Refleksi Optimisme
Menyusuri pekan mode musim Fall/winter 2021 ini banyak hal yang berubah—bukan hanya kehidupan peradaban modern yang berubah 180 derajat. Pandemi Covid-19 seolah mendorong para desainer dan rumah mode untuk menekan tombol reset secara paksa. Itulah mengapa pekan mode ini layak dikenang sebagai momen titik balik disrupsi total untuk memberikan optimisme baru bagi masa depan mode dunia. Desainer, model, dan pesohor kulit hitam yang dulu diabaikan, akhirnya mulai menerima pengakuan berkat pengaturan ulang global yang lebih luas seputar ras, jenis kelamin, dan keragaman tubuh. Seperti pada pergelaran koleksi busana pria Fendi Fall/winter 2021 yang diberi judul “What Is Normal Today”, Silvia Venturini sebagai Direktur Kreatif Fendi, mengungkap normal yang baru untuk berpakaian (pria) adalah bisa memakai apa pun dan di mana pun. Secara tak langsung pernyataan tersebut menyiratkan pesan bahwa setiap individu bebas mengenakan apa yang diinginkan tanpa restriksi norma tradisional. Apalagi akhir-akhir ini sedang gencar akan siluet busana yang dibuat untuk memburamkan batas antara pakaian wanita dan pria, atau biasa yang disebut dengan konsep genderless fashion. Adanya kebangkitan tren di mana semua orang bebas bergaya secara idealis dan menonjolkan karakter yang berbeda-beda tanpa sungkan, membuat sejumlah desainer berani membuat gebrakan. Ya, walau pandemi Covid-19 belum berakhir dan aktivitas masih dibatasi, namun tak menghalangi mereka untuk menampilkan koleksi yang menandai transformasi. Lihat saja apa yang mendominasi rancangan musim ini. Efek kilap yang pernah absen dalam beberapa musim terakhir, kini tampil semarak di beragam koleksi ready-to-wear hingga rupa aksesori. Seperti yang terlihat pada koleksi Loewe. Rumah mode asal Spanyol yang dikenal lantang menyuarakan busana pragmatis, pada musim ini melepaskan diri dari konvensi-konvensi lama untuk mengkreasikan sebuah formula baru. “Hedonism is switched on.” Demikian ungkapan yang tertulis dalam penjelasan koleksi Loewe Fall/winter 2021. Warnawarna cerah dan penuh karakter ditemani dengan bentuk-bentuk abstrak mengingatkan kembali pada rasa bahagia yang tercipta dalam proses penciptaan busana.
Alih-alih menggunakan presentasi secara virtual, Loewe justru menampilkannya lewat medium koran untuk mempresentasikan koleksi teranyar. Bertajuk The Loewe Show Has Been Cancelled menjadi headline surat kabar yang menyorot perhatian. Kemudian di dalam isi koran tersebut, Jonathan Anderson menampilkan rancangannya bak fashion spread untuk majalah.
Secara konsep, fenomena kembalinya unsur hedonistik ini mungkin menjadi salah satu bentuk sikap optimis desainer dalam menyambut vaksin dan harapan akan kembalinya menjalani aktivitas secara normal. Sama halnya seperti yang telah terjadi di masa Roaring Twenties pada era 1920-an di mana penduduk dunia kembali menikmati kemewahan dan berpesta usai dilanda pandemi flu Spanyol. Jika kita menengok ke masa lalu dan melihat sejarah, sebuah era yang bisa dibilang suram dan penuh kepedihan tidak selalu diterjemahkan oleh fashion dalam nuansa yang sama, justru sebaliknya. Ketika wabah flu Spanyol di tahun 1918 yang terjadi berbarengan dengan Perang Dunia I, tren fashion yang lahir setelahnya malah gaya Flapper dengan desain gemerlap dan penuh kebebasan gerak. Kemudian di tahun 1947 setelah Perang Dunia II berakhir, muncul gaya New Look yang diprakarsai oleh Christian Dior—menjadi sebuah deklarasi kebebasan dan optimisme lewat aksentuasi bentuk pinggang yang ramping. Mungkin pandemi masa lalu menjadi secercah inspirasi bagi para desainer di masa sekarang ini. Tak heran jika pada pekan mode Fall/winter 2021, gaya glamor terasa kembali dihidupkan. Para desainer seolah serentak menyerukan pencinta fashion untuk menjadi representasi kubu optimis dalam memandang keadaan dunia saat ini. Perlahan potongan loungewear dan kaus seperti musim lalu mulai ditinggalkan. Semburan warna dan taburan manik-manik reflektif disuguhkan para desainer. Anda akan melihat banyaknya bahan mengilap seperti sequins, detail yang delicate dan mewah seperti bebatuan dan bulu-bulu yang mendominasi musim ini. Bahkan kemunculan sepatu high heels dan boots yang serba metalik juga bersiap menggantikan tren model sandal dan sneakers.
Fenomena kembalinya gaya glamor dengan segala modifikasi juga dapat diwakili oleh penampilan Prada dan Thom Browne. Musim dingin ini nampaknya menjadi lahan fantasi bagi mereka. Bukan sekadar presentasi secara digital dengan latar yang menarik perhatian, kreativitasnya membuat kita terkesima untuk lebih menyimak pada permainan fashion apa yang tengah dibesut. Kali ini Prada dan Thom Browne menghibridakan busana klasik (seperti blazer dan tuksedo) menjadi satu konsep gaya jukstaposisi dengan ornamen dekoratif. Misalnya pada Thom Browne, separuh atas tuksedo dipadukan dengan corset dress. Sementara Prada yang merupakan koleksi perdana dari Miuccia Prada dan Raf Simons, menonjolkan kelihaian bermain tekstur dan material seperti gubahan sequins bersama fur.
Kreasi nyaris serupa terlihat pula di panggung Rick Owens. Ia berhasil membuat pencinta mode kembali tercengang dalam koleksi yang memadukan unsur busana nyaman di masa pandemi, siluet arsitektural dengan kemegahan haute couture. Bahan sequins dihadirkan menjadi penampilan yang penuh kejutan tetapi mendapat sambutan hangat. Siapa sangka di balik puffer jacket tersisip bodysuit dan thong—yang umumnya familier untuk musim panas.
Kemudian di sisi lain ada Christian Dior yang menyuguhkan koleksi bernuansa fairy tale. Rancangan ballgown dikemas manis oleh Maria Grazia Chiuri. Ia ingin merangkul hasrat para wanita pengagumnya untuk mempercantik diri. Apalagi jika mengingat fakta bahwa masih banyak permintaan akan siluet gaun pesta meski di tengah pandemi seperti ini. Ya, secara tidak langsung, dengan segala terobosan yang ditawarkan para desainer ini adalah murni sebagai dampak psikologis pasca lockdown. Fase di mana banyak orang yang merindukan kemewahan dan kehidupan bebas tanpa adanya pembatasan sosial.
KERINDUAN AKAN KEMEWAHAN DAN KEBEBASAN MENJADI EUFORIA REALITAS BARU DI MUSIM DINGIN. OLEH YUDITH KINDANGEN