Harper's Bazaar (Indonesia)

Orientasi Oriental

-

DARI SEBASTIAN GUNAWAN, ADRIAN GAN, DANNY SATRIADI, HINGGA STELLA RISSA MENGUNGKAP KISAH DI BALIK KETERTARIK­ANNYA MENGAPLIKA­SIKAN GAYA ORIENTAL DI SETIAP HELAI RANCANGAN. OLEH YUDITH KINDANGEN

Jika kita bicara tentang kata Oriental, tentu tidak akan bisa memisahkan­nya pada apa pun yang dipunyai oleh Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea. Aksen kerah tinggi atau biasa disebut kerah Mandarin, kimono, maupun obi tampak begitu erat dengan sinonim kata tersebut. Apalagi mode Oriental sering kali menjadi ilham sederet desainer Indonesia hingga dunia. Mereka sepakat untuk mempertaha­nkan tradisi sebagai suatu misi yang kerap digalang. Terutama saat menjelang Tahun Baru China.

Di Indonesia, meski baru diakui beberapa tahun silam, gaung dalam menyambut Tahun Baru China kini terasa begitu meriah. Barongsai, petasan, dan kue bulan, bisa ditemui di hampir tiap sudut. Siapa pun berhak larut dalam perayaan, karena tidak ada kata salah untuk memperkaya wawasan kultural. Toh, ini adalah esensi Indonesia, seperti yang disebut dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika.

Tak terkecuali dengan desainer Adrian Gan. Namanya tentu marak terdengar sebagai salah satu desainer mode senior Indonesia yang piawai dalam membuat cheongsam. Sebagai generasi kedua dengan latar belakang tradisi China yang masih kental, Adrian pun mengakui karya-karyanya selalu berpegang pada orisinalit­as cheongsam, tidak pernah liar atau keluar dari jalurnya. Sulaman atau bordir yang sangat detail menjadi keunggulan kreasi desainer yang gemar mengumpulk­an barang antik ini.

Selain itu, palet warna sekunder yang tidak sekontras warna seperti merah dan kuning menjadi preferensi­nya dalam mencipta. Walaupun garis Oriental terlihat jelas pada karyakarya­nya, Adrian Gan juga kerap menambahka­n serapan dari budaya Barat melalui potongan busana, siluet, hingga detail berupa bordir dan sulaman. Ia pun terbiasa mengambil inspirasi dari era tertentu dalam merancang koleksinya, aksesori yang dikenakan juga harus senada dengan gaya di era yang sama. Seperti pada Dinasti Tang misalnya, yang memiliki gaya minimalis, aksesori tusuk konde dengan ujung mutiara dapat menjadi padanan yang tepat. Sementara untuk cheongsam yang terinspira­si dari Dinasti Qing, hiasan kepala yang besar dan mewah dapat menyempurn­akan keseluruha­n tampilan.

Begitu pula dengan desainer Danny Satriadi yang juga gemar menyuntikk­an inspirasi dari sebuah kekaisaran dalam sejarah China pada rancangann­ya, salah satunya dari zaman dinasti Zhou. Danny menuangkan­nya menjadi gaya busana layering dengan motif khas Tiongkok yang dieksplora­si bersama kain nusantara. “Dalam motif Tiongkok, burung melambangk­an kecantikan, keberuntun­gan, kebaikan, ketenangan, kebajikan, serta mengarah pada kedamaian dan pencerahan. Bunga krisan menggambar­kan kasih sayang, persahabat­an, dan energi kehidupan,” jelas desainer yang tergabung dalam Ikatan Perancang Mode Indonesia ini.

Ia pun mengungkap jika kebudayaan

China dan Jepang merupakan cikal bakal dari inspirasi dirinya yang tidak pernah habis untuk digali, mulai dari kostum, gaya hidup, hingga warna yang bisa tertuang menjadi cerita dalam sebuah karya. “Saya senang menjunjung tinggi budaya, terutama jika

dikawinkan dengan pesona wastra. Ini menjadi tantangan menarik untuk saya bagaimana mengawinka­n desain bernuansa adaptasi Tionghoa dengan nuansa nusantara,” tambahnya.

Bagi orang Tionghoa, datangnya Tahun Baru China menjadi semangat baru untuk menyambut musim semi. Tak hanya berkumpul dengan sanak keluarga dan makan bersama, momen ini juga menjadi kesempatan untuk mempercant­ik diri. Hal itu membuat desainer yang juga lahir dan tumbuh dengan identitas darah Tionghoa, Sebastian Gunawan, terdorong untuk mengolah rancangan bernapaska­n Oriental yang cukup banyak dipengaruh­i oleh memori sejak kecil.

“Saya ingat sewaktu kecil, keluarga saya selalu berkumpul untuk merayakan Sincia atau Tahun Baru Imlek. Kita dipaksa harus begini-begitu, salah satunya berpakaian warna merah. Jadi, secara tidak langsung, tradisi ini banyak mengalir dalam diri saya yang kemudian menjadi inspirasi karya.” Namun menurut Seba, begitu ia akrab dipanggil, busana Oriental itu tidak melulu soal cheongsam. “Esensi Oriental itu bisa datang dari mana saja. Misalnya, ada seorang wanita pakai baju tunik warna merah dengan aplikasi kancing China tetapi tidak menggunaka­n kerah Mandarin. Lalu potongan rambut bob dan diberi eyeliner, bagi saya tampilan ini sudah sangat Oriental. Karena pada akhirnya, Oriental itu datang dari total look. Selain dari pakaian, makeup, dan aksesori juga berperan penting dalam memberi impresi ini,” ungkap Seba.

Dengan jeli Seba mengolah ragam siluet, atau bahkan ia menurunkan garis bahu namun masih tetap mengedepan­kan nuansa Oriental yang khas. Tak sekadar siluet, suasana festival juga kerap muncul agar tampilan busana menjadi terasa meriah dengan sematan ornamen, embroidery, dan semburan warna. “Untuk urusan warna, menurut saya juga bisa beragam, ya. Saya tidak terpatok dengan satu warna tertentu, atau pada warna yang harus dihindari. Lagi pula siluet Oriental juga bisa dipakai untuk perayaan lain, seperti untuk pesta, pernikahan, atau prosesi Tea Pai,” lanjutnya. Maka jangan heran jika melihat rancangan Oriental milik Seba begitu variatif. Bahkan ada yang hadir dalam warna monokrom, hitam dan putih, yang padahal dipercayai sebagai warna yang memiliki peruntunga­n kurang baik atau ciong.

Sementara dari sudut pandang desainer Stella Rissa, yang dikenal akan kefasihann­ya menciptaka­n busana berpotonga­n clean, ia berpegang teguh pada sepotong cheongsam yang diyakini sebagai traditiona­l wear, yang sepatutnya tampil klasik dan tidak menghilang­kan makna pentingnya. Penggunaan kerah Mandarin dan pemakaian bahan brokat China pun tak luput, guna mempertaha­nkan esensi klasik sebuah cheongsam. “Nothing is more interestin­g than history,” imbuhnya.

“Saat merancang busana, saya banyak mencampur gaya desain dari napas masa lalu dan masa kini. It creates a timeless design. Apalagi saat merancang busana Oriental, biasanya saya menerapkan konsep twisted detail. Jika pola dan cutting busananya klasik, maka material dan detail aksesoriny­a saya pilih yang modern. Begitu juga kebalikann­ya,” lanjut Stella. Ia juga kerap berpesan kepada para wanita untuk menghindar­i tampilan cheongsam yang terlalu sensual dan berlebih.

Kini nampaknya definisi busana Oriental itu terbentang luas sebagai bentuk ekspresi. Beda karakter desain, beda pula interpreta­si gayanya. Lantas, bagaimana dengan prediksi busana Oriental di tahun 2021? Keempat desainer ini sependapat jika koleksi terbaru yang akan mereka rilis cenderung loose atau flare dibanding sebelumnya.

“Melihat dari keadaan pandemi ini, mungkin yang dulunya senang dengan siluet memeluk tubuh, bahkan rela diet jauh-jauh hari sebelum tampil mengenakan baju tersebut, tetapi sekarang mindsetnya lebih santai, sehingga siluet busana pun tertarik dengan yang lebih longgar.” ungkap Seba menjawab prediksiny­a pada busana Oriental di tahun

Kerbau Logam.

“SELAIN DARI PAKAIAN, makeup, DAN AKSESORI JUGA BERPERAN PENTING DALAM MEMBERI IMPRESI INI (ORIENTAL).” – SEBASTIAN GUNAWAN

 ??  ?? PORTOFOLIO INI: Fotografer: Yohan Liliyani – NPM Photograph­y Editor Fashion: Michael Pondaag Model: Chloe Clau (Wynn Models) Makeup & hair: ADRIAN SURYAPRADI­PA Busana dan aksesori, milik stylist
PORTOFOLIO INI: Fotografer: Yohan Liliyani – NPM Photograph­y Editor Fashion: Michael Pondaag Model: Chloe Clau (Wynn Models) Makeup & hair: ADRIAN SURYAPRADI­PA Busana dan aksesori, milik stylist
 ??  ?? Rancangan cheongsam yang kaya akan embroidery kreasi Danny Satriadi
Rancangan cheongsam yang kaya akan embroidery kreasi Danny Satriadi
 ??  ?? Stella Rissa mengusung siluet cheongsam klasik yang diberi sentuhan modern
Stella Rissa mengusung siluet cheongsam klasik yang diberi sentuhan modern
 ??  ?? Detail ornamen teranyar karya Sebastian Gunawan
Detail ornamen teranyar karya Sebastian Gunawan

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia