Geliat Ritel Luxury
OBSESI BELANJA KONSUMEN A class NYATANYA MASIH RELATIF TINGGI. YUDITH KINDANGEN MENILIKNYA DENGAN BERBINCANG BERSAMA retailer TENTANG INDUSTRI RITEL TERKINI.
Inovatif, menjadi kata kunci yang terus-menerus digaungkan. Berbagai sektor, termasuk industri fashion terlihat gencar berupaya untuk berinovasi dengan segala cara agar dapat membawa perubahan dan menyesuaikan kondisi di masa pandemi. Perubahan tren fashion ini juga harus segera ditangkap oleh para pelaku usaha yang dituntut untuk terus menyesuaikan strategi bisnis sehingga dapat beradaptasi mengikuti sekaligus menjawab kebutuhan tren yang sedang digemari oleh konsumen.
Seperti yang kita ketahui, pada masa awal-awal kemunculan pandemi, penjualan pakaian merosot tajam terutama di pasar Indonesia. Pasalnya, kala itu konsumen memiliki prioritas yang lebih penting dibandingkan dengan berbelanja produk fashion. Namun, seiring berjalannya waktu, tren fashion terus berkembang dan beradaptasi mengikuti perubahan gaya hidup masyarakat itu sendiri. Bisa dibilang aktivitas di dunia digital pun meningkat pesat, demikian juga dengan kegiatan belanja melalui platform digital. Maka tak heran jika sejumlah brand mode seperti Louis Vuitton, Chanel, dan Dior dalam beberapa tahun terakhir mulai memperbanyak aktivitas komunikasi dan beriklan di platform digital maupun media sosial.
Maka online shopping telah menjadi metode belanja utama bagi kebanyakan konsumen Indonesia. Sistem berbelanja yang tadinya diciptakan untuk kenyamanan kini telah menjadi infrastruktur berbelanja yang esensial. Memberikan efisiensi dan kemudahan lebih di masa-masa sulit seperti sekarang, pantas saja persentase online shopping telah meningkat pesat selama pandemi ini. Mengingat belanja online bisa menjadi alternatif mengurangi risiko penyebaran virus di tempat ramai sekaligus mendorong bisnis ritel untuk terus beroperasi secara online. Apalagi dengan banyaknya toko retail yang menutup pintu sejak awal PSBB maupun saat kebijakan PPKM diberlakukan kemarin ini.
Lantas, bagaimana dengan minat konsumen terharap produk luxury? Apakah keinginan berbelanja tetap tinggi? Saya pun mendapatkan informasi dari seorang narasumber salah satu premium brand di Indonesia, “Keinginan pelanggan berbelanja luxury brand bisa dibilang masih tinggi, dan kepercayaan mereka untuk membeli produk luxury secara online juga sudah mulai bertambah. Tetapi memang tidak bisa dipungkiri jika mayoritas pelanggan product luxury masih lebih memilih untuk berbelanja secara langsung atau offline daripada online. Tentunya dengan kondisi seperti kebijakan PSBB atau PPKM di mana ada periode tertentu gerai kami harus tutup, tentunya hal ini memberikan pengaruh negatif untuk business luxury juga.”
Pernyataan ini turut diperkuat oleh Ira Kwa, pemilik butik Jade yang mengatakan bahwa, “Menggaet market di masa pandemi tentunya harus lebih inovatif, apalagi baju yang kami jual itu produk luxury, di mana pelanggan masih mau coba dan pegang, feeling-nya, teksturnya seperti apa. Apalagi ketika butik tidak bisa buka karena kebijakan PPKM, lalu apa yang kita bisa kerjakan? Karena 70 persen pembelian kami saat ini dilakukan secara online, jadi kami harus menyuguhkan foto-foto yang lebih menarik mata. If we have to take a photoshoot, we do have to take a photoshoot, supaya pelanggan mendapatkan sensasi tiga dimensi dari foto kita secara jelas.”
Ira pun menegaskan bahwa keinginan pelanggan untuk berbelanja di masa seperti ini pun masih besar. “Tentu masih besar. Ya, meski ada perubahan sedikit dari kebiasan pelanggan. Misalnya, ada pelanggan yang merasa tidak harus beli karena dia tidak pergi keluar rumah. Tapi ada juga untuk customer A++, mereka membeli karena mereka merasa tergugah feeling-nya, dia punya sense-nya, matanya pada saat menonton video di Instagram kami. Ada pula yang langsung tergiur ketika melihat foto koleksi dari lookbook yang dikemas dengan bagus. Karena produk kami ini kebanyakan bukan a basic necessity (keperluan dasar). Apabila bukan basic necessity, yang diperlukan adalah arouse their senses. Jadi supaya ada daya tarik tersendiri untuk pelanggan mau membeli. Sementara baju yang ada di Jade ini semuanya lebih eksklusif. Jadi memang harus mengandalkan kreativitas agar pelanggan masih tetap
berniat untuk belanja. Bahkan kenyataannya di kuarter pertama tahun 2021, penjualan kami mampu naik hingga 40 persen.”
Bagi Ira, untuk mengatasi perubahan besar yang tengah terjadi di masa pandemi ini, ritel Jade menyediakan metode belanja baru demi tetap bisa selalu ada untuk para pelanggan setianya. “Jika di tahun sebelumnya, kami melayani belanja online lewat katalog yang ada di media sosial, sekarang di tahun 2021 kita sudah punya website. Which was launch a month a go. Now, we have lookbook, personal assistant, personal stylist we call it, she knows product knowledge, and our sales person. Karena dari dulu kita sudah menyiapkan bahwa mereka harus mengerti produk yang mereka jual dari setiap brand yang ada. Dan kami juga punya customer service yang memang sudah terlatih untuk mendalami product knowledge, seperti koleksi A itu materinya apa dan inspirasi dari mana, dan lain sebagainya,” ungkap Ira.
Sementara jika kita melihat pada Louis Vuitton di Indonesia, brand ini membuat terobosan dengan menawarkan fasilitas home shopping di mana customer assistant membawa sejumlah koleksi ke rumah pelanggan dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat sebagai opsi selama mal tutup. Bahkan di beberapa negara (seperti Singapura, Malaysia, dan Australia), Louis Vuitton sudah memiliki platform e-commerce yang menjadi opsi utama mereka untuk tetap berjualan di saat pandemi.
Tak hanya dari sisi ritel luxury yang merambah ke online saja yang menarik minat pelanggan tanpa harus keluar rumah. Online marketplace Tokopedia misalnya. Momentum pandemi mendorong Tokopedia untuk terus berkolaborasi dengan para mitra strategis, mulai dari UMKM lokal, pemerintah hingga mitra strategis lintas sektor lainnya, untuk menghadirkan inisiatif yang dapat membantu konsumen Indonesia memenuhi kebutuhan selama di rumah saja.
“Berbagai kolaborasi dijalankan untuk menjaga kelangsungan bisnis para penjual demi sekaligus mendorong pemulihan ekonomi Indonesia. Dari berbagai inisiatif yang telah dihadirkan, kami melihat antusiasme masyarakat dalam memanfaatkan platform digital, baik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlihat dari
“APABILA BUKAN basic necessity, YANG DIPERLUKAN ADALAH arouse their senses.” – IRA KWA
peningkatan jumlah pengguna aktif bulanan Tokopedia, dari lebih dari 90 juta (sebelum pandemi di Januari 2020) menjadi lebih dari 100 juta (Juni 2021). Pandemi juga menjadi momentum bagi para pegiat usaha lokal, khususnya UMKM lokal, untuk beradaptasi dan mencapai lebih lewat kanal digital. Terbukti dari jumlah penjual yang tergabung di Tokopedia saat ini menjadi lebih dari 11 juta penjual, hampir 100 persennya adalah UMKM bahkan 94 persen penjual berskala ultra mikro. Artinya ada peningkatan sebesar lebih dari 3,8 juta dari 7,2 juta penjual sejak sebelum pandemi Januari 2020 lalu,” jelas Ekhel Chandra Wijaya selaku External Communications Senior Lead dari Tokopedia.
Tidak dapat dipungkiri jika berbelanja bisa memberikan hiburan tersendiri. Mungkin juga bagi sebagian orang bahwa berbelanja bisa membuat kita bahagia atau menjadi terapi untuk meningkatkan mood (retail therapy) selama di rumah. Apalagi sekarang ini, sederet fitur baru diperkenalkan agar para pelanggan bisa menikmati pengalaman belanja online terasa lebih “real”, seperti yang dilakukan oleh Tokopedia.
“Di masa pandemi ini, kami merilis sederet fitur baru pada Tokopedia Play, yaitu kanal video streaming Tokopedia. Jadi, para penjual kini sudah bisa menghasilkan karya video secara mandiri dengan memanfaatkan fitur Live dan VOD (Voice on Demand) di Tokopedia Play sehingga konsumen bisa menikmati pengalaman browsing video yang lebih mulus serta bisa melihat pilihan produk lebih mudah karena langsung ditampilkan pada live room Tokopedia Play. Selain itu, juga ada fitur Picture in Picture (PIP) di Tokopedia Play yang memungkinkan masyarakat bisa menonton konten video kreatif di Tokopedia Play sambil berbelanja,” ujar Ekhel kembali menjelaskan.
Sementara jika bicara ketersediaan stok dan proses pengiriman ke konsumen, menurut Ira dari Jade dan Ekhel dari Tokopedia, keduanya tidak ada kendala terutama saat masa PPKM ini. “Stok yang tertera pada website Jade itu, ya, ada di masing-masing butik, jadi kita tidak perlu mengalokasikan stok khusus dari warehouse untuk website. Karena website kami dirancang dengan sistem omnichannel yang saling terhubung baik online dan offline. Jadi, apabila produk tersebut ada di cabang A, maka pelanggan bisa pick up dari cabang A. Lalu untuk stok yang sisa atau diskon sudah lebih dari 50 persen, kami kirim ke butik kami yang ada di Dharmawangsa. Ya, bisa dibilang butik kami saat ini tidak mengalami penurunan yang signifikan pada saat pemberlakuan PPKM, karena transaksi masih terus berlangsung,” pungkas Ira.