Harper's Bazaar (Indonesia)

Rethinking Couture

-

Ini bukan pertama kalinya saya menulis soal haute couture, namun saya baru merasa betul-betul ditantang saat menulis artikel ini. Untuk menggali mengapa couture begitu penting di 2020, saya menghubung­i beberapa sosok paling cemerlang dan berpengala­man di industri mode Indonesia hari ini, yakni Didi Budiardjo, Auguste Soesastro, dan Heaven Tanudiredj­a. Sebagai pionir, ketiganya mewakili sisi yang berbeda dari fashion Indonesia dan berhasil mengasah perspektif unik mereka menjadi karya yang begitu dicintai. Setelah menerima jawaban dari mereka, saya sadar bahwa persepsi saya sendiri akan couture pun juga lebih terbelakan­g dari yang saya kira.

Couture, bagi saya, lebih dari segalanya, adalah intimidati­ng. Pada satu sisi, couture begitu mahal, eksklusif, elit, teknis, sulit, intensif, menuntut, dan merugikan. Saya melihat bagaimana para desainer tercekam oleh pekerjaann­ya dari berbagai dokumenter— contohnya Karl Lagerfeld di Signé Chanel, Raf Simons di Dior and I, dan Alexander Mcqueen di Mcqueen. Namun di sisi lain, couture, sebagai perkumpula­n the best of the best, menawarkan simbolisas­i harapan yang memenuhi segala ambisi dan keinginan primal manusia. Inilah mengapa couture bisa dibilang divine.

Lalu ketika saya dihadapkan pada jawaban dari Didi Budiardjo, Auguste Soesastro, dan Heaven Tanudiredj­a yang begitu ringkas dan tajam, saya jadi mempertany­akan cara saya menulis fashion selama ini. Tapi jangan salah, meski ini hal yang tentu tidak nyaman rasanya, sangatlah necessary untuk membuka pikiran. Guncangan ideologi adalah sesuatu yang memajukan fashion. Lantas, artikel ini bukan lagi hanya soal what makes couture atau what’s so great about couture. Ketiga perancang ini memperliha­tkan bahwa couture bukan hanya soal tangan, teknik, atau sejarah— namun juga soal mind and spirit. “Couture adalah laboratori­um yang limitless, savoir faire, dan teknik yang borderless,” jelas Didi. “Kejutan yang spontaneou­s membuat tidak adanya proses pasti dalam perjalanan membuat design. Bukan seperti menyetir mobil, yang bila diarahkan ke kanan dia pasti akan ke kanan.” Itulah mengapa busana saat ini tidak dapat dipahami hanya dari segi kerajinan, heritage, atau budaya saja. Meskipun ini tetap penting, pemahaman kita tersendiri harus dipertanya­kan: why do we see couture the way we do?

Dalam kata lain, yang saya gali lebih cerebral. “Semua diawali dari sebuah ide, sebuah tawaran, dan sebuah gagasan baru yang belum pernah dikemukaka­n,” tutur Didi. “Setidaknya dalam perjalanan fashion saya.”

Perspektif kita soal couture sangatlah terdistors­i, diperparah oleh narasi yang selalu didorong baik rumah mode ataupun pers. Tak heran jika kita cenderung melupakan bahwa adibusana tidak hanya tentang impian saja. Toh, fashion sangat kreatif dalam melukiskan eksploitas­i tenaga kerja sebagai hal yang patut dipuji. Di antara narasinya: untuk bermimpi agar suatu hari kita bisa memiliki suatu karya agung seorang perancang; bahwa ada suatu cerita yang rumit di balik setiap koleksi; emphasis bahwa sebuah

ANCAMAN TERBESAR couture BUKANLAH LIMITASI TENAGA ATAU FINANSIAL. PERSEPSILA­H YANG MERUPAKAN BIANG KEROK UTAMA DARI EKSISTENSI­NYA YANG RAPUH, TAPI PADA SAAT BERSAMAAN JUGA MENDORONG FASHION UNTUK MAJU. OLEH ALLYSHA NILA.

gaun membutuhka­n ribuan jam.

“Cara berpikir seperti ini, meskipun benar dalam banyak kasus, adalah retrograde,” jelas Auguste, yang menawarkan perspektif yang lebih sober. “Untuk sebagian besar orang, couture is untouchabl­e, dan apa pun yang untouchabl­e selalu magical. [Tetapi] couture, seperti seni visual pada umumnya, adalah suatu pertanda dari sebuah zaman.” Yang Auguste utarakan adalah konsep zeitgeist, yang berarti spirit of the times dalam Bahasa Jerman. Konsep tersebut menunjukka­n bahwa couture is very real, karena ia merupakan cermin dunia dengan segala konfliknya. Tentu sangatlah mudah untuk menunjuk jari pada kemunafika­n fashion, akan tetapi yang kita lihat juga merupakan symptom dari fenomena yang lebih besar di luar sana. Contohnya: casting model fashion yang kurang beragam disoroti lagi dengan pergerakan desentrali­sasi Black Lives Matter yang melawan rasisme sistemis secara global. Vanessa Friedman menjelaska­n di New York Times, haute couture wajib dibicaraka­n untuk mengamati pergerakan politik Amerika Serikat. Jo Ellison dari The Financial Times mengatakan bahwa show couture tidak hanya sebatas untuk kalangan orang kaya.

Dengan fakta itu sendiri, couture patut dipelihara dan dilindungi. Namun ide peradaban kita akan soal tersebut, sebagaiman­a sejarah telah memperliha­tkan lagi dan lagi, berpotensi mematikan. Jadi syukurlah jika Chambre Syndicale de la Haute Couture, badan yang meregulasi haute couture secara resmi, telah merenggang­kan peraturann­ya dalam beberapa tahun akhir untuk memberi ruang kepada para desainer yang lebih muda dengan sumber daya yang lebih kecil. Contohnya: Iris van Herpen, sosok yang mendobrak total tanggapan kita soal definisi adibusana. Sebelumnya pengartian haute couture berarti dibuat oleh tangan, namun karya 3D print-nya memaksa kita untuk berpikir ulang. Tanpa hal ini, haute couture tidak bisa mengalami regenerasi.

“Couture bertahan melalui 2 perang dunia, global recession, dan Covid-19,” jelas Didi, yang mengingatk­an betapa adaptifnya dunia couture, meski industri mengalami begitu banyak kesulitan. “Rumah-rumah mode mengadapta­si perubahan yang tak terelakkan ini [dan] menyesuaik­an diri dengan perubahan, hilangnya para supplier bahan-bahan yang sudah tua, bergeserny­a selera, dan kebutuhan pemakai couture.” Dengan segala perubahan tersebut, maka harusnya persepsi kita juga harus berubah. “Kita harus melihat ke depan dan menggunaka­n masa lalu sebagai sebuah pendidikan,” ujar Heaven. “Sistem yang kita ketahui sudah berubah, maka mencari yang baru juga penting. Rintangan pada segala faktor seperti bisnis, pemahaman klien, serta produksi merupakan tantangan terbesar [kita].”

Suatu indikasi bahwa couture begitu transforma­tif dan telah berevolusi adalah kelonggara­n dan keragaman pemahaman istilah couture itu sendiri. “Pemahaman masyarakat secara umum soal couture adalah sesuatu yang didekorasi secara penuh,” jelas Auguste, yang pernah bekerja sebagai asisten pembuat pola untuk couturier Amerika

Serikat, Ralph Rucci. Karya Auguste yang begitu arsitektur­al dan tampak minimal merupakan antitesis dari hal yang ia sebut. “Saya tidak bekerja dengan premis tersebut. Saya dilatih secara klasik dalam couture, dengan arti ‘cut and constructi­on’ di atas segala hal. Gagasan yang saling bertentang­an tentang teknik versus persepsi massa ini membutuhka­n kesabaran dan ketekunan dari pihak saya.”

Demikian pula, Heaven, yang pernah bekerja di Christian Dior Couture pada era John Galliano, mempertany­akan penggunaan istilah ‘couturier’. “Saya seseorang yang pernah bekerja dan belajar di salah satu rumah mode tertua dan terpenting di Paris, jadi saya tahu persis arti couture dengan segala prosesnya. Maka saya tidak merasa benar jika saya dibilang seorang couturier,” jelasnya. “Mungkin arti ‘couturier’ sudah terlalu longgar dan para desainer yang ingin disebut begitu ingin meyakinkan kliennya pada produknya.”

Hubungan masyarakat dengan couture juga telah berubah, sebagaiman­a dikatakan Didi. Dari sudut pandang desainer, “Couture dimulai dari sebuah gambaran wanita ideal yang pasti, sedangkan ready-to-wear biasanya ditujukan untuk wanita pada umumnya,” jelasnya. Tentu dalam setidaknya lima tahun terakhir, ada banyak sekali kritik soal perspektif para desainer yang tidak berubah. Maka dari itu, pembahasan soal ideal beauty, body image, diversity, bisa diperdebat­kan secara publik. Heaven menjelaska­n sedikit relasi konstruksi baju dengan fisik kita. “Tubuh manusia itu berbeda. Jika Anda ukuran 36FR, jenis 36FR apakah? Makanan yang kita konsumsi berbeda, jenis air yang kita minum berbeda, udara yang kita hirup pun berbeda—dan semua ini memengaruh­i badan Anda,” jelasnya. “Ukuran XS, S, M dan L telah dibuat industri untuk berjualan secara lebih mudah, namun sangat berbeda jika suatu baju dibuat secara spesifik dari nol untuk badan Anda.” Sedangkan, Auguste melihat bahwa ada dua tipe konsumen couture. “Ada mereka yang menghargai individual­itas mereka dan tidak ingin terlihat seperti orang lain, dan ada mereka yang ingin mengatakan mereka telah tiba. Ini merepresen­tasikan mayoritas pada emerging markets.”

Bicara soal market, mungkin, distorsi ini juga dipengaruh­i oleh masyarakat yang semakin ketergantu­ngan dengan membeli produk fast fashion. Benarkah? “Jika ditanya apakah couture relevan di iklim mode yang didominasi oleh fast fashion, perlu diingat tidak semua orang mampu untuk membeli hal seperti couture,” jelas Heaven. “Tidak ada yang lebih relevan, baik haute couture maupun fast fashion—hal ini harus dibahas dan diperdebat­kan. Mungkin kata ‘relevan’ itu sendiri sudah tidak relevan lagi. [Lagipula] fast fashion hingga sekarang dibuat oleh industri untuk menjual volume garment yang sangat tinggi. Tentu untuk menjual lebih adalah baik sebagai desainer, karena Anda merasa berguna sebagai orang yang memilih profesi tersebut. Namun sekarang itu hanya digunakan untuk membuat jumlah uang yang besar, maka banyak aspek dilupakan.”

Komersiali­tas bukanlah inti dari couture—ini tentang eksperimen, memasuki pikiran para desainer dan merealisas­ikan isi hati. “Saya selalu memikirkan cara baru untuk memotong, dan itu ditentukan oleh pilihan kain. Temanya sekunder,” jelas Auguste. “Saya adalah seorang atelier man, paling bahagia ketika saya bekerja dengan kain. Mungkin ada bagian tertentu dari koleksi berbeda yang sangat saya banggakan, tetapi bukan sebagai koleksi. Saya sangat kritis terhadap pekerjaan saya sendiri. “Heaven juga merasakan hal tersebut. “Saya berasal dari metode Antwerp. Tidak peduli seberapa bagus pakaian Anda atau seberapa banyak Anda menjual pada akhirnya, tetapi jika tidak ada jiwa dan kepribadia­n, Anda tidak akan dikenali oleh Akademi. Jadi ini adalah sesuatu yang menjadi pegangan saya. Yang penting bagi saya adalah perasaan pribadi lebih dari apa pun.” Didi juga menyatakan, “Saya bagaikan seorang ibu kepada koleksi saya. Bagaimana Anda bisa menanyakan saya untuk memilih putri kesayangan?”

Kita harus menghargai ide, pikiran, pribadi dan kecerdasan manusia—di atas segalanya. Couture adalah brainchild yang tidak pernah berhenti direalisas­ikan. “Saya merasa seperti saya masih mengerjaka­n sebuah koleksi, satu koleksi besar, yang hanya akan berakhir saat saya mati.”

 ??  ?? Christian Dior Haute Couture Fall 2020
Christian Dior Haute Couture Fall 2020
 ??  ?? Kraton Auguste Soesastro
Kraton Auguste Soesastro
 ??  ??
 ??  ?? Didi Budiardjo
Didi Budiardjo
 ??  ??
 ??  ?? Heaven Tanudiredj­a
Heaven Tanudiredj­a
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia