KONSERVASI WASTRA
Dari platform digital hingga e-commerce, segala upaya dieksplorasi demi masa depan wastra nusantara. Oleh Yudith Kindangen
Wastra, di banyak suku di Indonesia kerap tak sekadar sebagai alat penutup tubuh. Ia menyelinap ke relung-relung kehidupan masyarakat, merasuk dalam kehidupan sosial dan spiritual. Ada pula yang meletakkan wastra sebagai simbol status sosial. Sebagai peninggalan turun-temurun leluhur yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia, sudah selayaknya kita cintai dan lestarikan. Namun modernisasi akhirnya secara nyata makin menggerus keberadaan warisan budaya ini. Pelestarian kain tradisional terbilang sulit. Dengan para perajin yang semakin tua dan banyak perusahaan yang menggunakan pabrik untuk mencetak motif batik, banyak motif tradisional yang terancam punah dan banyak tempat perajin yang tutup karena tidak mendapat upah yang cukup.
Beruntung, kesadaran akan keragaman wastra Indonesia akhir-akhir ini makin meluas seiring dengan munculnya lembagalembaga dan komunitas pencinta wastra nusantara. Juga publikasi di media sosial yang semakin dalam menggali berbagai hal tentang wastra, serta kian kerapnya digelar pameran wastra, makin membuka wawasan tentang betapa banyak potensi wastra dari masing-masing daerah. Batik, tenun, ikat, songket dan berbagai jenis wastra Tanah Air beradu pesona di berbagai panggung peragaan, berkejaran dengan animo yang meningkat dari masyarakat. Adaptasi di era digitalisasi ini pun harus bisa bersinergi dan terakselerasi, terutama bagi sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM) khususnya kain tradisional. Mereka tidak dapat lagi mengandalkan pemasaran secara konvensional saja, terutama di masa pandemi yang tak hanya merenggut kesehatan dan nyawa, tapi juga menghilangkan hajat hidup orang banyak termasuk para pekerja seni.
Kolaborasi antara pekerja kreatif dan UMKM menjadi siasat jitu untuk mendorong bisnis lokal tetap berkembang. Apalagi jika melihat keberlanjutan para perajin wastra yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagai warisan budaya yang mesti dilestarikan, Kementerian Koperasi bekerja sama dengan Smesco dan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) tengah mempersiapkan sebuah langkah agar wastra Indonesia tetap menarik di era teknologi di masa pandemi seperti saat ini.
Lantas, langkah apa saja? Direktur Utama Smesco Indonesia, Leonard Theosabrata, yang juga merupakan Co-founder dari Goods Dept, Co-founder dari Brightspot Market, dan Founder dari Indoestri Makerspace mengungkap sederet rencana guna
mendukung pengembangan wastra yang ada di Indonesia, salah satunya dengan membangun sebuah platform marketplace. Namun Leonard menegaskan, dalam melestarikan wastra bukan hanya orientasi komersial semata. Ada cerita yang erat dengan budaya di dalam wastra.
Saya pun mendapat kesempatan untuk berbincang langsung dengan Leonard via telepon di tengah jadwalnya yang padat.
HARPER’S BAZAAR INDONESIA (HBI): ANDA SEDANG MENYIAPKAN SARANA UNTUK MENDUKUNG EKSISTENSI KAIN WASTRA. BISA DICERITAKAN TENTANG RENCANA TERSEBUT?
LEONARD THEOSABRATA (LT): Jadi kami mempunyai satu agenda yang salah satunya adalah wastra. Karena wastra sangat dekat dengan kebudayaan, punya potensi, namun secara sistematis masih belum banyak yang memfokuskan ke arah sana–meski tampak sudah banyak pelakunya, salah satunya di bidang fashion. Jika bicara wastra Indonesia, tentu batik lebih terkenal dibanding tenun. Padahal, Indonesia itu lebih lekat dengan tenun. Dan kenyataannya tentang tenun, banyak sekali daerah-daerah yang perlu didukung terutama daerah di Indonesia Timur. Oleh karenanya, kami ingin fokus membantu para perajin wastra di daerah dan menggali potensi mereka. Dari situ lahirlah sebuah program Cerita Wastra yang diprakarsai oleh Ketua Bidang Manajemen Usaha Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas), Suzana Teten Masduki, dan bersama-sama dengan Kementerian Koperasi (Kemenkop) serta Smesco untuk berkomitmen mengangkat wastra ke level yang lebih baik. Nah, salah satu komponennya in the future adalah menjadi platform e-commerce. Tapi untuk saat ini masih banyak yang harus dilakukan. Kita mulai dari hulu terlebih dulu, seperti pelatihan pendampingan para perajin, bagaimana memperbaiki kualitas, dan lain sebagainya hingga bergerak ke hilir. Adanya Cerita Wastra ini juga menjadi bagian dari riset. Di situ kami mengumpulkan database yang akurat dan komprehensif, jadi banyak program pendataan dan mapping out. Seperti saat diselenggarakan kompetisi foto Cerita Wastra secara daring yang melibatkan seluruh Indonesia. Jadi, kita minta peserta untuk memakai wastra dan mengekspresikannya di akun media sosial dan akan dipilih 3 orang pemenang. Tetapi di balik itu sebetulnya ada pendataan (data analytics) yang kemudian dapat menentukan segmen pasar untuk bekal kita menggarap e-commerce nantinya.
HBI: DARI PERSPEKTIF ANDA, BAGAIMANA RESPONS GENERASI MUDA SAAT INI TERHADAP KAIN WASTRA?
LT: Menurut saya, Gen Z ini melihat wastra seperti barang vintage dan mereka akan sangat tertarik terhadap sesuatu yang memiliki nilai dan unik. Bagi mereka, batik dan tenun itu eksotis, dan mereka juga sangat peduli dengan hal-hal yang bersifat resistibility, social responsible, enviromentally friendly. Bisa dibilang jika Gen Z ini dibina dengan baik pasti mampu menjadi suatu culture yang sangat masif. Lihat saja Swara Gembira. Mereka mengajak anak muda untuk memakai kain dengan gaya yang dipadu padan bersama sneakers, bomber jacket. Lalu diikuti oleh sejumlah influencer di media sosial yang mulai berkain.
HBI: INOVASI APA YANG ANDA TAWARKAN UNTUK MEMASARKAN KAIN WASTRA AGAR MENARIK MINAT PASAR?
LT: Sekarang yang harus kita pikirkan itu adalah setelah pemakaian kain wastra harus ada inovasi lagi. Kalau saya melihatnya, “Kenapa sih enggak ada yang bisa nge-push kain tradisional menjadi hal baru, entah dari siluet dasar atau desain pola.” Oleh karena itu, saya bersama tim ingin mewujudkannya lewat proyek bernama Kerta. Proyek yang merupakan inisiatif dari Smesco yang menggandeng Lakon dan House of Irsan untuk mendesain siluet pakaian Indonesia yang baru. Jadi kami sedang mengusulkan, bukan memodifikasi dari yang ada, tapi ini benar-benar menciptakan desain modern urban dari wastra Indonesia dengan harapan agar bisa menjadi “kebaya baru” atau jadi “baju koko baru”. Di sini kami tidak mau mengubah pakem apa pun, melainkan ingin menawarkan kebutuhan modern yang dulu belum ada dan bisa diterima. Mungkin akan bermula dari busana formal yang bisa dipakai oleh pemerintahan atau busana untuk kondangan. Kemudian kita akan coba populerkan dengan berbagai aktivasi, termasuk pergelaran sehingga wastra bisa didorong secara narasi ekonomi bukan semata sekadar fashion. Karena apabila hal ini terealisasi dan diadopsi secara nasional, upaya kita untuk membangkitkan UMKM dapat berjalan optimal.
HBI: WAH, MENARIK SEKALI PROYEK KERTA INI. KAPAN RENCANA RILISNYA?
LT: Proyek Kerta sebetulnya dimulai dari first adapter brand dan partner. Lalu pada fase kedua, tahap pemilihan brand yang memiliki signature gaya berbeda. Misalkan, ada yang modestwear, female oriented, sustainable, menswear, atau ada yang lebih edgy. Lalu, brand-brand tersebut akan kita minta untuk mengadaptasi siluet Kerta dengan kreativitas masing-masing. Kemudian tiap brand akan menyosialisasikan busana Kerta kepada followers atau pelanggan mereka. Barulah setelah itu–berharap di tahun 2022, Kerta sudah mulai snowballing, dari situ kita mulai pelatihan dan pendampingan yang sifatnya lebih nasional, baik daring atau luring.
HBI: APA HARAPAN ANDA TERHADAP WASTRA NUSANTARA? LT: Ada beberapa aspek sih. Kalau dari aspek budaya, kita bicara konservasi dan juga preservasi yang terus berjalan. Tetapi jalannya itu banyak cara, misalkan dari kegiatan-kegiatan yang mempreservasi ini harus di-support, bukan berarti tidak memiliki nilai komersial, mungkin monetisasinya harus datang dari tempat lain. Lalu, kalau dari secara industrial, harus mempunyai kesadaran berbeda. Seperti grading itu penting. Contohnya batik. Antara batik cap atau printing dengan batik tulis, ya sudah pasti harus di-grading dengan orang yang mengerti. Tapi yang berhak bersuara harus dari pihak otoritas yang bisa melakukan itu. Nah, yang menjadi pertanyaannya itu sekarang “Siapa”. Sosok yang diakui oleh market dan paham akan teknik serta mengerti filosofi. Karena sekarang masih terbagi kubu-kubu yang belum bisa berkomunikasi satu sama lain dan merasa paling benar. Ya, itu harus ada kesadaran ke depannya.