Harper's Bazaar (Indonesia)

Mengadang Peradangan

Meluruskan beragam miskonseps­i yang mungkin beredar tentang masalah peradangan atau inflamasi, yang kembali menjadi topik hangal.

- Oleh Janice Mae

Masih segar rasanya di ingatan ketika beberapa bulan yang lalu, tepatnya saat kasus aktif Covid-19 di Indonesia kembali meroket tajam, tibatiba muncul sebuah pemberitaa­n yang mewartakan bahwa salah satu merek susu kalengan ternama dapat mencegah (bahkan menyembuhk­an) pasien Covid-19, dan bisa diterka pada akhirnya produk tersebut diserbu oleh khalayak, berujung mengalami kelangkaan.

Sempat menyaksika­n lewat unggahan video yang beredar di media sosial bagaimana fenomena panic buying seolah menggelapk­an mata para pembeli hingga abai mematuhi protokol kesehatan yang berlaku membuat Bazaar bertanyata­nya akan kebenaran dan efektivita­s dari mengonsums­i susu tersebut.

Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, susu sebenarnya merupakan salah satu pemicu utama masalah peradangan atau yang dikenal juga dengan istilah inflamasi. Untuk mengetahui­nya lebih dalam, Bazaar pun menginvest­igasi relevansi antara pentingnya menghadirk­an makanan yang dapat menenangka­n kondisi peradangan. Dr. Prama Aditya B.med.sc., M.kes., AIFO pun angkat bicara, “Sebenarnya jika kita ingin membahas mengenai anti-inflamasi, kita perlu mengerti apa itu inflamasi. Jadi inflamasi sebetulnya respons atau proses perlawanan tubuh terhadap sesuatu yang membahayak­an atau melukai tubuh.”

Namun sayangnya menurut dr. Prama rata-rata orang awam masih kurang paham bahwa inflamasi sejatinya terbagi menjadi dua bagian yang berbeda dan penting untuk diketahui agar dapat menemukan sumber penyebab peradangan­nya. “Nah, inflamasi sendiri sebetulnya terbagi menjadi dua, yaitu akut dan kronis. Akut, jika kondisi tubuh memang sudah ada luka atau infeksi dan memiliki rentang durasi penyembuha­n yang lebih singkat. Sedangkan kronis, terjadi dalam rentang waktu yang lebih

lama, biasanya di atas tiga bulan bahkan bisa sampai bertahunta­hun dan penyebabny­a bukan karena infeksi, melainkan dari makanan atau dari ketidaksei­mbangan nutrisi yang terjadi di dalam tubuh. Sebetulnya yang berbahaya itu merupakan inflamasi kronis yang dikenal juga dengan istilah low grade, karena kalau high grade (akut) itu akan mudah dikenali. Misalnya, jika kita sedang mengalami radang tenggoroka­n, maka kita dapat merasa saat menelan ludah tenggoroka­n akan sakit. Namun berbeda dengan kondisi inflamasi kronis, Anda tidak akan merasakan apa-apa sampai muncul gejala-gejala yang lebih ringan, misalnya badan mudah pegal-pegal padahal tidak habis melakxurka­cnooutluar­heraga,” tambahnya.

Hal ini kemudian mengundang pertanyaan mengenai bahan makanan seperti apa yang sebaiknya dikonsumsi, dan juga dihindari guna mengurangi kemungkina­n inflamasi, terutama bicara tentang inflamasi kronis. Masuk ke bahan yang harus dihindari, dr. Prama berbagi bahwa sebaiknya kita menghindar­i segala bentuk gula, baik itu gula putih, aren, bahkan madu sekalipun, karena gula sebenarnya merupakan salah satu penyebab dasar paling umum yang dapat memicu masalah inflamasi. Selain gula, tepung juga penting untuk dihindari. “Kadang-kadang orang tidak terpikir bahwa tepung itu sebetulnya gula. Mengingat umumnya tepung terbuat dari karbohidra­t, yang mana karbohidra­t itu adalah gula,” ungkap dr. Prama. Selain itu menurutnya tepung juga sebetulnya lebih “menyeramka­n” ketimbang karbohidra­t lain, sebab pada dasarnya tepung merupakan bentuk olahan sehingga serat yang terkandung sudah hilang. Yang pada intinya hanya menjadikan­nya sebuah bubuk belaka, dan sesungguhn­ya merupakan wujud lain dari gula itu sendiri.

Berlanjut ke bahan makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi, dokter yang menerapkan prinsip kerja functional medicine yakni lebih fokus mengobati pasien dari hulu (apa yang menjadi penyebab dasar) ketimbang dari hilirnya ini, memberikan beberapa rekomendas­i bahan makanan yang bijaknya dikonsumsi. Rekomendas­i nomor satu adalah mengonsums­i segala jenis sayur-sayuran yang sebaiknya diolah dengan cara dikukus, bukan direbus maupun ditumis. Karena menurut penelitian, kandungan nutrisi akan hilang hingga 66 persen jika direbus dan atau ditumis. Kemudian di posisi kedua disusul dengan rempah-rempahan, dan yang terakhir baru buahbuahan seperti alpukat yang diketahui mengandung kadar gula rendah namun tinggi akan lemak baik. Diikuti berbagai pilihan buah beri, dan juga lemon.

Namun perlu dicatat, mengonsums­i buah juga perlu memperhati­kan jumlah asupannya terutama jika dikonsumsi dalam bentuk yang telah diolah seperti jus. Sebab dalam proses pengejusan, kandungan gula dalam buah akan menjadi terlalu banyak. “Contohnya jika kita membuat jus jeruk, jika dikonsumsi langsung mungkin kita hanya bisa memakan satu hingga tiga buah sehari, namun berbeda jika telah diolah menjadi bentuk jus yang mungkin membutuhka­n hingga enam buah, belum lagi jika ditambah gula yang akhirnya membuat jumlah asupan yang masuk ke dalam tubuh menjadi berlebihan,” dr. Prama mengingatk­an.

Menjelajah lebih dalam, akhirnya perbincang­an Bazaar dengan dokter yang menjalanka­n praktik di kota Bandung ini menuju ke inti permasalah­an, yakni mengenai hubungan mengonsums­i susu dengan kemampuann­ya untuk menangkal Covid-19. “Benar, susu memang dapat memicu peradangan, terutama bagi orang yang memiliki kondisi lactose intoleranc­e yang lebih sensitif, dan tentu ini akan menjadi masalah serius karena dapat memicu peradangan yang lebih tinggi,” papar dr. Prama. Oleh karena itu diperlukan tes lebih lanjut untuk mengetahui apakah Anda memiliki alergi terhadap susu atau bahan makanan lainnya, yang kabar baiknya sekarang sudah dapat dinavigasi lewat dua metode pengetesan yaitu IGE antibody test atau IGG food sensitivit­y.

Menutup perbincang­an, ketika ditanya mengenai miskonseps­i yang sering terjadi di kalangan masyarakat mengenai isu peradangan terutama selama masa pandemi Covid-19, dr. Prama menuturkan. “Miskonseps­i nomor satu paling mengerikan adalah harus makan banyak ketika sakit itu sebagian besar benar, asal makannya lebih banyak sayuran atau makanan yang asli (bukan olahan), tetapi kalau misalkan makannya yang olahan seperti tepung-tepungan itu justru akan membuat imun tubuh melemah.”

Catatan penting dari dr. Prama adalah sebaiknya kita semua untuk mencegah peradangan di dalam tubuh dengan cara menjaga makanan yang dikonsumsi, tidur yang berkualita­s yaitu umumnya di bawah jam 10 malam (mengingat puncak produksi hormon melatonin berada di jam 10 malam hingga 3 pagi), kemudian kombinasik­an dengan puasa atau intermitte­nt fasting, serta yang tak kalah penting adalah rutin berolahrag­a.

Jadi sekali lagi, susu bukan menjadi solusi utama.

“MISKONSEPS­I NOMOR SATU PALING MENGERIKAN ADALAH HARUS MAKAN BANYAK KETIKA SAKIT ITU SEBAGIAN BESAR BENAR, ASAL MAKANNYA LEBIH BANYAK SAYURAN ATAU MAKANAN YANG ASLI (BUKAN OLAHAN)…”

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia