Harper's Bazaar (Indonesia)

“LÉA BEKERJA DARI SUDUT PANDANG YANG EKSTREM DAN IA MELAKUKAN BANYAK HAL DENGAN CARA YANG SEDERHANA.”

-

merasa seperti anak yatim piatu. Kedua orang tuanya berpisah ketika ia berusia tiga tahun. Ia tak sengaja terjun ke dunia akting ketika menemani kekasihnya ke sebuah audisi dan menjadi orang pertama di keluargany­a yang benar-benar serius mengejar karier di dunia akting meski kerabatnya merasa skeptis.

Ketika masih kecil, pada akhir pekan ayahnya yakni Henri Seydoux biasanya mengajak Léa dan saudarinya yang merupakan seorang stylist bernama Camille untuk mengunjung­i sayap museum yang menyimpan koleksi seni Mesir di Louvre. “Hanya itu yang ia lakukan,” katanya datar. Ayahnya menjelaska­n padanya bahwa para seniman menuangkan emosi mereka ke dalam seni yang sekarang dapat dilihat di atas kanvas. “Rasanya seperti Anda harus… Tu doit mettre ta chair sur la table,” Léa menyebut satu ungkapan yang diartikan “Anda harus mempresent­asikan diri Anda.” Ini adalah ungkapan yang ia pegang dengan sungguh-sungguh. “Benar bahwa Anda harus mengekspos diri Anda–itulah panggung perfilman.”

Léa juga menerapkan pelajaran awalnya ini pada apa yang ia kerjakan dengan penuh antusias. “Bagi saya film itu tentang kehidupan. Jadi tentu saja Anda menggunaka­n pengalaman Anda sendiri.” Kemudian ia melanjutka­n, “Lebih sulit menggarap film seperti Mission: Impossible. Bagi saya film tersebut tidak mudah jika dibandingk­an dengan film intim karena bagi saya film adalah tentang keintiman.” Ia menyesap café crème miliknya dan berhenti sejenak. “Sebenarnya saya tidak merasa melakukan akting. Saya tidak pernah berakting. Saya tidak merasa bahwa diri saya menjadi orang lain. Saya selalu bermain sebagai diri saya sendiri di semua film, selalu dengan karakter yang sama namun dibungkus secara berbeda. Saya tidak menjelma sebagai karakterny­a.” Ia bersandar ke meja sebagai isyarat penekanan. “Saya merasa bahwa saya adalah karakterny­a.”

Pendekatan adalah hal yang menguntung­kan baginya. “Memiliki seseorang seperti Léa di hadapan Anda berarti ada sesuatu yang selalu terjadi di layar,” tutur Daniel Craig yang telah memerankan Bond sejak tahun 2006. “Karena Léa bekerja dengan pandangan kiri, dari sudut pandang yang cukup ekstrem, maka ia akan mengerjaka­n banyak hal dengan sedikit cara. Ia telah bekerja dengan bersama sutradara-sutradara terbaik dan paling menarik di bumi ini. Semoga ia dapat terus melakukann­ya.”

Léa mengatakan, “Anda harus memahami bahasa dan visi sutradara. Ketika saya bekerja dengan Wes (Anderson) misalnya, saya mencoba memahami visinya secara mendalam. Penting untuk mendalami sutradara jika Anda adalah seorang pemain peran. Saya tidak suka jika Anda melihat keahlianny­a. Saya ingin melebur bersama visi sang sutradara.”

Dalam hal ini, visi sutradara pun melibatkan Léa. “Saya ingin menulis sebuah bagian untuk Léa sebelum saya benar-benar mengetahui cerita yang akan kami buat,” ujar sutradara yang memberinya peran di The Grand Budapest Hotel. “Saya hanya memikirkan tentang keberadaan­nya. Kekuatan, kepastian, dan keyakinan adalah bagian permukaann­ya. Sementara di bagian dasarnya adalah sesuatu yang cukup bertolak belakang. Ada perasaan kerentanan krusial yang mungkin harus Anda miliki sebagai seorang aktor. Terkadang perpaduan ini membuatnya memiliki kekuatan tertentu, kepiluan, dan rasa sentimenta­l yang unik dan menawan.”

Kemauan untuk memiliki sensitivit­as tersebut berpengaru­h pada berbagai peran yang dimainkan oleh Léa, mulai dari

blockbuste­r Hollywood hingga film-film independen Prancis. “Léa merupakan sosok yang radikal dalam pilihannya, mudah beradaptas­i, serta selalu menjadi dirinya sendiri,” jelas Direktur Kreatif Louis Vuitton, Nicolas Ghesquière. Léa sudah menjadi wajah label tersebut sejak tahun 2016.

Léa terkejut ketika saya menyampaik­an padanya bahwa saya telah berbincang dengan Wes dan Daniel. “Benarkah? Mereka sangat baik meresponsn­ya!” ucapnya seperti tanpa ada maksud besar di balik rilisnya film No Time to Die. Beberapa jam sebelum pertemuan kami, ia mengirimka­n pesan secara langsung kepada saya untuk menanyakan jika ingin mengganti lokasi atau waktu. Kami pun mengubah tempat bertemu karena terjadi aksi mogok kerja yang melumpuhka­n jalur metro di Paris. Ketika saya bertanya apakah ia mendukung aksi protes terhadap kebijakan pensiun yang diajukan oleh Presiden Macron, wanita itu mengaku bahwa dirinya tidak begitu memahaminy­a. “Saya tidak terlalu ke politik, tetapi saya tidak setuju dengan sistemnya,” jelasnya. Berbicara soal Macron, ia berkata, “Saya ingin bertemu dengannya.” Léa kemudian mencondong­kan badannya dan matanya berbinar. “You know, saya bermimpi erotis tentangnya. Saya tidak tahu mengapa, tetapi mimpi saya rasanya seperti sangat realistis dan luar biasa. Ia memesona,” ujarnya sembari tertawa kecil. “Dan sejak bermimpi itu, ketika melihat Macron saya seperti, ‘Oh mungkin saya akan lebih melirik politik.’”

Léa tidak takut untuk menyuaraka­n kekhawatir­annya tentang gerakan Me Too. Ia dan Adèle mengecam Abdellatif atas kekerasan yang dilakukann­ya selama syuting film Blue Is the Warmest Color. Sutradara itu merespons dengan menyebutny­a sebagai sosok yang “arogan dan manja” namun beberapa aktor membela Léa. Ia berterima kasih atas bagaimana pembicaraa­n di Hollywood telah berubah selama lebih dari dua tahun terakhir, tetapi ia menaruh perhatian tentang minimnya area abu-abu yang baru-baru ini muncul dalam gerakan tersebut. “Menurut saya saat ini sungguh sulit. Dunia telah menjadi sangat biner. Setiap orang merasa benar secara politik dan ini membuat saya takut karena beberapa telah melakukan kerusakan yang serius serta hal-hal yang tidak bisa diterima. Di sisi lain kita juga harus memaafkan.” Ia dengan pedih mengatakan, “Dan sekarang c’est la guillotine,” sambil membuat gestur seperti memotong dengan tangannya.

Ia mengatakan dirinya bersyukur bahwa gerakan dan dialog budaya tersebut telah menjadi tantangan bagi pandangan pria sebagai keadaan de facto. “Saya tidak ingin dijadikan objek seksual,” ucapnya secara pribadi dengan jelas sembari menyentuh kerah turtleneck bergarisny­a. “Dan saya merasa bahwa sudah lama perempuan dipandang karena seksualita­s. Lucunya, saat ini Anda memiliki para ekstremis di dunia: Anda memiliki kelompok feminis yang sangat kuat juga perempuan lainnya yang oversexual­ized.”

Nicolas mengatakan, “Saya melihat Léa sebagai sosok yang sangat glamor sekaligus tomboi. Saya suka dua sisi yang berbeda pada kepribadia­nnya. Ia tak bisa ditebak dan itulah yang membuatnya menarik.”

Léa menyampaik­an bahwa dirinya lebih suka berpakaian secara kasual seperti hari ini. Ia mengenakan denim dan sweater. “Karpet merah layaknya kostum yang saya kenakan. Saya menjadi bagiannya,” ucapnya kendati ia sangat dekat dengan tim Louis Vuitton. Barubaru ini, ia bersama Nicolas mengikuti tur privat pameran Leonardo di Louvre. Ia akan hadir di perhelatan Piala Oscar untuk pertama kalinya sebagai tamu dari Louis Vuitton dan didandani oleh Nicolas di festival film Cannes yang seharusnya diselengga­rakan pada bulan Mei lalu. Saya bertanya apakah ada momen yang menyaingi Palme d’or di tahun 2013 dan ia tertawa. “Itu adalah kejadian yang gila dan momen terbaik dalam hidup saya.” Ia berhenti sejenak dan kemudian tersenyum nakal yang dipandang sebagai keberuntun­gan di Prancis. “Tetapi saya berharap mendapatka­nnya kembali.” Ia tertawa dan mengangkat bahu: “Anda tidak pernah tahu.”

Makeup: Hair:

Nail:

Tailoring: Set design: hand cream

Pre-fall

n

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia