MEMO & MEMORI NICO
CATATAN PERJALANAN EMPAT HARI TIGA MALAM solo travel NICHOLAS SAPUTRA DI YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA. SEPERTI DICERITAKAN KEPADA ARDHANA UTAMA. Styling OLEH MICHELLE OTHMAN
Masih terngiang dalam benak saya beberapa perjalanan luar kota akhir-akhir ini. Pemandangan di atas awan memang selalu mampu menggugah renungan dan ingatan yang indah. Berbagai kesibukan sudah saya lalui, dari menjadi aktor, produser, hingga brand ambassador Mandiri Prioritas. Saatnya beralih sejenak, melihat biru yang luas tanpa batas di luar jendela. Saya jadi membayangkan alam indah di tujuan sana. Karenanya saya siapkan peralatan untuk menjelajah. Road bike yang kini menjadi teman setia petualangan. Sekaligus menjadi saksi perjalanan solo travel yang membuat saya fokus untuk menjawab kebutuhan jiwa dan mendengarkan diri sendiri lebih seksama.
Pagi esok harinya saya bangun di Amanjiwo, kecamatan Borobudur, Magelang. Tepat pukul 07.30 saya menuju sebuah lokasi dekat Sungai Progo untuk sarapan lesehan di bagian tepinya. Tiba di lokasi, tatanan bantal dan meja berkaki rendah terasa sempurna di bawah naungan payung besar yang melindungi dari terik. Saatnya kembali ke alam dan menyelaraskan jiwa yang lelah. Sembari menikmati hidangan yang disajikan dalam kotak anyaman dan menyesap kopi, suara arus deras melenakan pikiran, ditemani alam hijau yang indah di seberang sana. Saya hening sejenak dan menikmati, sebab suasana ini bukan sesuatu yang dapat diperoleh di Jakarta.
Sarapan di tepi sungai berlanjut ke dalam sesi belajar aksara Jawa kuno, yang lebih dikenal dengan Hanacaraka. Saat itu, Pak Andi, guru yang membimbing sesi tersebut bercerita kepada saya tentang asal muasal aksara tersebut. Tak hanya melihat dan meresapi cerita, saya juga mendapatkan kesempatan untuk menuliskan beberapa kata dalam aksara Jawa kuno dan membawa pulang hasilnya. Saat kembali menuju kendaraan, beberapa kali saya berpapasan dengan warga sekitar yang tersenyum dan menyapa ramah.
Sepintas saya menyempatkan diri untuk berkeliling Borobur dan mengagumi keindahannya sebelum kembali ke properti resor. Sekarang saatnya kembali mengeksplorasi pesona Amanjiwo. Saya berjalan dari paviliun utama melewati pilar dan menemukan pemandangan Borobudur dari atas. Candi tersebut terbingkai dengan indah di antara batu paras. Di sebelah barat terlihat Gunung Sumbing dengan jelas, berlawanan dengan Merapi dan Merbabu yang samar di arah sebaliknya. Saya memutuskan untuk mengikuti tangga ke bagian bawah sana, untuk melihat dua beringin ikonis yang berada di area main pool. “Pohon ini dipangkas setiap 3 bulan sekali, Pak,” jelas seorang karyawan yang tengah bertugas. Tak heran sebab bentuknya berupa silinder sempurna. Waktu tak terasa beralih menuju senja. Di momen makan malam saya bertemu dengan seorang antropolog asal Belgia yang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai budaya Jawa. Bersamanya pula, saya
melakukan latihan pernapasan dan meditasi untuk melebur dengan alam. Ritual tersebut mengantarkan saya beristirahat di malam hari.
Hari ketiga perjalanan dimulai dari subuh. Pukul 04.30 saya siap untuk berangkat menuju Selokan Mataram. Inilah kesempatan yang sudah lama dinantikan, sebab saya memutuskan akan bersepeda di kawasan tersebut. Di titik mulainya saya disambut dengan pemandangan siluet Gunung Merapi dan Merbabu di saat fajar, mengeluarkan warna jingga keunguan yang mengagumkan. Pemandangan di rute berikutnya tak kalah indahnya. Kanal irigasi yang menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak senantiasa mengiringi saat bersepeda. Jalur aspal halus yang diselingi rumah penduduk di sekitarnya itu kabarnya memang menjadi kawasan populer untuk olahraga sepeda saat ini. Inilah salah satu keuntungan saya berada di atas pedal. Dengan mengayuh, saya dapat