Selamat (Sampai Di) Tahun Baru
DAVE HENDRIK MENGAJAK ANDA UNTUK MENELUSURI PERKEMBANGAN DIRI DI TAHUN YANG BARU.
Selamat menikmati tahun yang baru, mungkin bukanlah perasaan yang paling dapat menggambarkan apa yang kita rasakan saat ini. Menikmati hidup setahun ke belakang sangatlah sulit. Pandemi membuat kita bersahabat dengan kegelisahan, rasa takut, kehilangan kendali, dan yang paling mendasar adalah ketakutan akan kematian. Menikmati tahun yang baru? Kalau pandemi belum selesai–sulit terbayang apa nikmatnya hidup yang dinanti. Akhirnya kita selamat juga sehat walafiat sampai di tahun yang baru. Nah, itu mungkin yang lebih jujur mewakili perasaan ini. Sembilan bulan segenap daya upaya dilakukan untuk lindungi diri dari virus. Mulai dari menjaga asupan makanan, suplemen, jamu, mandi matahari, olahraga pagi, tinggal di rumah saja tak bertemu teman dan saudara, semprot sanitizer kiri kanan, mencuci tangan hampir tiap jam, masker tak lepas dari wajah, WFH, WFO, SFH, PSBB transisi, PSBB tarik rem, semua dilakukan paripurna. Sekali lagi, Selamat! Akhirnya kita selamat sampai di tahun yang baru.
Pandemi ini ibarat maraton, bukan lari cepat. Kita belum sampai garis finish walau beberapa dari kita sudah mulai kehabisan tenaga. Saya bukan pelari, cuma pernah lari 10K sekali seumur hidup itupun karena kewajiban endorsement berbayar media sosial. Namun saya ingat yang didengungkan para trainer saat berlatih, kunci sampai garis finish adalah endurance. Ini juga yang disebut Psikolog Rosdiana Setyaningrum saat IG Live dengan topik bahasan cara kelola stres saat pandemi, kenapa kelola stres penting karena daya tahan tubuh sangat dipengaruhi olehnya. Menerima keadaan dan belajar menjadi fleksibel tidak hanya dalam tindakan tapi juga pikiran. Hal ini yang harus dikuasai saat ini sehingga kemungkinan munculnya PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) pasca
pandemi berkurang. Hidup sekarang di tengah ketidakpastian. Ralat. Semenjak awal memang tidak ada yang pasti dalam hidup. Nothing new right? Yang pasti adalah ketidakpastian. Silakan bernapas lebih dalam.
Dr. Shaili Jain, psikiater dan penulis buku The Unspeakable Mind: Stories of Trauma & Healing from the Frontliners of PTSD Science di situs web Healthline membahas siapa saja yang rentan derita PTSD pasca pandemi. Ia yang kehilangan orang tercinta karena Covid-19, survivor Covid-19, mereka yang terkena imbas secara ekonomi dan pekerja frontliners. Trauma terhadap peristiwa menantang tersebut dapat menjadi pemicu psychological disorder yaitu depresi, anxiety, atau PTSD. Wajar bila setelah melalui trauma pola kehidupan sedikit terganggu, sulit tidur atau gelisah. Baiknya segera cari bantuan profesional bila gejalanya tak berkurang bermingguminggu bahkan bulan terutama bila sudah mulai mengganggu peran keseharian. Di sisi lain, banyak juga yang alami PTG (Post Traumatic Growth) di masa pandemi ini. Sebagai orang Indonesia sejati, saya adalah orang yang optimistis, rasa penasaran lebih tergugah mendengar istilah ini. Post traumatic growth; growth after trauma, transformation following trauma. Penjelasan Melanie Greenberg, PHD, psychologist & life coach di Psychologytoday.com. Pertumbuhan psikologis diri yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa hidup yang menantang, pandemi ini contohnya. Kembali disebutkan, rata-rata yang mengalami pertumbuhan ini adalah mereka yang miliki daya tahan terhadap tantangan hidup. Generasi tahan banting rupanya ini adalah waktunya anda untuk bersinar. Jadi sederhananya apa saja tanda post traumatic growth? Apresiasi kehidupan yang dalam, keeratan hubungan sosial, personal strength, spiritual growth, dan terakhir, kesadaran bahwa hidup penuh dengan sejuta kemungkinan.
Ini rupanya yang saya lihat terjadi dalam beberapa kehidupan teman saya. Masa pandemi ini, walau tak mereka akui, terlihat jelas perkembangan positif yang terjadi. Mereka menjadi sangat menghargai kehidupan, terlepas dari rupa-rupa syarat yang biasanya menyertai kebahagiaan. Tak lagi mau buang waktu lakukan hal yang tak berguna. Tinggalkan basa-basi, masih banyak hal penting yang bisa dilakukan. Selama pandemi juga banyak yang hubungannya semakin erat dengan teman, saudara, dan pasangan hidup. Dibuktikan melalui survei bahwa mereka yang memiliki social connection yang kuat niscaya akan memiliki daya tahan tinggi dan tak rentan stres.
PANDEMI INI IBARAT MARATON, BUKAN LARI CEPAT. KITA BELUM SAMPAI GARIS finish WALAU BEBERAPA DARI KITA SUDAH MULAI KEHABISAN TENAGA.
Disadari atau tidak, kekuatan diri kita sudah cukup teruji selama pandemi ini berlangsung. Buktinya, hari ini kita dapat membaca majalah ini dengan sehat jiwa raga di mana pun anda berada. Tahan batasi aktivitas selama 9 bulan, bukanlah prestasi yang gampang. We should feel good about our personal strength don’t you think? We are stronger than we think, apparently. Saat hidup tegaskan ketidakpastian, kedekatan spiritual dengan Sang Khalik adalah jawaban yang paling logis untuk dilakukan. Bila Anda termasuk mereka yang juga merasakan spiritual growth di masa ini, berarti sama seperti saya, sedikit banyak kita alami PTG. Apa pun cara yang dipilih, lebih khusyuk berdoa, ketenangan dalam bermeditasi, yoga, dengarkan khotbah pemuka agama favorit via podcast, kepasrahan yang hakiki pada kekuatan kuasa-nya. Our spiritual growth gives us the strength to carry on. Tanda terakhir dari PTG, kesadaran bahwa hidup, ternyata, dipenuhi dengan beragam kemungkinan. Selama ini mungkin kesadaran kita saja yang kurang, sehingga banyak kesempatan hidup yang berlalu. Pandemi ini banyak yang menemukan hobi baru dan kemudian berujung pada mata pencarian baru. Teman saya seorang sosialita baru kemarin bercerita, ia yang tak pernah masuk dapur seumur hidupnya, di masa pandemi ini menemukan kegemaran barunya membuat kue. Iseng unggah ke Instagram lalu galang dana untuk bakti sosial menjual kue bolu, dalam dua minggu berhasil kumpulkan 100 juta rupiah. Bisnis baru lahir di dapurnya. Aksi sosial usai, jualan tetap berjalan, dalam dua bulan ia meraih keuntungan 300 juta rupiah. Berhasil wujudkan keinginan untuk hidup lebih sehat selama pandemi? Selamat. Ternyata tak ada yang tak mungkin dalam hidup. Menemani anak sekolah daring di rumah? Ternyata bisa dijadikan kesempatan untuk membangun kedekatan hubungan yang selama ini dikikis oleh kesibukan. Life is so full of possibilities as long as we have the right mindset.
Sekali lagi sebagai orang yang optimis, saya mengganti point of view saya dalam melihat hidup di masa pandemi ini. I choose to focus on the growth this pandemic forced us into. Entah ini PTG atau bukan, saya mengajak yang membaca kali ini, untuk bersama-sama bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat tahun ini. Ketemu di garis finish. Let’s finish this marathon, strong!