Digital Fashion: The New Couture?
MEMBELI SEBUAH BAJU NONFISIK MUNGKIN TERDENGAR SEDIKIT ANEH, NAMUN HAL TERSEBUT BISA MENJADI SOLUSI PADA ZAMAN YANG MEMBUDAYAKAN KONSUMSI SEKALI PAKAI. OLEH ALLYSHA NILA
Pada era konten media sosial dan return policy yang semakin fleksibel, doing it for the gram merajalela. Pemborosan sumber daya fisik untuk suatu posting-an di dunia maya nampaknya tidak sepadan. Kita sering lupa apa saja yang terkait produksi suatu garmen: tanah yang sangat luas untuk menumbuhkan bahan, logistik pengiriman yang rumit, kemasan yang merusak lingkungan, kebutuhan ruang penyimpanan dan segala macam biaya lainnya yang tinggi. Apakah semua effort itu worth it hanya untuk suatu reel di Instagram atau sebuah konten Tiktok?
Para desainer telah menemukan cara doing it for the gram yang tidak harus merusak lingkungan: cyber clothing atau digital garments (pakaian digital)—salah satu solusi instan yang mengarah kepada sustainability. Dengan penghematan carbon footprint hingga 95 persen dibandingkan baju pada umumnya, cyber clothing dapat mengalih kebutuhan pasar. “Bayangkan sebuah dunia ketika tidak ada pakaian tak teringinkan di pasar,” kata Greg Rosborough,
Co-founder Abasi Rosborough, label yang berkolaborasi dengan CLO Virtual Fashion, Squarespace dan Nike untuk meluncurkan inisiatif visualisasi 3D untuk koleksi Spring/summer 2021. “Semua yang dibuat baru terdata. Pemborosan minimal. Tidak ada potongan diskon pada akhir musim. Betul, ini sebuah visi utopis, namun waktuwaktu ini mengharuskan kita untuk berpikir dengan cara-cara yang baru.”
Bagaimana kerjanya? Pada dasarnya, pembeli digital garment dapat mengunggah foto di mana pakaian tersebut akan diplot secara 3D, sehingga terlihat sangat realistis—hasil akhir inilah yang dapat di-share. Proses ini disebut ‘fitted to order’. Kebanyakan label cyber clothing bekerja dengan cara yang sama, termasuk Republique, Replicant, dan XR Couture, di antaranya. Dengan aplikasi seperti Clo Fashion dan Marvelous Designer, semakin banyak juga kreator independen yang dapat menjual baju tersebut pada berbagai platform dan marketplace digital fashion—hal inilah yang mendorong estetika baru karena begitu banyak ide yang hanya direalisasikan secara digital:
misalkan siluet yang sangat besar dan rumit, material yang tidak ada di dunia fisik, atau bahkan bentuk yang transformatif. Karena sifat cyber clothing ini murni digital, traceability, authenticity, dan trading menjadi hal yang penting—maka dari itu, data produk tersebut dimasukkan dalam blockchain. Teknologi tersebut adalah catatan transaksi digital yang dihubungkan secara kriptografik dan terdistribusi antara para user, sehingga mustahil untuk data tersebut diubah secara independen. Inilah ketika NFT (non-fungible token) dan cryptocurrency memiliki peran. Di platform seperti The Dematerialized, metode pembayaran dapat dilakukan menggunakan bitcoin. Bulan Februari lalu, Crypto Fashion Week diselenggarakan untuk memperkenalkan publik bagaimana teknologi tersebut bisa dipersatukan. Juni lalu, NFT platform Mintable meluncurkan Neuno, yang mengkhususkan di NFT fashion. Cyber clothing jelas telah mendemokratisasikan fashion, dengan harga yang aksesibel (mulai dari 6 dolar Amerika), lead time produksi yang cepat (rata-rata plotting membutuhkan 2 hari), namun ia juga dapat memberikan servis yang paralel dengan couture. Di mana couture mempersoalkan savoir-faire, beberapa prosesnya dicakupi oleh digital garment: ukuran yang disesuaikan setiap klien, penggunaan bahan yang terbaik, dan dalam beberapa kasus, eksklusivitas. Beberapa brand menerapkan digital exclusivity, yakni batasan jumlah edar untuk meningkatkan value. Tribute, brand asal Amerika Serikat (yang sempat ramai karena mantan Artistic Director Mugler, Nicola Formichetti, mengenakan salah satu desainnya) terbatas pada 100 upload per style, namun mereka juga menerima custom order dengan TB Taylor Made Cyber Services— harga baju tersebut sesuai dengan tingkat kompleksitas pesanan. Dan ternyata market potential-nya sangat besar—menurut
Nowfashion, digital fashion “mempunyai potensi untuk merepresentasikan 1 persen dari market share fashion senilai 25.000.000.000 dolar Amerika.” Penjualan virtual skin pada Fortnite saja mencapai 50.000.000 dolar Amerika pada bulan Mei saja. CEO Quantstamp, Richard Ma, pernah menghadiahi istrinya, Mary Ren, sebuah baju custom oleh The Fabricant seharga 9.500 dolar Amerika. Ia bahkan menganggap Iridescence Dress tersebut sebagai sebuah investment, karena aset tersebut hadir pada blockchain. Meskipun kebanyakan dari implikasi penggunaan digital fashion masih untuk sekali pakai, kami catat beberapa penggerak yang dapat mendorong penggunaannya:
THE FABRICANT
Semenjak meluncurkan Iridescence Dress, gaun digital-only pertama di dunia dan di blockchain, The Fabricant dikenal sebagai salah satu pelopor augmented reality. The Fabricant menyiapkan cyber clothing mereka dalam bentuk file “ffrops” yang dapat digunakan pada CLO3D, dan pengguna dapat mengedit baju tersebut sendiri. Digital fashion house asal Belanda satu ini telah berkolaborasi dengan banyak nama, termasuk Nike, Tommy Hilfiger, dan A Bathing Ape. Leela, platform digital yang dikembangkan dengan tech firm Your Majesty, merupakan platform fashion digital pertama pada tahun 2020. Seorang pengguna hanya perlu mengunggah foto muka yang kemudian dimuat pada sebuah avatar yang kemudian dipakaikan baju dari koleksi Spring 2020 yang bertajuk Fluid, menggunakan bahan transparan dan bergelombang.