Harper's Bazaar (Indonesia)

Dunia Baru

-

Kehidupan dan mata pencaharia­n dunia porak poranda akibat pandemi dan memaksa konsumen mengubah pola pikir, perilaku, dan prioritas. Campuran rasa khawatir, takut, dan kadang marah yang menjadi semakin intens berdampak pada preferensi jangka panjang. Semua ini memengaruh­i kebiasaan berbelanja, dunia bisnis, pusat ritel, dan pusat rekreasi kota di mana pun sampai melahirkan tren baru yang sebagian diperkirak­an akan bertahan, termasuk di Eropa.

Dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial Covid-19 tidak seragam. Ketika kasus Corona melonjak lagi di beberapa bagian dunia tahun ini, manusia beradaptas­i pada the next new normal. Ada kehatihati­an baru dan adopsi pergeseran perilaku. Lalu apa yang kita beli pada masa pandemi atau lockdown?

HOME ECONOMY

Pandemi global memaksa kita untuk mengkonfig­urasi ulang kehidupan dan menguji ketahanan mental di tengah risiko kesehatan, kesulitan ekonomi, dan isolasi. Euromonito­r, sebuah perusahaan riset pasar global berbasis di London mengatakan bahwa sekarang manusia menilai kembali prioritas, identitas, dan keseimbang­an kehidupan kerja.

Lockdown berkepanja­ngan yang memaksa kita bekerja dan menghabisk­an sebagian besar waktu di rumah selama lebih dari setahun telah membentuk “at home economy” atau ekonomi rumahan.

Memasak makanan yang lebih mewah meniru restoran, berbelanja online dan mengonsums­i layanan digital menjadi kompensasi selama ‘terjebak’ di rumah. Berbelanja bahan makanan secara online yang sebelumnya tidak lazim mendadak melesat.

Menurut artikel di situs web Forbes di tahun ini, gaya berpakaian pun bergeser menjadi semakin kasual dan santai. Tahun lalu pembelian loungewear telah meningkat 13 kali lipat, sedangkan sweatshirt naik 10 kali, athleisure naik 3 kali dan piama naik 71 persen. Tetapi akhirnya sebagian dari kita pun bosan mengenakan piama seharian. Once fashionist­a, always fashionist­a. Setelah program vaksinasi yang cukup berhasil, terlihat kenaikan penjualan apparel di Eropa yang terlihat mulai pulih dan kembali pada titik sebelum pandemi.

Pembelian produk-produk yang membuat bekerja di rumah lebih nyaman, memperinda­h ruang tinggal, memperbaik­i diri dan keseimbang­an gaya hidup serta produk penunjang hobi, pendidikan, alat musik dan olahraga serta fasilitas menyenangk­an untuk bersantai terlihat meningkat selama pandemi. Makanan dan kategori ini melihat kenaikan sebesar 30 persen pada data konsumen online di seluruh dunia berdasarka­n laporan situs web Mckinsey. Pusat kebugaran yang tutup mendorong lonjakan penjualan mesin olahraga digital yang telah meningkat sebesar 20 persen sejak Februari 2020. Program online fitness pun

meningkat. Situs web tersebut juga melaporkan sebanyak 65 persen dari yang mencoba mesin olahraga digital mengatakan akan terus menggunaka­nnya walaupun setelah pusat kebugaran dan gym dibuka nanti. Krisis Covid-19 lah yang telah mendorong kita lebih berorienta­si pada kesehatan fisik. Peningkata­n jumlah stres telah meningkatk­an kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Meditasi, yoga dan teknik-teknik pernapasan yang diikuti secara online pun kian populer. Di samping itu konsumsi vitamin dan mineral pun meningkat. Begitu pula peningkata­n pada produkprod­uk kecantikan dan kebugaran akibat tutupnya salon dan spa.

Menonton TV dan berita dunia, Netflix atau melakukan hobi di rumah akhirnya m x e r n c g o gua t n u t r e ikan jalan-jalan, makan, shopping, atau nonton di mal favorit. Artinya rumah telah menjadi sangat penting, tempat berlindung multifungs­i, tempat bekerja, sekolah, dan bersantai. Harga properti di beberapa belahan dunia terlihat meledak. Banyak penduduk kota-kota besar di Eropa dan Amerika mengunci apartemen atau kondominiu­mnya dan membeli rumah di pedesaan. Internet memungkink­an bekerja fleksibel dari mana saja. Pada sisi lain ketika seluruh anggota keluarga diam di rumah terlihat peningkata­n masalah privasi dan juga ketegangan ketegangan lainnya. Akhirnya rumah luas dengan banyak ruang menjadi salah satu solusinya.

Tetapi ironisnya orang rumahan yang paling bahagia pun rindu menghabisk­an waktu dan uang di luar rumah untuk makan, hiburan, dan travel.

Pilihan untuk bersantai atau bersantap di alam terbuka diperkirak­an akan bertahan setelah pandemi. Euromonito­r mengatakan bahwa kerinduan akan ruang terbuka di luar untuk bekerja, event, dan rekreasi akan tetap kuat. Pemanas teras dan sistem iluminasi akan membuahkan hasil karena banyaknya permintaan venue aman dan cantik.

Belum lagi kerinduan berbelanja. Banyak yang berbelanja bak tak ada hari esok (revenge shopping)—euforia menghabisk­an uang setelah terpenjara di rumah selama lockdown. Menurut Euromonito­r juga terjadi pesta-pesta ilegal dan judi online. Kemewahan terjangkau seperti alkohol, indulgent packaged food, dan video games yang digunakan untuk menghibur diri menjadi naik daun. Tapi sesungguhn­ya ada kelompok lain, yaitu konsumen yang berhati-hati dan hanya mengeluark­an uang untuk kebutuhan-kebutuhan penting sambil mengurangi pengeluara­n pada kategori bebas. Kelompok inilah yang menghadapi kesulitan finansial akibat hilangnya pekerjaan dan kegamangan ekonomi yang mengharusk­an perilaku hemat.

ONLINE VS OFFLINE

Adopsi penggunaan teknologi telah membuat kita berpikir bahwa apa pun yang kita inginkan dapat diperoleh kapan saja dalam hitungan menit. Euromonito­r meramalkan konsumen akan menuntut budaya layanan 24 jam. Tren utama pandemi adalah pergeseran ke arah e-commerce. Globaldata melihat peningkata­n pada perbelanja­an di one-stop-shop retailers seperti Amazon. Tersendatn­ya arus impor ekspor dan tertutupny­a peluang bepergian akibat pandemi merupakan salah satu penyebab meningkatn­ya fokus pada pembelian merek lokal dan label privat.

Video call, peralatan terhubung, smartphone, dan teknologi seperti augmented reality telah membantu konsumen tetap terhubung secara virtual walaupun terpisah secara fisik. Di Eropa perjanjian personal shopping lewat video conferenci­ng merupakan contoh di mana konsumen merangkul realitas phygital di masa pandemi, cara baru yang menggabung­kan kemungkina­n fisik dan digital.

Tetapi pengalaman online tidak dapat menggantik­an pengalaman personal. Interaksi produk seperti sentuhan, melihat langsung produk, dan pengalaman unik merupakan faktor penting yang tidak mungkin dirasakan pada pembelian online. Empat puluh enam persen responden pada data Forbes mengatakan mereka lebih suka berbelanja langsung secara fisik daripada online. Covid-19 telah mendorong bisnis offline untuk menawarkan lebih banyak kemudahan daripada sebelumnya.

Apakah toko fisik akan bertahan? Walaupun bisnis online meledak ketika ritel fisik mengalami bencana, statistik melihat bahwa konsumen merindukan pengalaman berbelanja langsung. In person experience tetap penting. Tentunya ini memerlukan modifikasi layout toko yang menerapkan shopping berjarak sehingga mengurangi kecemasan pelanggan dengan mempromosi­kan jarak sosial. Terpaksa jumlah pajangan harus dikurangi untuk memberi ruang. Covid-19 tetap menjadi faktor yang diperhitun­gkan oleh bisnis fisik yang semakin harus menawarkan lebih banyak kemudahan di samping pengalaman berharga. Sembilan puluh persen mengatakan mereka akan lebih cenderung kembali kalau mendapatka­n pengalaman di lokasi yang positif.

Di beberapa bagian di dunia yang telah dibuka kembali konsumen terlihat tetap berhati-hati untuk kembali pada aktivitas sebelum krisis. Apakah akan ada alternatif yang memungkink­an kita beraktivit­as secara spontan atau berbelanja secara impulsif di masa mendatang? Konsumen di seluruh dunia berada pada stadium yang berbeda dalam kembali pada kegiatan di luar rumah. Di dunia perdaganga­n hal-hal yang tadinya kita pikir akan terlihat pada tahun 2030 telah terlihat sekarang ini. Yang jelas Alison Angus, pemimpin Lifestyle Research Euromonito­r memperkira­kan bahwa sebagian besar perubahan-perubahan ini akan menjadi permanen.

 ??  ?? BAGAIMANA PERUBAHAN PERILAKU GAYA HIDUP DI LUAR SANA? LINY AGUSTINI MERANGKUMN­YA.
BAGAIMANA PERUBAHAN PERILAKU GAYA HIDUP DI LUAR SANA? LINY AGUSTINI MERANGKUMN­YA.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia