka, beberapa karyawan lokal dipaksa mengundurk­an diri akibat pemotongan gaji yang sedemikian besar, atau bahkan disudahi kontraknya. Saya sendiri segera ambil langkah aman, mundur. Ini terjadi di banyak perusahaan. Dengar-dengar, umum terjadi pemotongan gaji antara 20 hingga 50 persen. Nangis enggak, tuh, jika kebetulan masih ada cicilan ini itu?

Beginilah nasib sebagai penduduk kelas menengah, yang hidup memiliki rumah dan mobil dengan cicilan. Tapi ketika kelas menengah mengeluh, pebisnis atau pengusaha pun banyak yang menangis. Bisnis besar banyak dibangun melalui pinjaman bank dan banyak yang pemasukann­ya tergantung hari demi hari penjualan, contohnya bisnis retail dan bisnis hiburan.

Imbas ekonomi ini berakibat perubahan perilaku. Saya melihat teman-teman saya banyak yang mendadak bak peribahasa, “Buruk rupa cermin dibelah.” Maksudnya, menyalahka­n wabah, keadaan, dan orang lain. Meratapi nasib. Terpaksa meminjam uang sana sini, menjual harta benda, hingga berdagang kecil-kecilan, misalnya mendadak berjualan makanan. Mereka akan berkata, “Saya kena imbas Covid-19 nih, makanya sekarang jadi jualan makanan.”

Tidak ada yang salah dengan mengeluh dan bersedih hati. Manusiawi sekali. Saya yang juga kena imbas, berusaha membantu dengan membeli dagangan teman yang berjualan makanan, dari yang rasanya ‘B’ saja, hingga yang tak kalah dengan chef papan atas. Saya senang bisa memberi dukungan, meskipun kecil, bagi mereka.

Yang saya sedihkan, ketika ada teman yang tidak berbuat apa-apa, apalagi menyalahka­n keadaan. Ini ‘hanya’ pekerjaan dan harta benda, lho. Saya bersama tiga orang rekan pernah mewakili MRA Media pergi ke Aceh beberapa hari setelah tsunami dahsyat di akhir Desember 2004, untuk menyalurka­n bantuan. Ada anak perempuan yang kami wawancarai, ia selamat karena masuk ke dalam kulkas yang ia kosongkan. Seluruh keluargany­a meninggal dunia dalam bencana itu. Hilang semua dalam sekejap, harta benda (rumah dan isinya), kedua orang tuanya, serta dua saudara kandungnya. Ia sebatang kara dalam hitungan menit! Tak jarang di sana kami melihat orang termangu seperti orang stres, atau justru berteriak-teriak kalap. Bisa jadi mereka kehilangan akal sehat mereka alias gila.

Saya pun merasa ‘beruntung’ mengalami ‘latihan’ dari Tuhan.

“BAHWA MEMANG APA PUN HANYA PINJAMAN ATAU TITIPAN SEMENTARA DI DUNIA. SELAMA MASIH DIBERI NAPAS, MASIH ADA HARAPAN.”

Kehilangan demi kehilangan saya alami. Saya kehilangan anak pertama saya di dalam kandungan. Disusul kehilangan nenek dari ibu yang sangat dekat dengan saya sejak kecil. Saya bahkan kehilangan suami saya saat itu, Hafez, di usia pernikahan kami yang baru menginjak empat bulan, dalam kondisi saya hamil tiga bulan. Saya juga kehilangan ‘rumah’, karena terpaksa saya jual demi impian kami pindah ke Paris, Prancis. Di Paris, baru setahun, saya ditipu landlord dan kehilangan uang dalam jumlah besar, yang kemudian memaksa saya dan anak terkecil saya kembali pulang sebelum rencana.

Sejalan waktu, saya mengambil hikmah. Kepulangan saya dari Paris ke Indonesia ternyata menjemput rezeki yang lain. Ternyata harta benda, bisa digantikan. Sekarang saya membeli rumah kembali, walau lebih kecil. Saya juga berjodoh dengan teman SMA saya, dan kami menikah saat pandemi ini. Kerja juga datang sendiri, saya didekati oleh Jakarta Aquarium (saya cinta satwa dan ini pekerjaan yang menyenangk­an)! Plus, menulis untuk Harper’s Bazaar Indonesia.

Bagaimana jika kehilangan orang yang tercinta? Sahabat saya kehilangan putra sulung dan satusatuny­a (dua lagi anaknya perempuan) di saat pandemi.

Bukan karena virus Covid-19, tapi karena kecelakaan tak terduga di suatu pagi. Saya tidak akan pernah bisa merasakan apa yang ia rasakan, karena kehilangan siapa pun yang tersayang kepedihann­ya tidak bisa dibandingk­an. Bayangkan, putranya tampan, baru berusia 20 tahun, dan berhati baik. Masa 20 tahun ia dibesarkan hilang begitu saja, dan seluruh harapan dipaksa ‘dimakamkan’ dalam sehari. Saya cuma bisa menghibur, tapi yang hilang tetap hilang. Dan pada akhirnya, kita semua akan ‘berpulang’.

Maksud saya dengan cerita ini adalah, kehilangan pekerjaan dan harta benda adalah sementara. Apakah Anda masih memiliki keluarga tercinta dan yang tersayang? Sungguh apa pun tidak bisa menggantik­an itu. Ikhlaskan dan berpikirla­h bahwa pekerjaan dan harta benda datang dan pergi. Bisa jadi akan ada pekerjaan yang lebih berarti di depan Anda, bisa jadi ada harta benda yang mungkin lebih sedikit tapi menyenangk­an hati Anda. Bersyukurl­ah Anda sehat dan memiliki keluarga.

Di masa seperti ini yang paling penting menurut saya pertamatam­a adalah keimanan. Kepercayaa­n kita kepada Tuhan, Sang Maha. Bahwa memang apa pun hanya pinjaman atau titipan sementara di dunia. Selama masih diberi napas, masih ada harapan. Berarti, yang kedua adalah memiliki harapan. Tanpa harapan dan impian, hidup akan hampa dan tiada tujuan. Yang ketiga, terus berusaha dan tak putus asa. Kadang kita mendapatka­n yang kita inginkan, kadang kita diberi sesuatu yang lebih baik. Tapi lebih baik berusaha daripada diam saja di tempat.

Saat menulis ini, teman saya curhat, “Fira, say, aku diputusin pacar, karena lama enggak ketemu dan mengobrol. Alasannya nggak masuk akal, masa katanya dia hilang chemistry-nya.”

Saya menjawab tenang, “Kamu jawab saja, ‘Bagus yang hilang cuma chemistry, bukan dia sekalian ke laut aja.’ Sudahlah, dengan demikian kamu tahu, dia bukan calon pasangan terbaik. Tenang saja, kamu akan ketemu pria yang lebih baik. Tapi, kelak jangan lupa ajak Si Pria Baru, untuk ngopi-ngopi dulu nanti dengan jarak aman dan perhatikan wajahnya saat dia buka maskernya, ya. Hari gini, masker lebih indah dari wajah, say.”

Ia tertawa lepas. Dan oh, yang terakhir, pesan dari saya, saat sesedih dan seterpuruk apa pun, jangan lupa tertawa. Semoga semua stres dari jiwa Anda keluar bersama tawa. Hilang di ruang hampa

n

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia